Bahkan dia juga bertindak hati-hati tidak mau memamerkan ketaatannya kepada Tuhan, atau bangga terhadap jumlah pengikutnya yang banyak. Intinya tidak mau tenar, urusan keyakinan itu hanya antara dirinya dan Tuhan. Namun masyarakat awam meninggalkan orang baik seperti ini karena berkeyakinan tanpa akal dan logika atau ilmu, mereka lebih banyak mengikuti jejak orang yang bertipe sebaliknya.
Maka konteksnya, keyakinan yang dimiliki oleh sosok manusia yang banyak diikuti masyarakat religius saat ini adalah menyebarkan tafsiran atas kebodohan dan kemalasan. Bahkan menghambat ilmu yang seharusnya menjadikan peradaban modern itu lebih maju.
Contoh, ngapain sih belajar matematika gak akan ditanya di akhirat. Ngapain juga sih belajar bahasa asing, mati juga gak dipakai ilmunya. Inikan justru menghambat manusia untuk berfikir dan berkembang untuk maju.
Atau dengan kata-kata ajaib kalau rezeki udah diatur, banyak do’a aja. Atau sedekah motor dapat ganti mobil mewah, kamu tak akan pernah menjangkau logika Tuhan, nanti Tuhan yang mengatur itu semua. Pokoknya ikuti saja, taklid sama guru. Hingga hilanglah sisi kritis mereka, ketika ada yang kritis langsung mendapatkan cap munafik, kafir dan lain sebagainya dan ini juga membenarkan terjadinya konflik internal di keyakinan yang sama.
Maka timbulah banyak kelompok, keyakinan sama tapi saling tuding bahwa yang asli hanya satu yang lainnya palsu. Bahkan sesama mereka pun saling ribut, saling caci maki dan membenci, padahal semua ajaran keyakinan intinya mengharuskan berbuat kebaikan dan juga kedamaian.
Akhirnya terjdilah pembelaan dalam kejahatan yang dilakukan atas nama keyakinan tertentu. Contohnya sudah dijabarkan diatas.
Jadi orang yang seperti itu bisa dibilang gagal dalam mentafsirkan pesan dalam suatu ajaran keyakinan, malah menghambat dan meremehkan akal budi manusia, sehingga akhirnya mereka tidak bisa maju.
Ketika negara maju, tidak memberikan ruang untuk guru-guru religi dengan pemahaman yang salah kaprah itu maka terciptalah peradaban dunia yang mereka kendalikan.
Namun efeknya, negara-negara maju ini juga takut dengan tokoh-tokoh atau orang-orang religius yang baik, karena alasan yang tadi itu. Duh, jadi repotkan.
Lantas bagaimana kita yang hidup di negara religius, namun ingin mendalami keyakinan itu dengan baik?
Agak rumit, tapi ada wejangan dari guru-guru,
orang-orang yang sholih berada di tengah banyaknya orang-orang yang jelek, orang yang mendurhakai mereka (orang shalih) lebih banyak daripada yang mentaati mereka
(HR. Muslim).
Dan mayoritas itu bisa jadi belum tentu sebuah kebaikan, masihkah kita mengikuti apa yang dikatakan oleh mayoritas? Silahkan dipikirkan.
(Religius dan maju, bisa dilihat contohnya dimasa peradaban Romawi, Mesir Kuno, Yunani kuno, hingga Dinasti Abbasiyah, mereka banyak melakukan pemikiran yang logis, antara ilmu dan religi berjalan beriringan)
Bila data grafik diatas ada kesalahan, bisa lihat data grafik dibawah ini karena data pertahun akan terus berubah. (abi Sorban)