Oleh Ayik Heriansyah
Saya menonton di televisi berita-berita demonstrasi tresebut dari pesantren At-Taqwa Tanjung Pandan Belitung. Rumor yang berkembang, demonstrasi diorganisir dan diikuti oleh kelompok kiri dan Ikhwanul Muslimin. Hizbut Tahrir tidak tampak. Hanya ada foto orang sejumlah hitungan jari tangan yang membawa bendera Hizbut Tahrir di tengah lautan manusia.
Awal 2011 saya masih tercatat sebagai anggota Hizbut Tahrir. Dalam benak saya, seharusnya, demo-demo besar tersebut diorganisir oleh Hizbut Tahrir Mesir dan lautan manusia di sana adalah para pendukung dan anggota Hizbut Tahrir. Karena Hizbut Tahrir masuk Mesir dibawa langsung oleh pendirinya Taqiyuddin an-Nabhani pada tahun 1950-an, sehingga massanya sudah banyak dan cukup untuk menggoyang kursi Presiden Mesir.
Selama ini, kami diopinikan bahwa Hizbut Tahrir di Arab itu besar. Pendukung dan anggotanya banyak. Para pengurusnya sangat solid. Akan tetapi Hizbut Tahrir tidak dapat menunjukkan kebesarannya karena tekanan penguasa. Hizbut Tahrir tidak eksis di Arab bukan karena ajaran, doktrin, ide dan metode Hizbut Tahrir yang salah. Jadi, di Arab Hizbut Tahrir tidak ada masalah dengan pemikiran, tetapi politik penguasalah yang membuat mereka terlihat kecil.
Fakta Arab Spiring membuka mata saya, bahwa sebenarnya Hizbut Tahrir di Arab memang ditolak karena pemikirannya, bukan karena tekanan penguasa. Di Arab berdiri kokoh kampus-kampus tua (yang telah melahirkan ratusan ribu ulama tersohor kelas dunia yang diakui kealiman, kejujuran dan ke-zuhud-annya. Tapi, mereka tidak menjadi pendukung dan anggota Hizbut Tahrir. Bahkan menjadi penentangnya. Sangat sulit jika mau dikatakan mereka menentang kebenaran dan penolak syariat Allah swt.
Fakta yang sama juga terjadi di Indonesia. Di Indonesia, selama 23 tahun (1998 – 2021), Hizbut Tahrir leluasa menyebarkan paham di dunia maya dengan menggunakan berbagai macam nama website, blog dan akun media sosial. Aktivis HTI semuanya menjadi buzzers khilafah. Mereka aktif membagikan konten di media sosial yang merupakan ruang publik utama di era sekarang.
Perilaku buzzers khilafah umumnya hanya mem-posting. Enggan menanggapi komentar, bantahan, kritik dan sanggahan netizen. Apalagi diajak adu argumen. Mereka menanggapinya dengan menyerang balik netizen, mengalihkan topik atau mem-posting konten baru, yang pada intinya mereka menghindar. Mengapa demikian? Karena konten yang disebarkan oleh buzzers khilafah bermuatan dis- dan mis-informasi.
Ada tujuh dis- dan mis-informasi:
1. Satire, yaitu, tidak ada niat untuk mengelabui tapi berpotensi merugikan.
2. Konten yang menyesatkan, yaitu, penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu.
3. Konten tiruan, yaitu, ketika sebuah sumber ditiru.
4. Konten palsu, yaitu, ketika informasi 100% salah didesain untuk menipu.
5. Koneksi yang salah, yaitu, ketika judul atau gambar tidak sesuai dengan konten.
6. Konten yang salah, yaitu, ketika konten yang asli dipadankan dengan konteks informasi yang salah.
7. Konten yang dimanipulasi, yaitu, ketika gambar atau konten yang salah dimanipulasi untuk menipu. (MY. Alimi, 2018: 82).
Mudah sekali bagi netizen mendeteksi dis- dan mis-informasi dari konten yang disebarkan oleh buzzers khilafah. Media sosial adalah ruang publik paling demokratis, independen dan netral saat ini. One man one voice. Setiap orang boleh menyatakan dan menyampaikan tentang dirinya ke orang lain tanpa batas selain batas moral dan hukum. Tidak ada batasan bagi nalar netizen, selain nalar netizen lain yang lebih akurat. Di media sosial nalar publik menjadi “hakim” yang imparsial.
Ide khilafah yang diviralkan oleh buzzers HTI ditolak publik karena ide tersebut tidak akurat. Hujjah-nya lemah. Nalar publik sulit menerima khilafah sebagai solusi semua problematika umat manusia. Penolakan publik atas ide khilafah, bukan karena dibayar dan atas tekanan penguasa. Penolakan itu murni dari akal sehat netizen. Tidak saja di Indonesia, tetapi juga di Arab dan seluruh dunia. (abi sorban)