SORBAN SANTRI– Definisi sangat penting dan menentukan posisi suatu konsep dalam semesta ilmu pengetahuan. Definisi yang membuat suatu konsep “mengada” dan “berbeda” dengan konsep yang lain. Karena definisi memberi batas-batas bagi suatu konsep.
Suatu definisi sejatinya hasil konstruksi pemikiran seseorang atas suatu realitas. Oleh sebab itu, suatu definisi tidak bisa “menyalahkan” definisi yang lain. Meski demikian, suatu definisi bisa dan boleh dikritisi keakuratannya.
Karena suatu definisi merupakan hasil “ijtihad”, maka definisi bernilai syar’i sepanjang menggunakan metode aqliyah dalam perumusahnnya.
Terkait definisi khilafah, ada puluhan definisi yang sudah dibuat oleh para ulama. Semua definisi tersebut mengerucut kepada satu makna yakni imamah. Khilafah = imamah adalah satu kepemimpinan tunggal yang mengganti kepemimpinan Nabi saw dalam urusan dunia dan menjaga agama dalam satu negara.
Jika kita mencermati realitas kepemimpinan Nabi saw, Muhammad saw adalah pemimpin agama dan politik. Kepemimpinan agama Nabi saw bersifat universal tanpa dibatasi ruang, waktu dan batas-batas negara bagi siapapun yang mau mengimaninya. Secara eksklusif, kepemimpinan spiritual Nabi saw khusus untuk umat Islam.
Sedangkan kepemimpinan politik Nabi saw, dibatasi oleh ruang, waktu dan batas-batas negara. Kepemimpinam politik Nabi saw meliputi kota Madinah dan kabilah-kabilah yang menerima konstitusi negara (Piagam Madinah), tanpa memandang agama. Muslim dan non muslim warga negara Madinah tercakup ke dalam kepemimpinan politik Nabi saw.
Adapun kaum muslim yang bukan warga negara Madinah, tidak termasuk ke dalam kepemimpinan politik Nabi saw. Mereka hanya masuk dalam kepemimpinan keagamaan Nabi saw. Misalnya umat Islam yang berada di Mekkah dan kabilah-kabilah Arab yang tidak ikut hijrah ke Madinah. Uwais al-Qorni (umat Islam di Yaman). Dan umat Islam yang berada di Habasyah serta umat Islam di berbagai tempat di luar negara Madinah.
Kepemimpinan agama Nabi saw berakhir setelah Beliau saw wafat. Tidak ada penggantinya. Akan tetapi kepemimpinan politik Nabi saw diteruskan oleh para khalifah yang jumlahnya banyak. Karena khalifah adalah pemimpin politik, maka kepemimpinannya terbatas dalam lingkup wilayah negara. Dan meliputi semua warga negara, muslim dan non muslim.
Demikian juga faktanya, sepanjang sejarah umat Islam, kepemimpinan khalifah dibatasi oleh batas-batas negara. Tidak ada khalifah yang memimpin umat manusia umumnya dan umat islam khususnya di seluruh dunia.
Dari realitas ini kita bisa menganalisa dan menilai kelemahan definisi khilafah menurut Taqiyuddin an-Nabhani. Definisi Khilafah menurut Taqiyuddin An Nabhani adalah sebagai berikut :
اَلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعاً فِي الدُّنْيَا لإِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ
“Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum Syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.” (Taqiyuddin An Nabhani. 2003. As Syakhshiyah Al Islamiyah. Beirut : Darul Ummah 2003, Juz 2 hlm.)
Definisi ini, definisi baru yang tidak dikenal oleh umat Islam sebelum adanya Hizbut Tahrir. Kelemahan dari definisi khilafah ini antara lain:
Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan
َلْخِلاَفَةُ هِيَ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ لِلْمُسْلِمِيْنَ جَمِيْعاً فِي الدُّنْيَا
“khilafah adalah kepemimpinan umum untuk kaum muslim di seluruh dunia”.
Definisi ini lemah, karena seorang khalifah sebagai pengganti Nabi saw dalam kepemimpinan politik (mengatur urusan umat), seharusnya bukan hanya sebagai kepemimpinan bagi umat Islam, melainkan juga bagi non muslim yang menjadi warga negaranya. Sebagaima fakta kepemimpinan politik Rasulullah saw di Madinah.
Definisi ini menurut juga lemah karena tidak membatasi objek kepemimpinan dalam suatu batas-batas wilayah negara. Justru suatu negara, ada/wujud/eksis, karena ada batas-batasnya yang membedakannya dengan negara lain. Memimpin “umat Islam di seluruh dunia” tanpa batas wilayah negara tidak bisa dibayangkan wujudnya di dalam benak seseorang dan tidak ada realitasnya. Sulit dibayangkan oleh akal sehat, dunia seluas ini punya satu negara saja.
Dalam definisinya juga Taqiyuddin an-Nabhani mengatakan:
إِقَامَةِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ الإِسْلاَمِيِّ، وَحَمْلِ الدَّعْوَةِ الإِسْلاَمِيَّةِ إِلَى الْعَالَمِ
Sebagaimana yang telah kita ketahui, khilafah yang dimaksud Hizbut Tahrir adalah institusi/sistem (nizhamiyah), bukan individu (imamah). Oleh karena itu, definisi ini lemah karena bertentangan dengan realitas bahwa yang menjadi subjek dan objek hukum syara’ serta yang menjadi subjek dan objek dakwah adalah individu bukan institusi/sistem, karena seruan Allah swt dan Rasul-Nya saw semuanya ditujukan kepada individu bukan institusi/sistem.
Pun dalam konteks sistem pemerintahan, yang menjadi subjek dan objek syariah adalah individu kepala pemerintahannnya. Individu khalifah yang akan dihisab di akhirat, bukan institusi/sistem. Individu khalifah yang akan masuk surga atau neraka bukan institusi/sistem.
Hal ini diperkuat oleh definisi hukum syara’ termasuk menurut Taqiyuddin an-Nabhani sendiri. Dalam pengertian syar‘i, para ulama ushul mendefinisikan syariah (syarî‘ah) sebagai perintah Asy-Syâri‘ (Pembuat hukum) yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan hamba dan berkaitan dengan iqtidhâ‘ (ketetapan), takhyîr (pilihan), atau wadh‘i (kondisi) (khithâb asy-Syâri‘ al-muta‘allaq bi af‘âl al-‘ibâd bi al-iqtidhâ‘ aw al-takhyîr, aw al-wadl‘i).
Walhasil, definisi khilafah yang kuat adalah definisi yang dibuat oleh para ulama sebelum Taqiyuddin an-Nabhani, yaitu khilafah adalah imamah. Khilafah bukan nizhamiyah. Khilafah adalah pemimpin tertinggi dalam suatu negara seperti dalam kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili menyatakan:
الإمامة العظمى أو الخلافة أو إمارة المؤمنين كلها تؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة هي السلطة الحكومية العليا
Imâmah ‘udzma atau Khilafah atau Imâratul Mu’minîn semua mengantarkan pada satu makna, dan menunjukkan posisi yang satu, yakni otoritas pemerintahan yang tertinggi.
Apapun bentuk negara dan bagaimanapun sistem pemerintahannya, maka pemimpin tertinggi negara dan pemerintahan tersebut tercakup ke dalam makna khilafah, meski pejabatnya disebut Presiden. (Abi SORBAN)
Oleh Ayik Heriansyah
Pengurus LD PWNU Jabar
Ketua Divisi Riset DPP Petanesia