fbpx
Menu
Suara Santri Suara Hati

KHR. As’ad Syamsul Arifin, Wali Qutub dari Situbondo

  • Bagikan
SORBANSANTRI.COM
kh. As’ad Syamsul Arifin,

sorbansantri.com – Tidak ada yang menyangka, ternyata Mursyid 13 thariqah dan ulama besar ini adalah seorang Qutub (pimpinannya para wali). Berikut adalah kesaksian dari Kyai Mujib, putera KH. Ridwan Abdullah pencipta lambang NU.

Kyai As'ad laksana samudera tak bertepi. Beliau semakin didekati kian bertambah tidak kelihatan. Saya sangat berpengalaman. Bahkan saya pernah mencium seluruh tubuhnya, kecuali yang memang tidak boleh.

Setelah saya pijat selama hampir 3 jam, beliau tertidur sangat pulas. Saya ciumi sekujur tubuhnya, dari ujung kepala sampai telapak kaki. Saya tidak mendapatkan bau apa-apa. Sampai saya berkata, “beliau ini ada atau tidak ada? Apakah ini orang yang dikatakan sudah berada di maqam fana?”

Hampir 20 tahun saya hidup bersama beliau. Tambah dekat dan tambah lama, semakin tidak kelihatan, sulit ditebak. Saya baru diberi tahu dan mengerti, baru yakin siapa beliau ini, setelah saya sampai di Madinah tahun 1987 saat ditunjuk sebagai petugas haji oleh pemerintah. Sebelum berangkat haji, saya pun minta izin ke beliau.

“Pak Mujib, pergi haji Sampean ini sunnah tapi sampai (datang) ke Haramain tahun ini (fardhu kifayah). Kalau Sampean tahun ini tidak datang ke tanah Haram, dosa Sampean besar,” kata Kyai As'ad.

“Kenapa?” tanyaku.

“Jawabnya nanti di sana, bukan di sini,” kata Kyai As'ad.

“Namun Sampean jangan berkecil hati. Sampean saya pinjami ijazah. Setelah pulang, ijazah tersebut harus dikembalikan. Tidak boleh dipakai terus,”

“Kalau saya sudah hafal bagaimana, Kyai?” tanyaku.

“Ya terserah, kalau Sampean jadi bajingan,”

Sampai larut malam, saya tidak diperbolehkan pulang. Saya disuruh pulang besok pagi. Tapi ijazah itu, tidak ‘dipinjamkan' sampai saya tertidur. Ternyata, dalam tidurku itu saya ditalqin ijazah. Lalu saya ditanya apakah masih punya wudhu. Saya jawab, masih punya. Baru kemudian saya ditalqin.

Baca Juga  Abu Nawas Memindahkan Istana Khalifah

Menjelang Shubuh saya pun terbangun. Ternyata di bawah bantal ada secarik kertas yang ditulis oleh Kyai As'ad. Bunyinya persis seperti ijazah dalam tidur tadi. Mungkin beliau takut saya lupa.

Setelah saya pulang dari haji, beliau sudah ada di saya ingin mengambil ijazah itu.

“Saya tidak minta oleh-olehnya, Pak Mujib. Hanya saja ijazah itu harus dikembalikan,” kata Kyai As'ad. Mungkin, ijazah itu takut disalahgunakan.

Alhamdulillah saya berhasil menunaikan haji. Ada beberapa peristiwa yang saya alami, yang hanya bisa saya ceritakan kepada Kyai As'ad. Semuanya saya ceritakan. Lalu saya bertanya:

“Ada satu Kyai, yang menyangkut Panjenengan,”

“Lho, sampean ke sana mau ngurus saya juga ya?” tanya Kyai As'ad dengan nada marah.

Saya pun dimarahi oleh beliau. “Sampean ke sana dengan saya pinjami ijazah segala, jadi ngobyek saya juga ya? Kurang ajar Sampean ini!” katanya agak marah.

“Ya tidak begitu, Kyai. Masa saya sudah ikut Panjenengan hampir 20 tahun, kok tidak tahu siapa sebenarnya Panjenengan?” jawabku.

“Lha iya, Sampean ngobyek, ingin tahu saya. Apa hasilnya?”

“Saya disuruh membacakan ayat di hadapan Panjenengan!”

“Ayat apa?” tanya Kyai As'ad.

“Ayat . Dengan syarat, kalau Panjenengan mau. Kalau tidak mau ya tidak usah!” jawabku.

“Mana ada kyai yang tidak mau dibacakan al-Quran? Gila Sampean ini!” kata Kyai As'ad.

“Lha wong ‘Bos' di sana bilang begitu, Kyai,” kata saya melucu.

Ceritanya, sewaktu di tanah Haramain saya bertemu ‘Bos'. Kata Bos: “Kalau Kyai As'ad tidak mengaku siapa sebenarnya beliau, bacakan ayat ini. Dengan catatan beliau harus mau.”

“Kalau tidak mau, ya saya tidak akan pernah tahu siapa Kyai As'ad,” jawabku. Karena itu saya pun mendesak ‘Bos' itu.

Lalu ‘Bos' berkata: “Ya… tidak maunya itu ngakunya!”

Saya lalu membacakan ayat yang dimaksud di hadapan Kyai As'ad:

Baca Juga  NAPAK TILAS HARI PAHLAWAN ANSOR BANSER PC KOTA TEGAL

ﻓَﻜَﻴْﻒَ ﺇِﺫَﺍ ﺟِﺌْﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﻛُﻞِّ ﺃُﻣَّﺔٍ ﺑِﺸَﻬِﻴﺪٍ ﻭَﺟِﺌْﻨَﺎ ﺑِﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﻫَﺆُﻟَﺎﺀِ ﺷَﻬِﻴﺪًﺍ

“Maka bagaimana jika Kami mendatangkan dari setiap umat dan Kami mendatangkanmu sebagai saksi atas mereka?” (QS. an-Nisa ayat 41).

Belum selesai saya membaca ayat tersebut, beliau menangis sejadi-jadinya, menjerit sampai bercucuran air mata. Inilah pengakuan yang tidak bisa dihindari. Saya tembak di tempat dengan resep ‘Bos' tadi. Ya, jangan tanya siapa ‘Bos' tersebut.

Saya tunggu. Beliau nangis hampir satu jam, itu pun masih terisak-isak seperti . Lalu saya diajak salaman. Ketika saya mau mencium tangan beliau, tidak diperbolehkan.

“Kali ini Sampean tidak saya izinkan mencium tangan saya,” kata Kyai As'ad masih dalam keadaan terisak.

Saya pucat. “Wah, haji saya kali ini mardud (tertolak),” begitu dalam benak saya. Mengapa? Sebab saya telah membuka besar, yang di dunia ini orangnya hanya satu. Wali Quthub ini, di dunia hanya satu. Itu rahasianya saya buka, walaupun saya disuruh ‘Bos'.

“Pak Mujib, apa Sampean tidak keberatan belas kasihan sama saya. Saya minta belas kasihan Sampean. Saya minta belas kasihan Sampean agar jangan sampai ngomong kepada orang lain selama saya masih hidup, siapa diri saya ini!” Pinta Kyai As'ad kepadaku.

Kagem Panjenengan”ipun, LahumAlFatihah

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {١} الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {٢} الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ {٣} مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ {٤} إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ {٥} اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ {٦} صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّينَ {٧}

اللَّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلىَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تُنْحَلُ بِهَ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِيْمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ في كل لمحة ونفس بعَدَدَ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

  • Bagikan
Situs ini melarang klik kanan
Maaf, situs ini mematikan pilihan