R.P. SOENARJO GONDOKOESOMO TOKOH PERGERAKAN ASAL MOJOKERTO

 

Pernah satu tanya terlintas dalam pikiran ketika menerima informasi jika Jendral AH. Nasution dulu sering ke Mojokerto. Untuk keperluan apa dia datang ke Mojokerto ?. Dan kata tanya itu terjawab saat ditemukan benang merahnya dengan seorang tokoh asal Mojokerto bernama Raden Panji Soenarjo Gondokoesoemo.

Soenarjo Gondokoesoemo lahir di Mojokerto pada 2 Nopemer 1892. Ayahnya bernama R.P. Djayusman Gondokoesoemo yang berkedudukan sebagai Patih Kabupaten Mojokerto. Sedangkan ibunya bernama R. Ajoe Ngalipah yang masih memiki hubungan darah dengan para penguasa Surabaya. Soenarjo memiliki beberapa saudara yang salah satunya bernama R.A. Soekarsinah yang kemudian dinikah oleh R.P. Soeroso.

Dengan status sebagai keturunan priyayi maka Soenarjo memiliki hak untuk sekolah sampai tingkat lanjutan. Menurut Suhario Padmodiwiryo atau yang dikenal dengan julukan Hario Ketjik, Soenarjo bukan hanya menuntut ilmu di Indonesia, dia juga sempat sekolah ilmu akuntansi di Negeri Belanda. Dan setelah kembali ke Indonesia, Soenarjo bekerja pada perusahaan asuransi “Blom Van Der A” di Surabaya. Data diri Soenarjo yang terdapat pada buku Orang Jang Terkemoeka di Jawa menyebutkan dia pernah menjadi pegawai dinas pengairan di Probolinggo sebelum pindah ke perusahaan kereta api SCS, SDS dan juga OJS.

Selain itu Soenarjo juga sempat berkarir di Asuransi Boemi Poetra di Surabaya hingga kemudian dipindah ke Bandung. Selama di Surabaya dia pernah menjadi direktur Harian Soeara Oemoem yang dimiliki oleh Parindra. Serta mengurus Gedung Nasional Indonesia (GNI) di Bubutan Surabaya.

Tahun 1924 Soenarjo menikah dengan seorang perempuan Belanda bernama Hendrika Maria Rademeker, anak seorang insinyur yang pernah berdinas di Mojokerto. Pasangan itu kemudia memiliki 3 orang anak, dua laki-laki dan seorang perempuan bernama Soenarti Gondokoesoemo.

Rupanya hubungan sebagai saudara ipar dengan R.P. Soeroso, ketua Sarekat Islam Mojokerto, ikut mempengaruhi pemikiran politik Soenarjo. Saat R.P. Soeroso keluar dari SI dan mendekat pada PBI yang didirikan oleh dr. Soetomo, maka langkah tersebut diikuti pula oleh Soenarjo. Bahkan Soenarjo kemudian dikenal sebagai orang dekat dari pendiri organisasi Budi Utomo tersebut. Kedekatan itu dapat dibuktikan dengan ditunjuknya Soenarjo sebagai ketua Studie Club’ yang dibentuk Soetomo pada bulan Juli 1928 di Surabaya.

Baca Juga  Hujan Bukan rintangan untuk ber-Dzikir dan ber-Sholawat

Pada bulan Desember 1935, Soetomo mengadakan pertemuan untuk menyatukan partai tengah, yaitu PBI dan Budi Utomo yang dipimpin oleh R. Wuryoningrat. Pada pertemuan di Solo itu disepakati peleburan keduanya dengan membentuk partai baru yang diberi Partai Indonesia Raya yang disingkat Parindra. Soetomo dipilih sebagai ketua dan Wuryoningrat sebagai wakilnya. Ternyata Parindra mendapatkan dukukngan dengan masuknya beberapa organisasi seperti, M.H. Thamrin dengan Perkumpulan Kaum Betawi, Ratulangi (Serikat Minahasa/Celebes), Latuharhary (serikat Ambon), Dahlan Abdullah (Serikat Sumatra), dan Roeslan Wongsokusumo (Serikat Madura).

Ideologi politik Soetomo yang ada pada garis kanan tengah sangat mewarnai diri Soenarjo. Dia tidak canggung untuk bekerja sama dengan Belanda demi memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Karena itu gerakan ala Soetomo itu dapat diterima oleh pemerintah kolonial dan sekaligus memperoleh dukungan dari rakyat, terutama di Jawa Timur. Parindra kemudian mendirikan Rukun Tani, Rukun Nelayan, serta membentuk lumbung tani. Untuk memberikan pinjaman pada anggotanya yang terus berkembang juga didirikan Bank Nasional Indonesia denga menunjuk Soenarjo sebagai direkturnya.

Dan yang paling dikenal adalah organisasi pemuda yang diberi nama Surya Wirawan. Organisasi yang beratribut seperti tentara itu dilatih disiplin. Mereka bukan hanya sebagai pandu namun juga bersikap semi militer. Sebuah foto tentang sikap militeristik terlihat saat mereka memberi penghormatan ala Nazi saat pemakaman M.H. Thamrin, Januari 1941.

Soenarjo Gondokoesoemo kemudian pindah ke Bandung untuk memimpin Asuransi Boemi Poetra disana pada tahun 1937. Kepindahannya juga dimaksudkan guna memperkuat kepengurusan Parindra di Jawa Barat. Dia bekerja sama dengan R. Otto Iskandar Dinata yang memutuskan bergabung dengan Parindra. Duet keduanya membuat Parindra bisa berkembang di tanah Pasundan.

Saat tentara Jepang datang, Soenarjo memiliki relasi yang cukup baik dengan penguasa yang menyebut dirinya sebagai saudara tua. Hubungan baik itu dikarenakan Soenarjo sempat menyelamatkan seorang penerbang Jepang yang pesawatnya tertembak jatuh. Penerbang yang di daerah perkebunan tersebut disembunyikan Soenarjo dari penangkapan serdadu Belanda.

Nama Soenarjo Gondokoesoemo tidak begitu terdengar pada jaman revolusi kemerdekaan. Aktifitas politiknya mengapung kembali pada tahun 1954 dia diangkat menjadi anggota DPR Sementara (DPRS) oleh Presiden Soekarno dari Fraksi Parindra yang memiliki 7 kursi parlemen. Kedudukan itu didapat dari pergantian antar waktu (PAW) karena RP. Soeroso, ketua umum Parindra, ditunjuk sebagai menteri sosial dalam kabinet Ali Sastroamidjojo. Dalam kepengurusan Partai Parindra Soenarjo Gondokoesoemo tercatat sebagai pimpinan pusat partai pada bagian sosial dan ekonomi.

Baca Juga  KEMERIAHAN HARLAH NU KE-94 DI JETIS MOJOKERTO

Karir politik Soenarjo Gondokoesoemo berakhir karena perolehan suara Parindra jatuh dalam pemilu 1955. Partai dengan lambang dua tangan memegang tangkai padi dan pena itu hanya mendapatkan 2 kursi di parlemen yang salah satunya diduduki oleh R.P. Soeroso. Perjalanan panjang Soenarjo sebagai tokoh pergerakan selesai karena dia meninggal pada tahun 1963.

Lalu apa hubungannya dengan A.H. Nasution dan Mojokerto ?. A.H. Nasution yang merupakan alumni akademi militer Belanda di Bandung dengan pangkat letnan muda pernah ditampung oleh keluarga Soenarjo. Nasution yang saat itu disersi dari kesatuannya menjadi buronan baik oleh Belanda maupun Jepang. Setelah menempuh perjalanan dari Jember hingga Bandung dan sempat mampir ke rumah RP. Soeroso di Mojokerto, kemudian bersembunyi di rumah Soenarjo. Karena hubungan baik Soenarjo dengan pihak Jepang maka Nasution tidak ditangkap.

Nasution tinggal bersama keluarga tersebut sekitar 3 bulan. Dari sana kemudian tumbuh benih asmaranya pada Soenarti yang memang cantik jelita. Perjumpaan keduanya berlanjut ketika Soenarti melanjutkan sekolah di Jogjakarta ikut di rumah pamannya, R.P. Soeroso. Keduanya kemudian menikah pada tahun 1947.

Kaitannya dengan Mojokerto adalah karena salah satu putra Soenarjo yang ikut kakekkya menikah dengan anak bungsu Kyai Rofi’i Pekuncen. Oleh menantu Kyai Rofi’i, yaitu Kyai Sholeh Penarip, pernikahan itu diberi syarat terlebih dahulu. Syaratnya pengantin pria harus belajar ngaji terlebih dahulu. Setelah dianggap memenuhi syarat keduanya diberi tanggung jawab mengajar ngaji di langgar Sinoman, langgar yang didirikan Kyai Sholeh. Kisah pernikahan mereka tertulis dalam buku Kyai Sholeh Pesantren Penarip karya H.A. Yazid Qohar.

Karena ada tali persaudaraan itulah kemungkinan A.H. Nasution sempat beberapa kali datang ke Mojokerto untuk mengunjungi kakak iparnya.

Sumber: Serpihan Catatan Ayuhanafiq

Respon (1)

Tinggalkan Balasan