Ada sebuah artikel yang ditulis oleh KH. Wahid Hasyim yang judulnya “Mengapa Saya Memilih NU”. Isi tulisannya tentang rasionalisasi pilihan terhadap organisasi para kyai itu. Setelah memaparkan kelemahannya dimana NU ditempatkan sebagai organ non-radikal serta tidak cukup memiliki intelektual maka beliau menyatakan bila keunggulan NU ada di faktor Ulama-nya dan ketegasannya terhadap anggota.
Dari sisi ketegasan, Kyai Wahid menyatakan NU “streng”, terlampau “keras” didalam tuntutannya pada anggota. Keras dalam lingkup kewajiban agama. Tiap anggota NU harus “beres” sembahyangnya, jum’atannya, puasa dan lain kewajiban agamanya. NU didalam hal kehidupan “prive” anggotanya mempunyai ukuran yang berat.
Seorang anggota NU bisa dipecat jika dinilai melanggar norma agama, melakukan perbuatan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Mereka yang dipecat akan ditarik kartu anggotanya serta diumumkan pada khalayak. Dengan demikian jika seseorang dipecat sama artinya dia mendapatkan sanksi sosial.
Pengurus NU Mojokerto terbentuk tahun 1928 atau dua tahun setelah dideklarasikan sebagai organisasi para ulama. KH Zainal Alim Suronatan terpilih sebagai ketua syuriyah saat itu. KH Nawawi ditetapkan sebagai salah satu wakilnya. Komposisi itu mirip dengan duet Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Mbah Hasyim sebagai penjaga moral dan Mbah Wahab selaku operator lapangan. Di Mojokerto, Kyai Zainal Alim yang memang dikenal alim didampingi pekerja keras pada diri Kyai Nawawi. Dalam menjalankan organisasi, Kyai Nawawi lebih suka berprinsip “sepi ing pamrih rame ing gawe”. Tidak ingin terlalu menyukai popularitas dan bekerja secara diam. Konsep itu beliau lakukan dengan turun langsung ke bawah atau kring, sebutan untuk pengurus ranting atau desa pada masa lalu. Turba itu dijalankannya sendiri untuk meninjau kondisi pengurus NU, biasanya dengan mengendarai dokar.
Pada suatu hari, Kyai Nawawi mengunjungi Kring Modopuro Mojosari. Sesampainya di rumah ketua NU setempat kebetulan empunya rumah sedang tidak ada. Maka Kyai Nawawi memutuskan untuk menunggu. Setelah tuan rumah pulang ditanya dari mana dan dijawab baru pulang dari warung. Kyai Nawawi selanjutnya meminta buku organisasi yang dibawanya. Setelah itu beliau menyatakan jika tuan rumah dipecat sebagai anggota NU karena telah melakukan perbuatan yang tidak terpuji, yaitu siang hari nongkrong di warung.
Mengapa demikan ? Untuk menjelaskan hai itu harus ditarik pada kondisi sosiokutur dan sosiopolitik yang diambil NU saat itu. NU sedang berhadapan dengan kelompok Islam modernis yang ingin menghabisi Amaliyah ala kaum Nahdliyyin. Karena itu NU wajib menjaga disiplin dan moral anggotanya agar tetap memiliki semangat “satu barisan”, Kedua. NU juga berupaya menciptakan identitasnya yang tentu berbeda dengan indentitas kelompok lainya dengan jargon “man tashabbaha bi qaumin fahua minhum”. Ketiga, NU melihat saat itu budaya “marung” merupakan bagian dari identitas kolonial yang suka menghamburkan uang di tempat makan-minum atau berfoya-foya
Betapa kerasnya aturan organisasi ketika itu. Sementara saya setiap hari nongkrong di warung kopi.
Sidowangun, 3 Juli 2015
Sumber: Serpihan Catatan Ayuhanfiq