Ketika berumur 12 tahun pada tahun 1952, Gus Dur mengalami dua kali patah tulang lengan. Pertama, lengannya patah karena terjatuh dari pohon. Yang kedua, lengannya hampir hilang saat terjatuh dari pohon besar setelah tertidur di atasnya. Kisah ini diingat oleh Greg Barton dalam biografinya tentang Gus Dur. Dokter pertama yang merawatnya khawatir tangannya harus diamputasi, tetapi berkat kecekatan dokter, tangannya berhasil disambung kembali. Namun, pengalaman ini hampir tidak mempengaruhi Gus Dur yang tetap kurang berhati-hati dan bertindak impulsif.
Kenakalan Gus Dur sering kali membuat ayahnya harus berlaku tegas. Terkadang, Gus Dur diikat dengan tambang di tiang bendera di halaman depan sebagai hukuman atas leluconnya yang keterlaluan atau sikapnya yang kurang sopan.
Saat sekolah di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP), Gus Dur pernah tidak naik kelas karena sering bolos. Ketika ditanya alasannya, ia mengaku tidak punya teman yang mengerti jalan pikirannya sehingga malas sekolah. Akhirnya, ia bolos dan sering ditemukan di perpustakaan Jakarta atau bermain bola, olahraga kegemarannya.
Ibunya kemudian memindahkannya ke Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan KH. Aly Makshum. Namun, Gus Dur meminta izin untuk sekolah dan kos di luar pondok karena tidak cocok dengan peraturan pesantren yang ketat. Ia kemudian tinggal di rumah Haji Djunaid, seorang tokoh Muhammadiyah di Kauman, Yogyakarta, yang juga sahabat ayahnya. Sejak kos di luar pondok, Gus Dur semakin giat belajar.