KYAI CAP CATUT KUDUS, PENYELAMAT AJARAN SUNAN KUDUS

InfokomBanserNU- NAMANYA dikenal dengan sebutan Syaikh Rodhi. Yah, sosok pendatang baru itu tiba-tiba dapat gelar syaikh. Tidak ada yang mengetahui asal-usulnya. Tiba-tiba saja datang ke daerah Kudus kulon sekitaran Menara Kudus di zaman Nusantara bergerak.

Banyak sejarah tutur menyebut Syaikh Rodhi adalah misionaris wahabi yang saat itu sedang di puncak jihad menyebarkan dakwah “bid’ahnya” di daerah yang dari dulu dikenal sebagai wilayah santri; Kudus kulon.

KH. Sya’roni Ahmadi menyebut Syaikh Rodhi hidup sezaman dengan Surkati, tokoh yang difigurkan dalam Jamiyyatul Khoir. Dulunya, Jamiyyatul Khoir dipenuhi dengan tokoh-tokoh ahlussunnah waljama’ah keturunan Arab dan Yaman (khususnya). Tapi sejak Surkati bisa masuk mempengaruhi organisasi Islam pertama tersebut (berdiri 1901), paham yang disebarluaskan menjadi semakin bercorak wahabi.

Di zaman Surkati inilah Jamiyyatul Khoir ditambah akonim menjadi Jam’iyytul Khoir wal Irsyad dan peranakan Arab yang mendirikannya mufaraqah membuat jamiyyah sendiri bernama Rabithah Alawiyyin.

Kiai Sya’roni Ahmadi menyebut Surkati dan Syaikh Rodhi adalah utusan misionaris wahabi. Sementara utusan lainnya ada yang dikirim ke luar Jawa, untuk memecah belah umat Islam waktu itu, yang sedang bergerak melawan Belanda.

Di sekitar Menara Kudus abad 19 awal itu (tahun tepatnya belum diketahui sumber saya), Syaikh Rodhi bermukim dan menyebarkan ajaran-ajaran bid’ah untuk kalangan kelompok santri menara. Misalnya, dia mendakwahkan ajaran baru yang mengharamkan ziarah kubur Sunan Kudus, tahlilan serta berjanjenan. Semua itu sudah berlaku ratusan tahun di Kudus.

Banyak kiai dan warga di sekitar Kudus yang tidak setuju atas kehadiran tokoh tiba-tiba yang menyebarkan ajaran yak nah beh itu. Ujaran dan ceramahnya sangat meresahkan warga.

Diceritakan, Syaikh Rodhi ini pernah mengikat dirinya sendiri dengan rantai di masjid Menara Kudus. Bukan karena stres dan gila, tapi sebagai ungkapan dia tidak mau berpindah dari lokasi sekitar Menara karena diusir warga.

Baca Juga  JANGAN PERNAH TINGGALKAN MENGKAJI (MUTHOLA'AH)

Tanda buruk kehadiran Syaikh Rodhi ini nampak dari kisah tutur yang menyebut adanya anjing misterius yang tiba-tiba muncul di tengah masjid depan menara kecil yang sekarang lokasinya ada di dalam masjid. Anjing itu adalah isyarah adanya manusia hina yang dikirim tuannya untuk menjaga akidah kotor, senajis hukum anjing dalam fiqih.

Meski “dakwah” nya ditolak oleh warga yang mayoritas santri, Syaikh Rodhi selalu berusaha dengan berbagai cara agar diterima. Sayangnya, pendapatnya yang dangkal mudah dipatahkan hanya oleh santri, belum sekelas kiai.

Dia merasa mendapatkan kesempatan bisa menguasai Masjid Menara peninggalan Sunan Kudus saat para kiai dan tokoh ulama di sekitar menara dipenjara oleh Belanda di zaman geger pecinan tahun 1918 M. Syaikh Rodhi pun menyebar pengumuman tantang debat dengan siapa saja dengan jaminan jika kalah harus mengikuti ajaran bid’ahnya.

Syaikh Rodhi tidak mengetahui kalau Kudus kulon adalah markas para santri, yang sudah dibangun Sunan Kudus sejak masih hidup. Ia mengira bila kiai Kudus banyak dipenjara artinya tidak akan ada lagi orang alim yang bisa melawannya. Dia tidak mengetahui peta bahwa Kudus kulon itu banyak orang alim yang kealimannya tidak nampak karena kalah dengan pamor mahabbah dan haibah Sunan Kudus.

Tantangan Syaikh Rodhi direspon oleh seorang alim yang tidak ikut dipenjara Belanda karena dianggap bukan sebagai tokoh penting. Namanya Kiai Hamid, yang oleh Kiai Sya’roni Ahmadi disebut dengan gelar populer Kiai Hamid Cap Catut.

Kiai Hamid siap debat dengan Syaikh Rodhi dengan satu syarat: yang kalah harus keluar dari Kudus dan tidak boleh kembali selamanya.
Syarat itu dipenuhi. Perdebatan ini ada yang menyebut terjadi di Masjid Menara Kudus, yang disaksikan oleh banyak orang.

Baca Juga  Mengenal Pencipta Shalawat Nahdliyyah

Kalah dalil, Syaikh Rodhi akhirnya harus keluar dari Kudus dan pergi entah kemana karena memang tidak diketahui asalnya. Kudus pun akhirnya terselamatkan dari pengaruh wahabi yang mengharamkan amaliyah ahlussunnah wal jama’ah, hingga sekarang.

Untuk mengenang peristiwa penting tersebut, Kiai Hambali atau Kiai Kamal (Kamal adalah nama ubahan setelah dipenjara Belanda, mukim di Damaran, belakang makam Sunan Kudus), mendokumentasikan dalam kalimat bahasa Arab,

ماتت البدعة بقيام حجة لأهل السنية

Artinya:

“Bid’ah sudah mati (seiring) ditegakkannya hujjah untuk ahli sunnah”.

Bila dijabarkan, ajaran bid’ah yang pernah disebar pertama oleh Syaih Rodhi di sekitar Menara Kudus sudah mati sejak dia kalah debat penuh dalil dengan Kiai Hamid Cap Catut yang membuktikan kebenaran ajaran ahlussunnah wal jama’ah.
Kalimat tersebut terukir di dalam Masjid Menara Kudus.

Dalam manuskrip yang ada, tertera angka 1344. Kiai Kamal menyusun kalimat dokumentatif tersebut bukan hanya sebagai ungkapan penuh makna, tapi juga sangkakala yang menunjuk tahun kelahiran Nahdlatul Oelama (NO) 1926 yang bertepatan dengan 1344 H. Demikian sebagaimana dituturkan oleh M. Abdullah Al Badri.

Artinya, kelahiran NU pada tahun 1344 H adalah penanda “matinya” ajaran wahabi berkembang menjadi ideologi agama yang akan terus ditolak oleh NU, terbukti hingga sekarang.

Semoga, seluruh jama’ah MWC NU Sungai Gelam mendapatkan limpahan berkah, bikaromati Mbah Kyai Hamid Cap Catut, Kanjeng Sunan Kudus, ugi sedoyo para Wali ing Nusantara.

#JayalahNU
Alfatihah..

(Bagus Muhammad Miftahul Mujib)

Tinggalkan Balasan