Ngaji di Purwakarta Sampai Mekkah
Perjalanan keilmuan Kiai Ma’mun Nawawi dimulai pada usia 15 tahun. Setelah mendapat didikan langsung dari ayahnya, beliau melanjutkan studi ke pesantren yang diasuh oleh Tugabus Bakri bin Seda (Mama Sempur) di Plered Sempur Purwakarta hingga 7 tahun. Kecerdasan dan akhlak Kiai Ma’mun Nawawi diakui oleh seluruh santri, baik junior maupun senior. Hal demikian sampai menjadikan Kiai Ma’mun Nawawi diangkat menjadi menantu oleh pemilik pondok pesantren, yaitu Mama’ (panggilan untuk tokoh agama di Sunda) Sempur.
Selesai di Purwakarta, beliau melanjutkan studinya ke Mekkah selama 2 tahun. Selama di Mekkah, beliau berguru pada lebih dari 13 muallif (pengarang kitab), diantaranya adalah al-Muhaddits as-Sayyid Alawi al-Maliki, Mama KH. Mukhtar Ath Tharid, dan syaikh ‘Ali al Maliki. Mengaji di Jawa Timur Sampai Tanah Betawi Sekembalinya dari Mekkah, saat itu usianya 24 tahun, Kiai Ma’mun Nawawi melanjutkan perjalanan keilmuannya ke Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan pesantren Syaikh Ihsan Jampes Kediri.
Menarik dicatat bahwa Kiai Ma’mun dan Syaikh Ihsan Jampes, keduanya sama-sama menulis kitab tentang rokok. Syaikh Ihsan Jampes (guru) menulis kitab yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Bayani Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan berisi penyeimbang atas larangan-larangan merokok.Sedangkan kitab Kiai Ma’mun Nawawi (murid) berjudul Risalat Syurb ad-Dukhan yang berisi rambu-rambu larangan merokok. Sang Guru diketahui sebagai perokok berat, sedangan Sang Murid sangat anti terhadap rokok. Perbedaan ilmiah semacam ini sudah terjadi di Nusantara sejak zaman dahulu.
Setelah menyelesaikan perjalanan di pulau Jawa bagian timur, beliau belajar lagi ke pesantren yang diasuh Syaikh KH. Manshur bin Abdul Hamid al-Batawi, pengarang kitab Sullam an-Nayirain, di Jembatan Lima, Jakarta. Kitab Sullam an-Nayirain berisi tentang ilmu falak. Kitab ini mampu dipelajari dan dikuasai oleh Kiai Ma’mun Nawawi selama 40 hari saja.
Secara umum Kiai Ma’mun Nawawi lebih dikenal sebagai ulama falakiyah. Sampai saat ini, Cibogo, kampung kelahiran beliau, memiliki kalender sendiri dalam perhitungan awal bulan, tahun, puasa, dan lebaran. Maka dalam jangka waktu sepuluh tahun, ada saja perbedaan antara kalender Cibogo dengan pemerintah dalam penentuan awal puasa dan lebaran. Karena basis kalender Cibogo adalah hisab, sedangkan pemerintah adalah rukyat.
Dalam bidang Hadis, Kiai Ma’mun Nawawi berguru kepada al-Muhaddis Ali al-Maliki, al-Muhaddis as-Sayyid ‘Alawi bin ‘Abbas, dan Syaikh Mukhtar Ath-Tharid al-Bogori di Makkah. Untuk al-Muhaddis Ali al-Maliki, Syaikh Muhammad Yasin al-Fadni sampai mencatat tersendiri periwayatan darinya dalam karya al Maslak al Jaliy fi Asanid Fadhilah as-Syaikh Muhammad Ali al Maliki. Di Indonesia, beliau berguru kepada Hadlratus Syaikh Hasyim Asy’ari. Bukti bahwa beliau ulama yang mempuni dalam bidang Hadis adalah hadirnya kitab Bahjat al Wudluh fi Hadis Opat Puluh (Empat Puluh) dengan metode dan isi yang akan kami paparkan pada tulisan mendatang.
Dari Laskar Hizbullah sampai Produktif Menulis Selain sibuk dengan ilmu, Kiai Ma’mun Nawawi juga punya pernanan penting dalam catatan sejarah kemerdekaan Indonesia. Berbekal kedekatan Kiai Ma’mun Nawawi dengan sang guru, Hadlratussyaikh Hasyim Asy’ari dan anaknya K.H Wahid Hasyim, ditambah dengan daerah strategis, Cibarusah didaulat menjadi tuan rumah pusat pelatihan Laskar Hizbullah pada masa revolusi dan reformasi kemerdekaan Indonesia.
Majalah Tempo, 18 April 2011, menggambarkan adanya fakta perjuangan heroik “Laskar Allah” dari Cibarusah. Sekitar lima ratus pemuda berkemeja dengan celana tanggung biru berbaris keluar dari barak-barak anyaman bambu. Para calon opsir ini bersiap mengikuti upacara pembukaan latihan Laskar Hizbullah di Desa Cibarusah, Bekasi. Suatu pagi pada Februari 1945.
Dalam situasi segenting itu, semangat literasi Kiai Ma’mun Nawawi melahirkan karya-karya yang memenuhi dahaga masyarakat, terutama masyarakat Sunda. Tidak kurang dari enam puluh tiga karya lahir dari “tangan dingin” beliau. Karya-karya beliau mencakup keilmuan Islam dalam bidang Hadis, fikih, astronomi (falak), sastra, dan lain-lain. Pada umumnya karya-karya beliau ditulis dengan menggunakan arab pegon dan berbahasa Sunda.
Akhir Hayat Kiai Ma’mun Nawawi wafat pada malam Jum’at 26 Muharram 1395 H pukul 01.15 WIB yang bertepatan dengan tanggal 7 Februari 1975 M di Cibogo pada usia 63 tahun (1912-1975). Pondok pesantrennya saat ini diteruskan oleh salah satu putranya, KH. Jamaluddin Nawawi. Makam Kiai Ma’mun Nawawi berada di sekitar pesantren dan banyak dikunjungi orang baik dari Bekasi, Banten, atau Bogor, khususnya pada bulan Maulid.
Tulisan ini disarikan dari buku “Peranan K.H Raden Ma’mun Nawawi dan Laskar Hizbullah Pada Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia,” (Dinas Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Bekasi, 2018) karya A. Sopandi & A. Jaelani dengan beberapa pengembangan hasil penelitian penulis).