Pada dasarnya pengaturan tentang suara di Masjid sudah ada sejak zaman dahulu dan mengaturnya merupakan keharusan, misalnya seorang ulama dari Hadramaut Yaman, Sayyid Abdurrahman Ba’alawi dalam Kitabnya Bughyatul Mustarsyidin hal. 108 sayang saya terjemahkan kurang lebih sebagai berikut: “(Pemberitahuan) sekelompok orang membaca Al-Quran dengan suara keras di masjid. Sebagian orang mengambil manfaat dari pengajian mereka. Tetapi sebagian orang lainnya terganggu. Jika maslahatnya lebih banyak dari mafsadatnya, maka baca Al-Quran itu lebih utama (afdhal).
Tetapi jika sebaliknya yang terjadi, maka baca Al-Quran itu menjadi makruh. Selesai. Fatwa An-Nawawi, “Zikir dan sejenisnya antara lain membaca Al-Quran dengan suara keras di masjid tidak makruh kecuali jika mengganggu konsentrasi orang yang sedang solat atau mengganggu orang yang sedang tidur. Tetapi jika bacaan Al-Quran dengan suara keras itu mengganggu, maka saat itu bacaan Al-Quran dengan lantang mesti dilarang. Sama halnya dengan orang yang duduk setelah adzan dan berzikir. Demikian halnya dengan setiap orang yang datang untuk shalat ke masjid, lalu duduk bersamanya, kemudian mengganggu konsentrasi orang yang sedang sholat. Kalau di sana tidak memunculkan suara yang mengganggu, maka zikir atau tadarus Al-Quran itu itu hukumnya mubah bahkan dianjurkan untuk kepentingan seperti taklim jika tidak dikhawatirkan riya,” Katanya.
Mustain Nasoha juga menambahkan, “Syekh Abu Abdirrahman Abadi dalam Kitab Aunul Ma‘bud ala Sunan Abi Dawud halaman 626 juga menganjurkan adanya pengaturan suara ketika dzikir dan membaca Al-Qur’an di Masjid hal ini agar tidak mengganggu orang lain yang sedang beribadah. Pengarang Tafsir Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Imam Al-Qurthubi (w. 671 H/1273 M) dalam tafsirnya mengatakan, “Janganlah memaksakan diri mengeraskan suara dan ambillah suara sesuai kebutuhan. Sebab, mengeraskan suara melebihi kebutuhan itu merupakan usaha memaksakan diri yang menyakitkan ( orang lain ).” Hal yang diatur didalam SE Menteri No, 5 Tahun 2022 lainnya adalah masalah Tarkhim sebelum subuh, Tarhim pada dasarnya dianjurkan dalam syariat dengan catatan 1. Ada unsur mengingatkan untuk beribadah (التنبيه في العبادة) seperti yang terjadi pada bulan Ramadhan. 2. Tidak berdampak negatif secara syari’at, semisal mengganggu kenyamanan orang yang sedang tidur, dan lain lain. 3. Digunakan sesuai dengan kebutuhan. Diatur sebaik mungkin agar menghasilkan suara yang baik. Hal ini telah dibahas dan ditulis oleh para ulama,” Kata Dosen Ilmu Hukum UIN R.M. Said Surakarta ini.