Di balik kenakalannya, Gus Dur adalah anak yang sangat cerdas dan maniak membaca. Dalam bukunya “Gus Gerr: Bapak Pluralisme & Guru Bangsa,” M. Hamid mengisahkan tentang hobi membaca Gus Dur, mengutip dari buku “Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur.” Nyai Solichah sering menegur Gus Dur agar tidak terlalu banyak membaca agar matanya tidak sakit. Namun, Gus Dur kecil sudah mulai memakai kacamata dan semakin dewasa, gangguan matanya semakin memburuk.
Gus Dur memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya dan sering berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Ia sudah akrab dengan buku-buku serius, dari filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra sejak usia dini. Saat di SMEP, ia sudah menguasai bahasa Inggris dan melahap buku-buku berbahasa Inggris seperti “Das Kapital” karya Karl Marx, buku filsafat Plato, Thales, serta karya sastra dari Ernest Hemingway, John Steinbeck, dan William Faulkner.
Kecerdasan dan pikiran kritisnya membuat Gus Dur tumbuh menjadi pribadi yang penuh semangat dalam mendobrak tatanan. Pada masa Orde Baru, Gus Dur menjadi orang yang ditakuti oleh rezim karena keberaniannya dalam menyuarakan kebenaran. Hingga masa reformasi, Gus Dur tetap melawan arus, termasuk saat menjabat sebagai presiden. Ia sering mengganti pejabat, berkonflik dengan Polri, memunculkan wacana dekrit membubarkan DPR, hingga akhirnya dimakzulkan dari kursi presiden.