fbpx

Menasehati Diri cara Islam – KITAB BIDAYATUL HIDAYAH

  • Bagikan
SORBANSANTRI.COM

Ngaji,

بسم الله الرحمن الرحيم Berbicara tentang nasihat, aku melihat diriku tak pantas untuk memberikannya. Sebab, nasihat seperti zakat. Nisab-nya adalah mengambil nasihat atau pelajaran untuk diri sendiri.  Siapa yang tak sampai pada nisab, bagaimana ia akan  mengeluarkan zakat? Orang yang tak memiliki cahaya tak  mungkin dijadikan alat penerang oleh yang lain. Bagaimana bayangan akan lurus bila kayunya bengkok? Allah Swt.

mewahyukan kepada Isa bin Maryam, “Nasihatilah dirimu! Jika engkau telah mengambil nasihat, maka nasihatilah orang-orang. Jika tidak, malulah kepada-Ku.” Nabi kita saw bersabda, “Aku tinggalkan untuk kalian dua pemberi nasihat: yang berbicara dan yang diam.” Pemberi nasihat yang berbicara adalah , sedangkan yang diam adalah kematian. Keduanya sudah cukup bagi mereka yang mau mengambil nasihat. Siapa yang tak mau mengambil nasihat dan keduanya, bagaimana ia akan menasihati orang lain? Aku telah menasihati diriku dengan keduanya. Lalu aku pun membenarkan dan menerimanya dengan ucapan dan , tapi tidak dalam kenyataan dan perbuatan. Aku berkata pada diri ini, “Apakah engkau percaya bahwa Alquran merupakan pemberi nasihat yang berbicara dan juru nasihat yang benar, serta merupakan kalam Allah yang diturunkan tanpa ada kebatilan, baik dari depan maupun dari belakangnya?” Ia menjawab, “Benar.” Allah Swt. berfirman, “Siapa yang menginginkan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepadanya balasan perbuatan mereka dii dunia dan mereka di dunia ini tak akan dirugikan. Mereka itulah yang tidak akan memperoleh apa-apa di akhirat kecuali . Dan gugurlah semua amal perbuatan mereka serta batallah apa yang mereka kerjakan ” (Q.. Hud: 15-16).

Allah Swt. menjanjikan neraka bagimu karena engkau menginginkan dunia. Segala sesuatu yang tak menyertaimu setelah mati, adalah termasuk dunia. Apakah engkau telah membersihkan diri dan keinginan dan cinta pada dunia? Seandainya ada seorang dokter Nasrani yang memastikan bahwa engkau akan mati atau sakit jika memenuhi nafsu syahwat yang paling menggiurkan, niscaya engkau akan takut dan menghindarinya. Apakah dokter Nasrani itu lebih engkau percayai ketimbang Allah Swt.? Jika itu terjadi, betapa kufurnya engkau! Atau apakah menurutmu penyakit itu lebih hebat dibandingkan neraka? Jika demikian, betapa bodohnya engkau ini! Engkau membenarkan tapi tak mau mengambil pelajaran. Bahkan engkau terus saja condong kepada dunia. Lalu aku datangi diriku dan kuberikan padanya juru nasihat yang diam (kematian). Kukatakan, “Pemberi nasihat yang berbicara (Alquran) telah memberitahukan tentang pemberi nasihat yang diam (kematian), yakni ketika Allah berfirman, ‘Sesungguhnya kematian yang kalian hindari akan menjumpai kalian. Kemudian kalian akan dikembalikan kepada alam gaib. Lalu Dia akan memberitahukan kepada kalian tentang apa yang telah kalian kerjakan’ (Q.S. al- Jumuah: 8).” Kukatakan padanya, “Engkau telah condong pada dunia. Tidakkah engkau percaya bahwa kematian pasti akan mendatangimu? Kematian tersebut akan memutuskan semua yang kau punyai dan akan merampas semua yang kau senangi. Setiap sesuatu yang akan datang adalah sangat dekat, sedangkan yang jauh adalah yang tidak pernah datang. Allah Swt. berfirman, ‘Bagaimana pendapatmu jika Kami berikan kenikmatan pada mereka selama beberapa tahun? Kemudian datang pada mereka siksa yang telah dijanjikan untuk mereka? Tidak berguna bagi mereka apa yang telah mereka nikmati itu. ‘ (Q.S. asySyuara: 205-206).”

SORBANSANTRI.COM
BIDAYATUL HIDAYAH

Jiwa yang merdeka dan bijaksana akan keluar dari dunia sebelum ia dikeluarkan darinya. Sementara jiwa yang lawwamah (sering mencela) akan terus memegang dunia sampai ia keluar dari dunia dalam keadaan rugi, menyesal, dan sedih. Lantas ia berkata, “Engkau benar.” Itu hanya ucapan belaka tapi tidak diwujudkan. Karena, ia tak mau berusaha sama sekali dalam membekali diri untuk akhirat sebagaimana ia merancang dunianya. Ia juga tak mau berusaha mencari rida Allah Swt. sebagaimana ia mencari rida dunia. Bahkan, tidak sebagaimana ia mencari rida manusia. Ia tak pernah malu kepada Allah sebagaimana ia malu kepada seorang manusia. Ia tak mengumpulkan persiapan untuk negeri akhirat sebagaimana ia menyiapkan segala sesuatu untuk menghadapi musim kemarau. Ia begitu gelisah ketika berada di awal musim dingin manakala belum selesai mengumpulkan perlengkapan yang ia butuhkan untuknya, padahal kematian barangkali akan menjemputnya sebelum musim dingin itu tiba.

Baca Juga  Pengamanan Malam Takbiran Idul Adha di Kawasan Pacet Mojokerto

Kukatakan padanya, “Bukankah engkau bersiap-siap menghadapi musim kemarau sesuai dengan lama waktunya lalu engkau membuat perleng- kapan musim kemarau sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi panas?” Ia menjawab: “Benar.” “Kalau begitu”, kataku, “Bermaksiatlah kepada Allah sesuai dengan kadar ketahananmu menghadapi neraka dan bersiap-siaplah untuk akhirat sesuai dengan kadar lamamu tinggal di sana.” Ia menjawab, “Ini merupakan kewajiban yang tak mungkin diabaikan kecuali oleh seorang yang dungu.” Ia terus dengan tabiatnya itu. Aku seperti yang disebutkan oleh para ahli hikmat, “Ada segolongan manusia yang separuh dirinya telah mati dan sepatuhnya lagi tak tercegah.” Aku termasuk di antara mereka. Ketika aku melihat diriku keras kepala dengan perbuatan yang melampaui batas tanpa mau mengambil manfaat dari nasihat kematian dan Alquran, maka yang paling utama harus dilakukan adalah mencari sebabnya disertai pengakuan yang tulus.

Baca Juga  Penusukan Pemuka Agama dan Pentingnya Posisi Banser

Hal itu merupakan sesuatu yang menakjubkan. Aku terus-menerus mencari hingga aku menemukan sebabnya. Ternyata aku terlalu tenang. Oleh karena itu berhati-hatilah darinya. Itulah penyakit kronis dan sebab utama yang membuat manusia tertipu dan lupa. Yaitu, keyakinan bahwa maut masih lama. Seandainya ada orang jujur yang memberikan kabar pada seseorang di siang hari bahwa ia akan mati pada nanti atau ia akan mati seminggu atau sebulan lagi, niscaya ia akan istikamah berada di jalan yang lurus dan pastilah ia meninggalkan segala sesuatu yang ia anggap akan menipunya dan tidak mengarah pada Allah SWT.

Jelaslah bahwa siapa yang memasuki waktu pagi sedang ia berharap bisa mendapati waktu sore, atau sebaliknya siapa yang berada di waktu sore lalu berharap bisa mendapati waktu pagi, maka sebenarnya ia lemah dan menunda-nunda amalnya. Ia hanya bisa dengan tidak berdaya. Karena itu, aku nasihati orang itu dan diriku juga dengan nasihat yang diberikan Rasullah saw ketika beliau bersabda, ” Salatlah seperti salatnya orang yang akan berpisah (dengan dunia). ” Beliau telah diberi kemampuan berbicara dengan ucapan yang singkat, padat, dan tegas.

Itulah nasihat yang berguna. Siapa yang menyadari dalam setiap salatnya bahwa salat yang ia kerjakan merupakan salat terakhir, maka hatinya akan khusyuk dan dengan mudah ia bisa mempersiapkan diri sesudahnya. Tapi, siapa yang tak bisa melakukan hal itu, ia senantiasa akan lalai, tertipu, dan selalu menunda-nunda hingga kematian tiba. Hingga, pada akhirnya ia menyesal karena waktu telah tiada.

Aku harap ia memohonkan kepada Allah agar aku diberi kedudukan tersebut karena aku ingin meraihnyg tapi tak mampu. Aku juga mewasiatkan padanya agar hanya rida dengannya dan berhati-hati terhadap berbagai tipuan yang ada. Tipuan jiwa hanya bisa diketahui oleh mereka yang cendekia.

RH | BIDAYATUL HIDAYAH

 

 

 

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan