Tidak Jumatan Di Zona Merah, Mengurangi Syariat Islam?

cyberaswaja.online – Komunitas ngaji yang saya jalani beragam, ada bu-ibu, pak-bapak, jid-masjid, gar-langgar, tor-kantor dan sebagainya. Kalau jamaah ngajinya banyak yang berumur sepuh porsi ngajinya saya perpanjang, tanya jawab sedikit. Sebab biasanya akan banyak pertanyaan mengulang dan tak jauh dari tema atau bulan-bulan dalam Islam.Kalau jamaahnya masih muda-muda maka porsi tanya jawab saya perpanjang. Seperti dengan para santri atau mahasiswa. Termasuk ngaji online tadi sore bersama para calon-calon dokter masa depan dari Kampus A Fakultas Kedokteran Unair Surabaya.Entah pada pertanyaan ke berapa, mahasiswa FK semester 4 ini menanyakan perihal tidak melakukan shalat Jum’at di masa pandemi dan zona merah. Katanya ia mendengar bahwa jika tidak jumatan maka mengurangi ajaran syariat Islam, padahal syariat ini sudah sempurna.Sekitar tahun 2010-2012 Bahtsul Masail PCNU Kota Surabaya membahas beberapa pabrik dan perkantoran di Surabaya, karena ada tugas seperti menjaga mesin yang sedang berproduksi, menjadi scurity dan beberapa hal lain yang tidak bisa ditinggalkan, maka ada pendapat dari para ulama yang menjadikan hal tersebut sebagai uzur atau alasan yang dibenarkan untuk tidak shalat Jum’at tetapi harus melakukan shalat Dzuhur bagi orang tersebut.Beberapa kitab pun digali sebagai sumber rujukan ilmu. Termasuk dari kitab Mathalib Uli An-Nuha:(ﻓَﺼْﻞٌ ﻓِﻲ اﻷَْﻋْﺬَاﺭِ اﻟْﻤُﺒِﻴﺤَﺔِ ﻟِﺘَﺮْﻙِ اﻟْﺠُﻤُﻌَﺔِ ﻭَاﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔِ)”Fasal tentang beberapa uzur yang membolehkan meninggalkan Jum’at dan berjamaah.”(ﻭَ) ﻳُﻌْﺬَﺭُ ﺑِﺬَﻟِﻚَ (ﺧَﺎﺋِﻒُ ﺣﺪﻭﺙ ﻣَﺮَﺽٍ) . ﻟِﻤَﺎ ﺭَﻭَﻯ ﺃَﺑُﻮ ﺩَاﻭُﺩ ﻋَﻦْ اﺑْﻦِ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ «ﺃَﻥَّ اﻟﻨَّﺒِﻲَّ – ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ – ﻓَﺴَّﺮَ اﻟْﻌُﺬْﺭَ ﺑِﺎﻟْﺨَﻮْﻑِ ﻭاﻟﻤﺮﺽ»”Diantara uzur tersebut adalah kekhawatiran datangnya penyakit. Berdasarkan riwayat Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam menafsirkan uzur dengan kekhawatiran dan sakit”(ﺃَﻭْ) ﺧَﺎﺋِﻒُ (ﺯِﻳَﺎﺩَﺗِﻪِ) ، ﺃَﻱْ: اﻟﻤﺮﺽ (ﺃَﻭْ ﺑُﻂْءِ ﺑُﺮْءٍ) ﻣِﻦْ ﻣَﺮَﺽٍ ﺑِﻪِ”Atau khawatir bertambah sakit atau tertundanya masa sembuh yang makin lama” (Mathalib Uli An-Nuha 1/701)Karena yang saya hadapi ini para calon dokter maka saya katakan: “Virus itu tidak mengenal tempat. Virus juga tidak melihat-lihat siapa calon korbannya. Lha saat ada pasien berbohong karena covid-19 ternyata ada sekian dokter yang tertular. Kok gak ngerti sih virus ini? Kalau politikus meninggal masih banyak penggantinya. Jika Ustadz wafat masih gampang carinya, apalagi di YouTube. Kalau dokter yang gugur perlu berapa tahun bisa menemukan penggantinya? Masih perlu kuliah, praktek, sekolah lagi PPDS”. Terlebih beberapa hari terakhir ini di Jatim angka penularan cukup tinggi dibanding Jakarta. Coba jika kita yang jadi dokter, sudah kelelahan menghadapi puluhan pasien Corona tiba-tiba ada korban puluhah lagi yang datang.Lalu saya sampaikan dari hadis Bukhari perihal karena uzur tidak dapat melakukan ibadah maka tatkala melakukan sendirian tetap sempurna pahalanya. Hal ini bisa ditemukan dalam kitab-kitab Syafi’iyah:(ﻭﻗﻮﻟﻪ: ﺇﻥ ﻗﺼﺪﻫﺎ ﻟﻮﻻ اﻟﻌﺬﺭ) ﻗﻴﺪ ﻓﻲ ﺣﺼﻮﻝ اﻟﻔﻀﻴﻠﺔ ﻟﻪ، ﺃﻱ ﺃﻧﻬﺎ ﺗﺤﺼﻞ ﻟﻪ ﺇﻥ ﻗﺼﺪ ﻓﻌﻠﻬﺎ ﻟﻮﻻ اﻟﻌﺬﺭ ﻣﻮﺟﻮﺩ.”Fadlilah berjamaah (termasuk Jumatan) tetap akan didapat jika orang tersebut berniat akan melakukannya andaikan tidak ada uzur” (I’anah Thalibin, 2/61)Penulis : KH. Ma’ruf Khozin (Direktur Aswaja Center PWNU Jatim)#HubbulWathonMinalIman

Tinggalkan Balasan