Jarak Desa Beran, Kecamatan Ngawi dengan Kelurahan Lateng, Kecamatan Banyuwangi jika dilihat di google map jaraknya tak kurang dari 456 KM. Jarak yang demikian jauh itu, ditempuh oleh Kiai Abdul Mukti dengan mengendarai sepeda ontel alias sepeda angin demi menghadiri Muktamar ke-9 NU pada April 1934.
Bersepeda pada zaman itu, bukanlah hal yang menyenangkan sebagaimana hobi orang gowes dewasa ini. Selain kenyamanan bersepeda sangat terbatas, keamanan pun sangat rawan. Jika misalnya Kiai Mukti harus melewati pantura atau jalur Deandles, ia harus melewati hutan Baluran sebelum mencapai Banyuwangi. Sedangkan jika menempuh perjalanan lewat Jember, mau tak mau harus menempuh Gunung Gumitir. Dua pilihan yang tak mudah, dua jalur yang masih banyak binatang buas dan rampok pada masa itu.
Kesaksian yang diungkapkan oleh KH. Muchit Muzadi dalam biografinya “Berjuang Sampai Akhir: Kisah Seorang Mbah Muchit” itu, menggambarkan bagaimana kecintaan Kiai Mukti pada Nahdlatul Ulama. Organisasi yang didirikan oleh gurunya, KH. Hasyim Asy’ari.
Kiai Mukti sebenarnya berasal dari Jetis, Ponorogo. Ia lahir pada 12 Desember 1908 dari pasangan Asfai dan Markamah. Orang tuanya tersebut tak lebih hanyalah petani kecil. Meski berasal dari keluarga kelas bawah, Mukti yang merupakan anak terakhir dari empat bersaudara itu memiliki semangat belajar yang tinggi.
Sejak berusia delapan tahun, Mukti memulai petualangan intelektualnya ke sejumlah pesantren. Sebagaimana diungkapkan oleh Hengki Puastono dalam skripsinya di UIN Sunan Ampel yang berjudul “KH. Abdul Mukti dan Pengembangan Islam di Kecamatan Ngawi, Kabupaten Ngawi” itu, pesantren yang pertama kali dituju adalah Pesantren Banjarsari, Minggiran, Kediri. Lalu, ia melanjutkan ke Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu masih diasuh pendirinya, KH. Hasyim Asy’ari. Di sini lah kelak, kecintaan Mukti kepada NU mulai bersemi.
Setelah dari Jombang, Mukti muda menimba ilmu di Pesantren Tawangsari, Sepanjang, Sidoarjo. Juga pernah di Pesantren Mangunsari dan Pesantren Langitan di Tuban. Sebelum kembali ke kampung halamannya, Mukti juga sempat ngalap barokah di Pesantren Kasingan, Rembang.
Kedalaman ilmu dan keluruhan akhlaq dari Mukti muda, memantik kepercayaan masyarakat Jetis. Pada usia yang masih relatif muda, 20 tahun, Mukti telah dipercaya untuk mengajar di Madrasah yang ada di kampung halamannya. Tak lama kemudian ia diambil menantu oleh KH. Imam Iskandar asal Kebonsari, Dalopo, Kabupaten Madiun. Ia dinikahkan dengan Sariatun.
Tak seberapa lama dari pernikahannya tersebut, tepatnya pada 1930, ia pindah ke Desa Beran, Ngawi. Kepindahannya tersebut atas ajakan dari Kiai Thohir. Nama terakhir tersebut adalah seorang yang memiliki perhatian yang tinggi terhadap agama serta banyak mewakafkan kekayaannya demi syiar Islam. Kiai Mukti diberikan fasilitas guna mengajarkan Islam kepada penduduk Beran dan sekitarnya.
Seiring waktu, Kiai Mukti tak sekadar menjadi guru ngaji biasa. Ketokohannya mulai muncul. Lebih-lebih ketika beliau aktif di Nahdlatul Ulama. Beliau termasuk salah satu tokoh yang merintis NU di Kabupaten Ngawi. Pada 1936, beliau disebutkan menjabat sebagai Rais Syuriyah PCNU Ngawi sebagaimana tertulis di skripsi tersebut di atas.
Waba’du, kegigihan dan kecintaan Kiai Mukti tersebut kepada NU, tak luntur sepanjang hayat. Hingga ajal menjemput pada 6 Maret 1976 dengan meninggalkan banyak monumen perjuangan. Seperti halnya madrasah dan masjid. (M.Ha)