fbpx

Gunung Semeru Goro-Goro Tanah Jawa Munculnya Ratu Adil

  • Bagikan
SORBANSANTRI.COM
SORBANSANTRI.COM
Dalam kitab kuno Tantu Pagelaran yang ditulis pada abad ke-15, dijelaskan adanya Gunung Semeru di Pulau Jawa. Sejarah dan mitos Gunung Semeru mengatakan konon dulunya Pulau Jawa sempat terapung dan terombang-ambing tak tentu arah di tengah lautan. Menurut kepercayaan yang beredar, saat itulah Dewa Siwa berusaha untuk “memaku” Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru ke Pulau Jawa.
Hyang Siwa memindahkan Gunung Mahameru Bharatawarsa India ke Pulau Jawa dengan bantuan Dewa Wisnu yang menjelma sebagai kura-kura raksasa dan Dewa Brahma yang menjelma sebagai ular sangat panjang.
Gunung Meru ini ditancapkan di sisi barat barat Pulau Jawa. Namun karena berat sebelah, maka sebagian Gunung Meru ditancapkan di sisi timur Pulau Jawa. Gunung di sisi barat Jawa kini diberi Gunung Pananggungan, sedangkan yang di sisi timur Jawa bernama Semeru atau Mahameru.
Asal-usul nama Mahameru ini konon berasal dari bahasa sanskerta “Meru Agung”. Meru berarti pusat dari alam semesta, baik secara fisik maupun spiritual. Sedangkan Agung berarti sangat besar, atau bisa juga diartikan Maha. Dari sinilah kemudian puncak Gunung Semeru diberi nama Mahameru.
Sejarah dan mitos Gunung Semeru berkisah bahwa kehadiran Mahameru di timur Jawa melahirkan gunung-gunung lain yang lebih kecil. Beberapa di antaranya Gunung Lawu, Gunung Kelud, Gunung Wilis, Gunung Kawi, Gunung Arjuna dan . Mungkin karena inilah Gunung Semeru dianggap menjadi gunung yang paling agung. Bahkan sejarah dan mitos Gunung Semeru juga menceritakan bahwa gunung ini adalah bapak dari Gunung Agung Bali.
Terlebih lagi menurut kepercayaan Hindu, pemindahan Gunung Meru India ke Pulau Jawa juga merupakan pemindahan kayangan para dewa dan nilai-nilai luhur dalam Hindu. Jauh sebelum Gunung Meru dipindahkan ke Jawa masyarakat Hindu percaya bahwa gunung ini merupakan bersemayamnya para dewa.
Gelar Gunung Para Dewa pun dilegitimasi oleh cerita Gunung Semeru sebagai area pertapaan Dewa Siwa. Untuk memperindah lokasi pertapaan, Dewa Siwa disebutkan membuat sebuah danau untuk pemandian. Konon, danau tersebut adalah Ranu Kumbolo. Kisah-kisah itu juga diperkuat dengan ditemukannya situs purbakala di sekitar Gunung Semeru. Yang paling dikenal adalah prasasti di Ranu Kumbolo dan Arcapada.
Bagi para peneliti, gunung ini ibarat laboratorium arkeologi. Banyak situs purbakala di sana. Diidentifikasi ada sebanyak 123 situs purbakala di sana. Dan masih banyak yang lainnya yang belum di temukan.
Wujud situs–situs tersebut mulai dari punden berundak, candi, petirtaan atau kolam pemandian kerajaan hingga goa pertapaan. Situs–situs itu berurutan mulai dari kaki hingga pinggang gunung sebelum puncak.
Pandangan Hindu Siwaistis yang berpengaruh besar di Nusantara, termasuk Bali. Mereka percaya bahwa Dewa Siwa bersemayam di gunung tertinggi. Itu berarti di puncak gunung Mahameru (Himalaya) di India, atau pucak Gunung Semeru di Nusantara. Teks-teks Purana India yang tergolong kitab Upaweda, memang menyuratkan Tuhan Yang Mahatunggal bersemayam di puncak Mahameru dan dikenal pula dengan nama gunung Kailasa atau gunung Himawa, yang bersalju abadi. Di sanalah Siwa menurunkan ajaran-ajaran-Nya kepada sakti-Nya, Dewi Parwati, Sang Dewi Gunung.
Kisah sejarah dan mitos Gunung Semeru yang masih dipercaya sampai saat ini adalah bahwa gunung ini merupakan gerbang portal terhubungnya bumi, tempat tinggal manusia, dan kayangan, tempat berkumpulnya para dewa.
Wabah yang seperti saat ini tengah melanda Indonesia, dulu pernah terjadi pada masa peperangan Diponegoro.
Selama ini belum banyak yang mengetahui bahwa salah satu faktor Perang Diponegoro adalah karena adanya wabah.
Pada Tahun 1821, empat tahun sebelum perang tersebut dimulai, pelayar dari Malaka datang ke Semarang, ternyata membawa wabah penyakit Kolera.
Dalam waktu satu minggu, sebanyak 1275 orang meninggal karena wabah tersebut, dan penyakit itu juga bergerak ke Surakarta, Yogyakarta bahkan sampai ke Batavia pada masa itu.
Wabah itu juga ditambah dengan krisis pangan dan kekeringan, muncul pergolakan sosial, terus sampai tahun berikutnya. Hingga terjadinya gunung api meletus, dan munculnya Pangeran Diponegoro yang dianggap sebagai pada saat itu.
Sedangkan saat wabah korona di Indonesia, juga terjadi bersamaan dengan beberapa peristiwa, seperti adanya gunung meletus setelah kedatangan Raja Belanda, William Alexander.
Banyak kemiripan antara kondisi saat ini dengan sejarah masa lalu, meskipun sejarah tidak bisa berulang, tapi polanya hampir sama.
Diponegoro melancarkan perang yang sengit untuk sebuah harapan yang radikal seraya tahu bukan dia sang Ratu Adil yang mengatasi waktu. Ia hanya sarananya. Sebuah nujum menyebut, peran itu tak akan lama: sira srananipun/ mapan iku tan dawa…” (engkaulah sarananya/ meskipun hal itu tak akan lama).
“Sekali berarti, sudah itu mati,” tulis Chairil Anwar dalam sajaknya, Diponegoro. Yang penting bukanlah hidup atau mati, melainkan membuat berarti.
Dengan itulah harapan mendapatkan “daya mesianik”: harapan akan Keadilan itu mampu melebur batas waktu. (sabdo palon)
  • Bagikan

Pesan Bijak