- Fenomena kekuasaan dan hasrat manusia untuk berkuasa.
- Ditekankan bahwa manusia cenderung mengejar kekuasaan untuk mendapatkan kendali atas orang lain dan status sosial.
- Dalam proses mencapai kekuasaan, seringkali manusia mengabaikan moralitas dan etika, yang dapat menyebabkan konflik antara penguasa dan rakyat.
- Kekuasaan juga dijelaskan sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi dan kolektif, yang seringkali dikaitkan dengan pragmatisme dan materialisme.
- Penguasa yang sering melanggar janji kampanye dan lebih mementingkan kepentingan pribadi atau golongan daripada kesejahteraan masyarakat.
Semakin berkuasa manusia semakin merasa dirinya berada di atas angin, mampu melihat semuanya dari ketinggian. Layaknya seorang pelukis dan seorang pendaki selalu senang jika harus melihat objek dari ketinggian karena nampak indah dan cantik, seolah inilah nikmatnya berada di ketinggian.
Berbeda jika harus berkuasa atau menguasai ada anak tangga yang harus diinjak-injak demi menuju puncak, boleh saja itu kita yang di bawah, golongan manusia lainnya, sanak saudaranya dan teman-temannya sendiri.
Kita tersenyum sadar kalau sedang menjadi anak tangga, bersorak gembira lalu memberikan punggung kita untuk didaki oleh calon manusia penguasa. Lho kok marah, selepas mereka berhasil di puncak kekuasaan. Lho namanya anak tangga ya harus rela diinjak kemudian ditinggalkan memang seperti itu konsep manusia mencapai puncak teratas.
“Mengapa manusia berlomba-lomba mendapatkan kekuasaan?, entah besar atau kecil, meskipun hanya satu ruang kekuasaan atau menguasai seluruh ruang universal, sekalipun menguasai satu golongan saja atau mungkin seluruh golongan. Semua sama – sama menguasai. Cuk”.
Konsep Manusia.
Manusia diciptakan Tuhan sebagai contoh desain makhluk hidup berakal yang sempurna yang diturunkan dari Surga. Maka perlu adanya upaya legitimasi untuk menguji kesempurnaan akalnya melalui pola-pola kenikmatan atau keindahan futuristik dunia, agar manusia diharapkan menggunakan daya bernalar sebelum bertindak atau tenggelam dalam futuristik dunia itu.
Manusia selalu tidak lepas dengan keinginan-keinginan dunia, entah hal tersebut bersifat personal, komunitas, atau bahkan bersifat komunal. Keinginan tersebut selalu memiliki dasar fundamental yang berhubungan dengan keselamatan, kesejahteraan dalam taraf kehidupan, minimal kepentingan individualnya terselamatkan.
Terlebih lagi mengenai humanisme, pasti setiap orang ingin mendapatkan kehormatannya atas manusia lain. Keinginan dilandasi oleh cara berpikir pragmatisme yang tidak lepas dengan ranah penglihatan materialistik.
Contoh, individu ingin meraih puncak kekuasaan agar mereka mampu menjalankan kehendak atau keinginannya dalam menyelamatkan kehidupan persona, dengan ia berada diatas kekuasaan maka akan mampu menentukan arah dinamika kekuasaannya untuk apa dan untuk siapa yang harus ia selamatkan terlebih dahulu.
Bahan puncak kekuasaan bisa menjadi kotak materialistik bagi manusia karena dengan kotak tersebut mampu memenuhi nilai-nilai eksistensinya.
Sudut pandang humanisme menjelaskan secara serupa, bahwa paradigma manusia modern dalam memandang materi sebagai sesuatu mendasar yang mampu mempengaruhi tindakan dan kehendak manusia.
Manusia bisa berkehendak bebas melalui kekuatan insting dan nalurinya. Jadi kemungkinan besar semakin kuat insting manusia atau naluriah manusia, maka akan berjalan menuju kesadaran eksistensi materinya.
Immanuel Kant memberikan argumentasi mengenai humanisme manusia yang bebas akan merangsang dirinya mencari akar prinsip manusia merdeka atau kebebasan atas eksistensinya. Entah mengarah pada deskripsi sebagai manusia atau mengarah pada deskripsi hewan.
Akibatnya manusia tidak mencapai sesuatu yang ideal dalam dirinya, melainkan mencapai sesuatu di luar dirinya. Implikasinya manusia tidak memahami nilai-nilai dirinya yang akan menyebabkan eksistensinya sebagai manusia rasional merosot.
Saat ini seseorang untuk mencapai puncak kekuasaan harus mengaktifkan insting dan nalurinya dalam meraih kejayaannya. Aktivasi tersebut sepenuhnya menjadi framework sebagai cara mempertahankan atau menjaga “nama baik” materialistik kekuasaan.
Maksudnya dengan manusia memiliki status tinggi maka ia akan mati-matian mempertahankan statusnya untuk aman dan mengamankan hal-hal yang menguntungkan.
Melalui perencanaan-perencanaan berdasarkan kebenaran sepihak sebagai tembok penjaga nilai-nilai eksistensi dirinya dalam kebenaran formal bukan empirik.
Lalu mengapa manusia terus berambisi mendapatkan kekuasaan, jika hanya dijadikan bahan materialistik ? dan mengapa kita marah, jika moralitasnya jongkok sekalipun sudah berpuluh-puluh penguasa yang sudah ditunjukan melalui model polarisasi umum, seperti ramah senyum, merakyat, blusukan, amanah dan hal-hal baik lainnya.
Semua model polarisasi tersebut hanya dalil kontradiktif. Selayaknya seorang laki-laki PDKT dengan cewek pasti yang indah-indah dulu dimunculkan atau diperlihatkan, setelah berjodoh keburukannya perlahan mulai muncul.
Hasrat Berkuasa
Kekuasaan memiliki rumusan yang sangat kental dengan upaya pengendalian atas segala hal. Jika diejawantahkan kekuasaan menjadi kemampuan seseorang pelaku atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku orang lain, sehingga perilakunya menjadi sesuai dengan keinginan dari seseorang yang memiliki kekuasaan.
Sama halnya menurut sosiolog Max Weber kekuasaan menjadi kemampuan dalam suatu hubungan sosial untuk melaksanakan atau tunduk atas kemauannya sendiri sekalipun harus mengalami perlawanan.
Seseorang penguasa pasti memiliki sumber-sumber kekuasaan, antara lain berupa kedudukan, kekayaan, dan kepercayaan. Sumber tersebut menjadi modal sosial internal dan eksternal yang dimiliki oleh seseorang untuk mendorong munculnya hasrat berkuasa.
Hasrat berkuasa dijelaskan oleh Nietzsche sebagai kebutuhan irasional yang dimiliki oleh setiap individu. Setiap manusia memiliki hasrat berkuasa secara alamiah muncul di dalam nalurinya sebagai manusia.
Alasan mengapa manusia berambisi mendapatkan kekuasaan?, karena seseorang mampu memberikan powernya kepada keputusan-keputusan yang ada di lingkungan masyarakat, bahkan dengan manusia memiliki kekuasaan akan memberikan status sosial tinggi di dalam kelompok masyarakat, sehingga ia mampu memberikan kontrol sosial melalui aturan-aturan yang dibuat oleh penguasa.
Hal tersebut secara langsung akan memberikan batasan-batasan tindakan atau perilaku sosial dengan memberikan sanksi sebagai alarm tindakan diluar koridor kepatuhan terhadap kekuasaan.
Sama halnya dengan teori Talcott Parsons dalam sosiologi politik. Menurut Parsons kekuasan sebagai senjata humanitas yang ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif dengan membuat keputusan-keputusan mengikat didukung dengan sanksi-sanksi negatif.
Sanksi negatif diberikan kepada seseorang jika melakukan perlawanan kepada penguasa. Otoritas kekuasaan disebut sebagai hak kewenangan yang mewah bagi penguasa karena otoritas menjadi wewenang kekuasaan yang dilembagakan.
Secara tidak langsung semua kesepakatan harus dibuat dan harus dijalankan semestinya tanpa adanya penolakan dari pihak luar kekuasaan. Apabila terdapat penolakan dan membuat tindakan ( penentangan ) maka akan dikenakan sanksi-sanksi hukuman sesuai dengan UU yang sudah dilegalkan oleh penguasa.
Pendekatan kekuasaan sebagai sumber daya menjadikan kewenangan atau otoritas sebagai alat untuk mencapai tujuan maupun kepentingan pribadi. Kekuasaan menekan kontrol terhadap sumber daya ekonomi, politik, dan sosial sebagai dasar power kekuasaan.
Kekuasaan juga dijadikan sebagai alat hubungan sosial. Maksudnya seseorang yang memiliki hasrat untuk berkuasa pasti tidak lepas dari people power. Maka tidak mengherankan paslon-paslon penguasa dalam prosesnya mencapai puncak kekuasaannya selalu berkoalisi. Membangun hubungan dengan para elit politik yang memiliki power kuat dalam setiap tindakan dan rancangan-rancangan gagasanya.
Alat hubungan sosial dalam artian kekuasaan pasti memiliki timbal balik atau keuntungan antara elit politik dengan calon penguasa. Bagi-bagi keuntungan dalam istilah pemenang adalah bagi-bagi kue kekuasaan.
Mereka biasanya akan diberikan posisi yang mentereng dan struktural di jajaran lembaga kementrian formal. Lebih dari itu mereka berkongsi secara fungsional dengan menjadikan elit politik sebagai ketua atau pemimpin. Hal itu dilakukan oleh Penguasa sebagai bentuk ucapan terimakasih karena ikut berkontribusi secara gamblang mempromosikan atau memenangkan di kegiatan pemilu.
Lagi-lagi alasan seorang penguasa melakukan tindakan tersebut adalah sebagai pengamanan, kenyamanan, menambah daya power kekuasaan, dan melanggengkan sebuah kekuasaan agar berjalan sesuai rencana penguasa.
Kekuasaan aktor elit politik berkontribusi menjalankan rencana penguasa melalui perancangan atau menyetujui setiap keputusan-keputusan yang dibuat oleh pemegang otoritas kekuasaan, melalui institusi dimana mereka berada pada posisi puncak. Sesuai dengan pandangan sosiolog C. Wright Mills dalam konsep power elite mengenai elit politik sebagai puncak pranata masyarakat.
Etika Moralitas Penguasa.
Hasrat kekuasaan menjadi masalah ketika cara mengekspresikannya atau implementasinya bertentangan dengan etika norma moral yang dianut oleh masyarakat. Hal ini akan berimbas terhadap munculnya ketegangan kelas antara kelas pemegang kekuasaan, dengan kelas masyarakat tanpa kekuasaan, hingga berujung pada konflik kepentingan.
Kita lihat bersama, banyak sekali kesalahan dan kegagalan penguasa dalam mengintegrasikan power kekuasaan dengan moralitas yang utilitarianisme, sehingga berujung pada kedangkalan moral atau demoralitas.
Contoh kasus ketidaksesuaian janji kampanye dengan implementasinya, kegagalan dalam mengemban amanah dari rakyat, keberpihakan terhadap satu golongan saja, dan merubah atau membuat undang-undang yang hanya menguntungkan keturunannya atau elit-elit politik.
Kelayakan etika moralitas harus kita lihat sebagai bentuk seleksi awal sebelum mempercayai calon-calon penguasa yang hanya mengutamakan hasrat dan haus akan kemenangan.
Menurut Lawrence Kohlberg perkembangan moralitas yang ada di dalam diri manusia akan menjadi standarisasi sebagai identifikasi individu untuk menilai pola tindakan atau kepekaan individu dalam memutuskan sesuatu ( Kecerdasan etika).
Etika moralitas penguasa harus dilihat sebagai fakta sosial yang terlepas dari keinginan subjektifnya.
Maksudnya selama penguasa tersebut menjabat atau akan menjabat tindakannya sesuai atau tidak dengan kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang berhubungan dengan kepantasan dalam menjabat, seperti kejujuran, integritas, dan mementingkan urusan masyarakat secara menyeluruh.
Etika moralitas bagian dari fungsional dalam masyarakat. Artinya moralis muncul sesuai dengan kepentingan kolektif. Durkheim menjelaskan setiap individu memiliki kebebasan atas dasar moralitasnya sendiri.
Tetapi jika dilihat secara tindakan moral, maka tujuannya adalah prinsip moral. Jadi tindakan yang harus dilakukan oleh penguasa atau calon penguasa harus dilakukan hanya berdasarkan prinsip moral, bukan hanya berdasarkan hasilnya saja.
Prinsip moral tidak dapat diubah-ubah hanya demi mendapatkan hasil baik dalam pandangannya sendiri. Maksudnya Penguasa memperbolehkan menggunakan dengan cara apapun sekalipun itu berbohong, manipulatif, dan keserakahan demi mendapatkan hasil baik agar disebut sebagai good man.
Tetapi, hal itu akan menanggalkan humanitas dan prinsip moral yang menjadikan orang lain hanya sebagai alat untuk penguasa. Tidak memanusiakan manusia dengan prinsip moral yang harus dimiliki oleh penguasa atau calon penguasa, menurut Immanuel Kant yakni prinsip universalitas, dan prinsip humanitas.
Kedua prinsip tersebut menjadi salah satu kacamata imperatif kategoris kita untuk melihat setiap etika moralitas penguasa yang harus dimiliki. Etika moralitas Atas dasar rasa kemanusiaan yang manusiawi dan etika moralitas atas dasar kewajiban mengungkapkan kejujuran serta kebenaran secara mutlak. (Wahyu).