Mojokerto Kota Perjuangan
Makam dengan nomer kode 244 ada di jajaran paling selatan Taman Makam Pahlawan (TMP) Gajah Mada Mojokerto. Pada nisannya tertulis nama Mat Jatim. Pada makam itulah tertanam jasad seorang syuhada, dia mati syahid.
Ditulis oleh Pamoe Rahardjo, komandan Pasukan Komando Hayam Wuruk, bila jenazah Mat Jatim dipindahkan dari Ngembeh sekitar tahun 1950. Saat dibongkar kondisi jasad dan pakaiannya dalam kondisi utuh. Padahal Mat Jatim gugur dalam pertempuran tanggal 12 Pebruari 1949.Subhanallah.
Jenazah yang masih mengenakan baju saat meninggal dengan peluru menembus dada itu dipindah ke belakang Kantor Kecamatan Kutorejo. Prakarsa pemindahan makam syuhada tersebut datang dari Mayor Mansyur Solikhi yang saat itu menjabat Komandan KDM Mojokerto sekaligus merangkap selaku Bupati Militer Kab. Mojokerto. Mayor Mansyur adalah atasan Mat Yatim pada pertempuran tanggal 12 Pebruari yang menyebabkan dia gugur. Tahun 1980-an makam Mat Yatim dipindahkan lagi ke TMP Gajah Mada Mojokerto.
Informasi penghuni TMP bisa kita lihat setelah melewati pintu gerbang. Pada dinding marmer yang memuat nama jenazah yang dimakamkan di lokasi itu tertulis nama Achmad Khosim. Nama itu adalah nama asli komandan Kompi IV Bn 03 Mansyur Sholikhi. Mat Jatim merupakan nama panggilan karena dia memang anak yatim. Kemungikinan dia gugur pada usia muda, sekitat 20 tahun.
Perkiraan umur itu bisa ditentukan dari syarat pendaftaran Hizbullah pada awal tahun 1945. Untuk bisa berangkat ke kamp pelatihan adalah seorang pemuda muslim, usia sekurangnya 17 tahun, masih lajang dan mendapatkan ijin dari orang tua atau walinya. Karena hidup di Panti Asuhan ijin tertulis didapatkan dari pengurus panti. Perkiraan Khosim lahir pada tahun 1928
Pendidikan militer dia dapatkan tentara Jepang tahun 1945. Mat Jatim merupakan salah satu peserta pelatihan Hizbullah di Cibarusa Bekasi. Syarat menjadi peserta adalah pemuda dwngan usia minimal 17 tahun. Peserta juga harus lajang, belum berumah tangga. Disanalah dia digembleng untuk memperoleh sertifikat yang ditandatangani Mbah Hasyim Asyari. Dan setelahnya dia setia bergabung dalam kesatuan Lasykar Hizbullah Mojokerto hingga dilebur dalam TNI tahun 1947.
Bila melihat kondisi makamnya, tampak bahwa tidak pernah ada yang menziarahi. Ada banyak rumput tumbuh di atas pusaranya. Rerumputan itu segera dicabuti oleh petugas makam saat menunjukkan lokasi makam tersebut. Sepertinya makam yang tidak pernah didatangi keluarga tidak begitu diperhatikan oleh petugas kebersihan TMP.
Sayangnya niat mencari makam Kapten Madjid Asmara, Kepala staf Bn 03 tidak ketemu. Pada buku daftar nama makam tidak tercantum nama mantan Komandan Hizbullah Gresik yang menjadi korban pertempuran di jembatan Ngembeh tersebut. Sebelum bergabung dalam Lasykar Hizbullah, Madjid Asmara pada jaman Jepang merupakan anggota sukarelawan PETA.
Kemungkinan besar Kapten Madjid Asmara adalah korban pertempuran dengan jabatan tertinggi saat itu. Jabatan Kepala Staf Batalyon merupakan orang kedua setelah Mansyur Sholikhi, komandan yang berpangkat Mayor. Karena itu, Mansyur sangat berduka atas gugurnya Madjid Asmara.
Jika menilik dari pemindahan makam para pahlawan yang ada di seluruh wikayah Mojokerto untuk disatukan di TMP, harusnya makam Madjid Asmara ada di tempat itu juga. Setidaknya tidak jauh dari makam Kapten Mat Jatim. Entah dimana makamnya setelah proses pemindahan. Ataukah nisannya diberi nama “tidak dikenal” seperti makam lainnya. Memang ada banyak makam tertulis tanpa nama di TMP Gajah Mada itu.
Seorang syuhada jelas tidak butuh makam karena sudah disediakan tempat oleh Allah. Seperti juga saat berjuang yang tidak memikirkan jabatan. Namun adalah tugas generasi kini untuk merawatnya sebagai bentuk penghormatan. Rasa hormat atas pengorbanan para syuhada
Sumber : Serpihan Catatan Ayuhanafiq