fbpx

SAKSI MATA PERISTIWA GUMENG KECAMATAN GONDANG

  • Bagikan
SORBANSANTRI.COM

Mengenang

Namanya Kamil yang aku panggil Kamil karena usianya memang sudah sepuh. Dulu kerjanya bertani seperti profesi penduduk desa lainnya. Dan hanya dia yang tersisa dari peristiwa 68 tahun silam. Peristiwa gugurnya para pejuang kemerdekaan di desa tengah hutan

Siang itu, 29 Desember 1949. Penduduk desa yang sedang bekerja di ladangnya terkejut oleh kedatangan ratusan orang. Rombongan yang sebagian besar membawa senjata api itu muncul dari hutan yang mengelilingi desa. Pakaian yang dikenakan terlihat lusuh seperti berhari-hari belum dicuci. Wajah mereka tampak lelah dengan peluh bercampur air hujan yang membasahi tubuhnya. Kemunculan yang tidak diduga oleh warga desa Gumeng.

Gumeng adalah desa di tengah hutan selatan Pohjejer Kec. Gondang Mojokerto. Ada sebuah sungai dengan air jernih membelah desa kecil itu. Jalan yang menghubungkan dengan luar adalah jalan setapak yang susah dilewati pada musim penghujan. Kala itu penduduknya hanya puluhan orang saja. Rumah pun masih jarang.

Pak Kamil mendengar bila rombongan pejuang republik itu bernama Pak Pamoe. Para pejuang itu berangkat dari Wonosalam di daerah Jombang sekitar 4 hari sebelumnya. Perjalanan melelahkan karena harus menembus lebatnya pepohonan dan tanah licin saat diguyur hujan bulan Desember. Orang bilang Desember itu gede-gedene sumber, besar-besarnya curah hujan.

Gumeng sempat bilang bila warganya tidak akan bisa memberi makan ratusan, mungkin jumlahnya seribuan orang pejuang. Ternak dan simpanan bahan makanan milik warga mungkin hanya cukup dikonsumsi 2-3 hari saja. Kekhawatiran Lurah yang dijawab pak Pamoe dengan kalimat tidak usah repot kami hanya singgah melepas lelah, ada bahan makanan kami bawa sendiri.

Baca Juga  Kiprah BANSER Dalam Hajatan Pernikahan Putri Kasatkorcab Banser Mojokerto

Ada beras yang membebani kuda-kuda para pejuang itu. Bahan makanan yang bisa menghidupi lebih dari seminggu. Mereka juga masih bisa mengambil makan dari buah atau umbi-umbian di hutan. Makan memang bukan persoalan, namun sebagai tuan rumah Pak Lurah jelas tidak enak kalau tidak menyambut tamunya secara layak.

Sore itu suasana desa menjadi berbeda. Desa kecil menjadi penuh sesak oleh senda gurau . Malamnya, pendopo rumah pak lurah tidak bisa menampung orang yang numpang tidur. Begitupun rumah warga sudah penuh hingga sebagian tidur di luar rumah. Pagi esoknya sebagian besar berpencar pergi meninggalkan desa Gumeng. Pak Kamil tidak tahu kemana dua rombongan pejuang itu menuju. Di desa yang tersisa jumlahnya mungkin tiga ratusan orang. Pak Pamoe juga masih ada di Gumeng.

Siangnya, Pak Pamoe memimpin pejuang berbaris di halaman rumah pak Lurah. Dia memerintahkan pasukan yang masih ada untuk segera berkemas. Pak Kamil mendengar bila mereka akan menuju desa Pugeran yang letaknya di utara desa Gumeng. Sebelum barisan dibubarkan, di udara terlihat pesawat terbang melintas dari arah utara.

Baca Juga  Zakat Fitrah Pakai Uang Ikut Madzhab Hanafi Tapi Ukuran Berasnya Ikut Madzhab Syafi'i. Apa Boleh?

Pesawat itu kemudian berbelok dan dari arah timur terbang rendah. Pak Pamoe berteriak memerintahkan pasukannya bubar dan mencari perlindungan. itu tahu kalau pesawat itu akan menyerang barisan pejuang. Benar saja, seperti hujan peluru berhamburan dari senapan mesin di sayap dan badan pesawat tersebut. Serangan itu diakhiri oleh lemparan bom dari pesawat yang selanjutnya menghilang ke barat.

“Bom meledak dengan suara keras memekakkan telinga. Suasana menjadi gelap oleh asap dan debu tanah yang berhamburan. Ada juga serpihan kain yang terkoyak berhamburan” kata Pak Kamil mengenang peristiwa yang disaksikannya.

Serangan pesawat itu ternyata menewaskan puluhan orang pejuang. Pak Pamoe selamat karena berlindung di balik batu besar yang menahan terjangan peluru mitralyur dan guncangan ledakan bom. Mereka yang tidak sempat mencari perlindungan banyak menjadi korban. Para korban kemudian segera dimakamkan dan para pejuang bergegas meninggalkan desa. Tidak lama kemudian datang pasukan Belanda masuk Gumeng merazia mencari para pejuang yang sudah pergi masuk hutan.

Itulah sedikit kisah dari Pak Kamil yang rumahnya ada di dekat Tugu Peringatan Pertempuran Gumeng. Cerita yang dari orang tua yang matanya sudah tidak bisa dipakai melihat dan pendengarannya yang berkurang. Lima tahun yang silam aku temui di rumahnya. Apakah saat ini Pak Kamil masih sehat? entahlah…..

SORBANSANTRI.COM

Sumber: Serpihan Catatan Ayuhanafiq

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan