Jamaah sholat Isya’ di surau kecil itu baru saja usai. Beberapa anak muda masih asyik bercengkerama di teras surau. Ahyat, salah seorang dari anak muda itu, beranjak pulang ke rumahnya yang berada di sebelah surau. Beberapa saat kemudian Ahyat kembali sambil membawa cobek dan ulekan. “Ayo rujakan !” katanya pada teman-temannya. Rusman dan Thoyib yang dikenal jago memanjat, segera beraksi, memanjat pohon mangga yang berada persis didepan surau. Selain memanjat mangga, seluruh kegiatan “ngrujak” dilakukan oleh Ahyat. Bukan saja membuat rujak, waktu “liwetan” (menanak nasi untuk dimakan bersama), Ahyat juga yang mengerjakan. Diantara 12 pemuda yang suka bercengkerama di surau itu, Ahyat dikenal teman-temannya sebagai anak yang suka melayani teman-temannya.
Sambil makan rujak, mereka berbicara mengenai banyak hal. Mulai dari masalah agama, sampai informasi terkini yang mereka dengar dari radio atau dari pembicaraan orang dewasa. Malam itu mereka membicarakan Perang Dunia ke dua, dimana Jerman dan Jepang sudah mulai menguasai beberapa negara. Kabarnya, Belanda sudah mulai diserang Jerman, dan tentara Jepang sudah menguasai Malaka. Tak penting apakah informasi itu akurat atau tidak, topik pembicaraan mereka selesai atau tidak. Yang penting mereka kumpul-kumpul, berinteraksi dan makan bersama.
Setelah selesai makan rujak, tiba-tiba Ahyat usul untuk membuat kegiatan latihan pencak silat dan baris berbaris. Usul ini disambut dengan senang hati, dan mereka mulai mengajak pemuda yang lain untuk bergabung. Seluruh kegiatan ini dipusatkan di surau kecil, berukuran 5 X 5 m, yang terletak di ujung barat Jalan Miji No. 36 Mojokerto. Biasanya latihan silat diselenggarakan di depan surau, dan latihan baris berbaris, berangkat dari surau menuju ke Pulorejo. Disekitar jembatan Pulorejo itulah mereka latihan baris dengan lebih intensif.
Mereka sama sekali tidak menduga, apalagi merencanakan, bahwa dari komunitas 12 orang itu kemudian berkembang menjadi puluhan orang, bahkan ratusan pemuda militan yang tergabung dalam laskar rakyat Hisbullah pada perang Kemerdekaan tahun 1945. Pasukan Hisbullah yang pertama dibentuk pada tahun 1943 dan mendapatkan fasilitasi dari Pemerintah Pendudukan Jepang, berupa latihan dasar perang gerilya, untuk mempertahankan Indonesia dibawah kepemimpinan Jepang. Dua tahun kemudian, setelah Proklamasi dikumandangkan, “Pasukan Hisbullah” yang dibentuk melalui forum “rujakan” ini telah mempunyai kekuatan dua batalyon. Batalyon pertama dipimpin oleh Mansur Sholikhi, dan Batalyon kedua dipimpin oleh Munasir.
Bukan itu saja, surau kecil milik keluarga H. Abd. Halim di Desa Mentikan, tepatnya Jl. Miji No.36 itu menjadi pusat berbagai macam aktifitas keagamaan, sosial dan kebangsaan, yang dimotori oleh dua bersaudara yaitu K.H. Ahyat Halimy dan kakak kandungnya K.H. Aslan. Di Surau ini pula, Syarikat Tani Islam Indonesia (STII) didirikan, yaitu pada tahun 1951. Tahun 1965, surau ini menjadi pusat penumpasan G.30.S PKI dan tempat kelahiran barisan Orde Baru yang diberi nama Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dengan fasilitasi dan dorongan dari K.H. Ahyat Halimy, tahun 1968, didirikan pula Koperasi Tani yang dimotori oleh H. Husein Abd Gani ( kakak kandung Ruslan Abdul Gani, sesepuh PNI). Bahkan sejak tahun 1958 sampai sekarang, surau ini selalu digunakan untuk kegiatan sosial berupa Khitanan Massal, yang terus berlangsung setiap bulan Dzul Hijjah sampai sekarang.
Tanggal 29 April 1964, K.H. Ahyat mulai membangun surau itu menjadi Pondok Pesantren hanya dengan modal keyakinan dan tekad yang besar. Ketika pembangunan dimulai, dengan menggali pondasi, K.H. Ahyat tidak mempunyai modal sama sekali, satu-satunya modal yang dimiliki adalah “do’a” dari Almukarrom Kanjeng Sunan Giri, dalam mimpinya, “Kowe tak dungakno iso mbangun bangunan”, kata Kanjeng Sunan. Kemudian ketika batu pertama diletakkan, datang orang tak dikenal memberikan bantuan berupa 23.000 batu bata merah.
Maka berdirilah Pondok Pesantren, sebagai pusat pendidikan dan pengkaderan pemuda-pemuda Islam, pusat kegiatan sosial keagamaan, sosial kemasyarakatan, serta politik kebangsaan, yang semuanya didasarkan pada landasan Iman kepada Alloh SWT dan Rosul-Nya, Tasdiq, Ihlas. Yakin, Sabar dan Syukur, serta Tawakkal kepada Alloh SWT.
Pondok Pesantren “Sabilul Muttaqin” ini telah didaftarkan sebagai Badan Hukum melalui Akte Notaris Gusti Johan Nomor 156 tertanggal 20 Desember 1972 dengan nama Yayasan “Sabilul Muttaqin”, dan berkedudukan di Jl. K.H. Wahid Hasyim (dulu Jl. Miji) Nomor 38 Mojokerto. Untuk mencapai lokasi ini, sebenarnya tidaklah terlalu sulit, sebab semua kendaraan umum di Kota Mojokerto, tahu persis tempat ini, anda cukup mengatakan “Pondoke Abah Yat” maka anda akan diantar kesana. Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin ini memang lebih dikenal oleh masyarakat awam dengan sebutan “Pondoke Abah Yat”.