InfokomBanserNU – Oleh Abu Zein Fardany Mayoritas kaum santri di Banua ini menganggap guna ilmu Mantiq untuk memahami isi kitab kuning. Bahkan seorang kenalan saya sendiri yang notabene pengasuh pesantren berpendapat demikian.
Pendapat seperti inilah yang membuat kaum santri tertinggal jauh dalam dunia pemikiran.
Ilmu Mantiq berguna untuk membangun struktur berfikir. Ibarat gedung, semua informasi atau pengetahuan yang kita dapat hanyalah bahan bangunan, tidak menjadi sebuah gedung bila tidak disusun sedemikian rupa oleh para tukang bangunan. Nah ilmu untuk menyusun bangunan ini adalah Ilmu Mantiq.
Karenanya, sebanyak apapun bacaan seseorang, bila Ia tidak pandai dalam ber-Mantiq maka pengetahuannya hanya sebatas informasi. Tidak terstruktur dan tidak bisa menjadi sebuah naungan atau tempat berteduh. Pun juga sangat mudah digiring oleh orang yang menggunakan Mantiq namun secara menyimpang.
Imam al-Ghazali, dalam salah satu bukunya, menegaskan bahwa orang yang tidak mempelajari ilmu Mantiq, kredibilitas keilmuannya patut dipertanyakan. Karena tanpa ilmu ini orang akan berpikir seenaknya, layaknya kaum sofis yang doyan membuat kerusuhan dan menyusahkan banyak orang.
Sebagai contoh sederhana, kita tentu masih ingat dengan peristiwa Aksi Bela Islam. Saya tak bermaksud untuk mengungkit-ngungkit kembali kisah masa lalu itu. Tapi mari kita bayangkan, berapa banyak dana yang harus dikeluarkan untuk meletuskan peristiwa politis itu? Jawabannya tentu sangat banyak.
Bahkan, selain ongkos material, moralitas kita juga hampir terkuras. Dinding-dinding media sosial penuh sesak dengan ujaran kebencian. Sesama Muslim saling menghujat, saling mengafirkan, bahkan saling ancam-mengancam.
Apa sebab utama dari itu semua?
Ya, itu semua sebenarnya bukan hanya gara-gara Ahok yang diduga menista agama. Tapi itu semua adalah kesalahan kita yang terburu-buru dalam menghakimi orang. Semua itu bermula dari ketidakmampuan kita untuk mendudukkan terlebih dahulu makna atau definisi yang tepat dari istilah yang kita perdebatkan saat itu.
Ketika itu, seperti yang kita ketahui, kita semua berdebat keras seputar penistaan agama. Ahok adalah penista al-Quran, Penista Agama, musuh Islam dan sebagainya.
Tapi, jika ada yang bertanya: Apa itu definsi penista Agama? Apa yang dimaksud musuh Islam? Apa yang dimaksud al-Quran? Apa perbedaan antara al-Quran dan penafsiran atas al-Quran? Kadang kita sendiri menjawab seenaknya.
Pada akhirnya kita hanya berdebat mengenai sesuatu yang kita sendiri tidak mampu untuk memaknainya secara mendalam. Konsekuensinya, kita melihat potret kehidupan sosial yang tidak sehat. Alih-alih menampilkan wajah agama penuh rahmat, yang kita tampilkan justru adalah wajah agama yang mudah menaburkan kata-kata sesat serta laknat-melaknat.
Nah, persis pada titik inilah ilmu mantiq itu diperlukan. Ilmu ini bukan saja memiliki kaitan erat dengan ilmu-ilmu yang lain, tapi juga memiliki relevansi yang kuat dalam konteks kehidupan sehari-hari kita.
Termasuk juga, peristiwa menjelang Pilpres kemaren, di mana kita dijebak dengan istilah-istilah “Presiden Pilihan Ulama” dan semacamnya. Ini adalah bukti kegagalan kita dalam ber-Mantiq. Nalar kita lumpuh…!
Parahnya… Ini terjadi bukan hanya pada kalangan awam, tapi juga pada kelas santri dan mereka yang kepalanya berlilit serban…!!!
Apakah sudah sedemikian parah musibah yang menimpa umat Islam? Lumpuh nalar berjamaah dan dipimpin oleh imam?
Innaa Lillah Wa Innaa Ilaihi Raaji’uun…
(red. Abi Infokom)