Mojokerto, SorbanSantri.com – Sejarah mencatat bahwa awal kemerdekaan Indonesia diwarnai oleh berbagai perjuangan dan pengkhianatan. Salah satunya adalah kisah Muso Al-Musawwa Klan Balawi, seorang habib yang mengajarkan ideologi komunisme. Muso, yang terinspirasi oleh ideologi komunisme dari Yaman, terlibat dalam pembunuhan Gubernur pertama Jawa Timur, Suryo. TNI akhirnya menumpas Muso dan komplotannya, membakar mereka hidup-hidup di Alun-alun Purworejo.
Tragedi ini seharusnya menjadi pelajaran penting bahwa rakyat Indonesia hanya menginginkan Pancasila sebagai dasar negara. Namun, ketika Muso menyebarkan komunisme, mengapa Rabithah Alawiyah (RA) tidak memperingatkannya? Pertanyaan ini kembali mengemuka ketika sejarah berulang di tahun 1965 dengan tokoh Achmad Ja’far Al-Aidid atau D.N. Aidit, serta para habaib lainnya yang memperjuangkan sistem komunisme di Indonesia. Mereka juga berakhir tragis, seperti Aidit yang ditembak mati di Boyolali.
Tidak hanya pada masa awal kemerdekaan, propaganda radikal kembali muncul. Rizieq Shihab, misalnya, mempengaruhi umat Islam di Indonesia untuk mendukung ISIS. Namun, RA tidak mengambil tindakan tegas untuk memperingatkannya. Demikian pula pada tahun 2012, ketika keterlibatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam Front Pembela Islam (FPI) terjadi, RA dan habaib lainnya tidak melakukan pencegahan yang diperlukan.