SORBAN SANTRI – Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (1870-1968), akrab disebut Habib Ali Kwitang, adalah ulama‘ besar di Jakarta yang sangat akrab dengan para kiai NU. Ditegaskan Gus Dur bahwa NU masuk Betawi ya melalui Habib Ali Kwitang. Majlis Taklim Kwitang yang digelar setiap ahad pagi dibanjiri ribuan jama’ah dari berbagai daerah.
Semasa hayatnya, Hadratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari juga sangat akrab dengan Habib Ali Kwitang. Bahkan, Kiai Hasyim berpesan kepada keluarga dan santrinya untuk selalu sowan kepada Habib Ali Kwitang setiap kali datang di Jakarta.
Salah satu anak angkat Habib Ali menjadi tokoh besar NU, yakni KH Idham Kholid yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU. Pada masa orde lama, KH Idham Kholid memimpin NU yang menjadi partai politik dan juga berkoalisi dengan pemerintahan Bung Karno.
Pada suatu musyawarah, para kiai dan habaib diundang di Kantor PBNU. Selain Habib Ali Kwitang, hadir juga Al-Habib Ali bin Husein Al-Athas atau Habib Ali Bungur, Al-Habib Muhammad bin Ali Al-Athas. Para kiai dari berbagai daerah juga datang memenuhi undangan PBNU.
Ada seorang santri bernama Abdullah yang saat itu sangat senang melayani para habaib dan kiai. Ia mengantarkan makanan dan minuman yang sudah disediakan, termasuk kepada Habib Ali Kwitang. Ketika bersimpuh di hadapan Habib Ali, Abdullah menurunkan nampan kaleng bermotif warna-warni bersisi makanan dan minuman.
Habib Ali Kwitang meminta Abdullah untuk mengangkat nampan itu. Ada apa kok diangkat? Habib Ali menemukan lambang NU di pantat nampan.
“Ini kok begini. Maksudnya apa ini,” tanya Habib Ali.
“Iya bib, ini tanda kalau ini nampan milik NU,” jawab Abdullah dengan lugu.
Suasana saat itu jadi hening, para habaib dan kiai tertuju dengan kejadian itu. KH Idham Kholid dipanggil Habib Ali terkait itu, para kiai lain memperhatikan apa yang sedang terjadi.
“Jangan kalian berani-berani membuat jatuh perkumpulan ini dengan meletakkannya di bawah.”
Mendengat nasehat yang sangat tegas ini, KH Idham Kholid menyimaknya dengan penuh khidmah, apalagi itu adalah nasehat sosok ayah angkat dan ulama’ besar yang sangat dihormati. Para kiai dan habaib juga menyaksikan penuh dengan penuh takdzim atas apa yang disampaikan Habib Ali.
KH Idham Kholid segera bergerak cepat berkoordinasi kepada para santri untuk segera memakai nampan yang biasa, tanpa ada lambang NU. Wujud takdzim dan sam’an watho’atan dengan dawuh seorang ulama.
Para ulama’ dan habaib yang menyaksikan itu langsung paham dengan lambang NU. Itu bukan lambang biasa, hasil istikharah KH Ridwan Abdullah yang sudah direstui KH Hasyim Asy’ari. (md)