KH. Ahyat Chalimy (bagian 3)
Mendirikan GP Ansor
K.H. Ahyat Halimy ketika baru pulang dari belajar di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, usianya masih sangat muda, yaitu 20 tahun, tetapi karena perangainya yang sangat santun, dan hormat pada Ulma’, maka beliau sudah dipercaya untuk menjabat Sekretaris Tanfidziyah NU yang diketuai oleh K.H. Dimyati dari Kauman, dan Rois Syuriyah-nya K.H. Zainal Alim dari Suronatan.
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai sekretaris Tanfidziyah NU, K.H. Ahyat Halimy beserta teman-temannya, pada tahun 1938 mendirikan Ansoru Nah-dlatul Ulama (ANO) atau GP Ansor. Motor dari gerakan ini adalah Pak Munasir dari Mojosari, P. Soleh Rusman dari Kradenan, beserta dua belas pemuda lainnya. Fungsi utama ANO waktu itu adalah membantu seluruh kegiatan dan program Nahdlatul Ulama.
Tahun 1940 s/d 1942, selain masih menjabat sebagai Sekretaris Tanfidziyah NU, K.H. Ahyat Halimy juga dipercaya menjabat Ketua GP Ansor. Pada masa kepe-mimpinannya, K.H. Ahyat Halimy membentuk tenaga penggerak di setiap Kawedanan, sebagai berikut :
Kawedanan Mojosari, diserahkan pada P. Munasir, P. Munadi dan P. Mustaqim.
Kawedanan Mojokasri diserahkan pada P. Mansur Solikhi dan Sdr. Imam Muhtadi.
Kawedanan Jabung diserahkan pada P. Shofwan dan P. Abd. Hamid.
Kawedanan Mojokerto, diserahkan pada K.H. Ahyat Halimy sendiri, K.H. Samsoemadyan, P. H. Bilal, dan P. H. Rifa’i.
Pada periode ini, kegiatan G.P. Ansor tidak hanya sekedar membantu kegiatan dan program NU, tetapi sudah memiliki kegiatan kepemudaan yang lain, seperti baris berbaris, kepanduan, bela diri dan lain-lain.
Disamping itu, hampir setiap malam, mereka selalu berkumpul di Surau Jl. Miji 36 untuk sekedar ngomong-ngomong dan berdiskusi tentang berbagai hal. Mereka bahkan sudah memiliki satu pasukan berseragam, terompet sangkakala, dan beberapa perangkat kegiatan “kepanduan” ( seperti Pramuka jaman sekarang).
Tahun 1943, ketika tentara Jepang mulai memasuki Mojokerto, dan terjadi penjarahan besar-besaran ter-hadap semua toko dan gudang bahan makanan dan barang penting lain yang dikuasai Cina dan Belanda, aktivitas GP Ansor sempat terhenti, meskipun sebenar-nya mereka semua masih sangat kompak, bersatu padu dalam satu tekad “ Li I’laai kalimatillah “.
Penjarahan itu ternyata memang diperintahkan oleh Penjajah Jepang, pada hari pertama mereka masuk Kota Mojokerto, bukan untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan Penjajah Jepang sendiri. Hal ini terbukti pada esok harinya ada pengumuman, bahwa barang jarahan itu harus dikumpulkan di gudang-gudang dan markas tentara Jepang. Rupanya mereka sudah mulai memepersiapkan kebutuhan logistik, untuk digunakan sewaktu-waktu keadaan menjadi sangat sulit.
Akibat dari Penjajahan Jepang ini, rakyat semakin men-derita, persedian sandang dan pangan semakin tipis dan sangat langka, penganiayaan dan pemerkosaan oleh tentara Jepang terjadi dimana-mana. Mereka yang melawan akan dikenakan hukuman mati, yang ekse-kusinya dilaksanakan di alun-alun kota Mojokerto, dengan terlebih dahulu mengumpulkan masyarakat sebanyak-banyaknya untuk menyaksikan eksekusi tersebut. Eksekusi itu antara lain dilaksanakan terha-dap 20 orang pembangkang, salah satunya adalah P. Mansur Solikhi. Beliau sudah diikat pada tiang ekseku-si, tetapi atas pertolongan Alloh SWT, beliau selamat dari tembakan pasukan Jepang, dan dijebloskan kem-bali ke rumah tahanan. Maka lengkaplah penderitaan rakyat Indonesia pada masa pendudukan Jepang.
Perintah untuk melakukan penjarahan ini terus ber-langsung, banyak pula rakyat yang ditahan. Hal ini kemudian mengusik keberanian K.H. Ahyat Halimy. Beliau bersama P. Mansur Sholikhi, memanfaatkan situasi ini, bukan untuk menjarah barang atau bahan makanan, tetapi dengan melaksanakan gerakan untuk menjarah dan melucuti senjata pegawai pemerintah Hindia Blanda di Kantor Kawedanan. Setelah itu Mansur Solikhi beserta kawan-kawannya melakukan penggrebekan ke Pabrik Gula Gempol Kerep, sekali lagi untuk merampas senjata pegawai Pabrik. Gerakan Mansur Solikhi ini, dengan cepat menyebar ke Kawe-danan lain, dan segera diikuti oleh pemuda-pemuda Ansor. Mereka melakukan penggrebekan ke Pabrik Gula di Bangsal, Dinoyo, dan lain-lain. Tetapi malang tak dapat dielakkan, sehari setelah Gerakan ini P. Mansur Sholikhi tertangkap, dan ditahan oleh Jepang selama 1 tahun di rumah tahanan Perwotengah. K.H. Ahyat Halimy sendiri berhasil meloloskan diri dan pulang ke rumah.
Selama dalam tahanan ini P. Mansur Solikhi, sempat bertemu dengan K.H. Hasyim Asy’ari yang juga di tahan di rumah tahanan Purwotengah, karena menolak tunduk pada Jepang.
Ditengah kesulitan dan kebencian seperti itu, semen-tara pasukan Sekutu mulai memenangkan peperangan di banyak Daerah, akhirnya Jepang yang membawa missi kemenangan dalam Perang Asia Timur Raya, mengajak pemuda-pemuda Indonesia, untuk mengikuti semacam pelatihan militer dan membuka luas gerakan bela negara, seperti Heiho, Peta dan lain-lain. Para pemuda, melalui arahan dari pemimpin Pergerakan Nasional, menerima ajakan ini, bukan untuk membela Jepang, tetapi untuk persiapan pembentukan Tentara Nasional, jika Indonesia merdeka pada suatu hari nanti.
Membentuk Hisbullah.
Melihat realitas kepedihan rakyat di masa pendudukan Jepang, serta mulai dibukanya gerakan militer oleh tentara Jepang, maka atas prakarsa beberapa Ulama di Jawa Barat, dan pendekatan yang dilakukan oleh K.H. Wahid Hasyim, selaku Ketua Masyumi, penjajah Jepang mengizinkan diadakannya latihan militer di Jibarosa Bogor. Setelah berembuk dengan P. Mansur Sholikhi dan P. Munasir, disepakti GP Ansor Mojokerto mengi-rimkan 3 kadernya untuk mengikuti latihan di Jibarosa, mereka yang diutus itu adalah ; Sdr. Suhud (Alm. K.H. Suhud, Kemlagi), Sdr. Ahmad Yatim, yang gugur dalam pertempuran di Pacet, dan Sdr. Mulyadi.
Selesai mengikuti latihan di Jibarosa, tiga kader GP Ansor tersebut diajak oleh K.H. Ahyat Halimy, untuk membentuk Pasukan Hisbullah di Mojokerto. Dari hasil pertemuan yang diawali dengan “rujakan” itu, terbetuk Pengurus Hizbullah, yang terdiri dari ;
Ketua : Mansur Solikhi
Wakil Ketua : Munasir
Sekretaris : Samsumadyan
Pembantu Umum : Ahyat Halimy
Anggota : Ahmad Khotib, Akhmad Efendi, Sholeh Yasin, Hudan, Muridan dan Mahfud.
Seluruh anggota GP Ansor, digerakkan untuk masuk ke Laskar Hisbullah, sehingga dalam waktu tidak lebih dari satu bulan, Hisbullah Mojokerto berhasil memben-tuk dua batalyon. Batalyon pertama di pimpin oleh Mansur Sholikhi, dan Batalyon kedua di pimpin oleh P. Munasir. K.H. Ahyat Halimy diangkat sebagai Koman-dan Kompi IV, di bawah Batalyon Munasir. Kompi IV ini mempunyai tugas khusus untuk mengawal para Ulama yang tergabung dalam Laskar Sabilillah.
Seluruh persenjataan dan perlengkapan militer dari Laskar Hisbullah ini, diambil dari pasukan atau pega-wai Hindia Belanda yang sudah ditundukkan oleh tentara Jepang, dan persenjataan tentara Jepang sete-lah mereka mnyerah pada Sekutu.
Perang Gerilya.
Seperti biasanya, malam itu Ahyat, Munasir dan Samsoemadyan, sedang bercengkerama di Surau. Sambil menunggu kedatangan teman yang lain, mereka makan “tahu solet”. Tiba-tiba Mansur Solikhi datang dengan nafas yang terengah-engah, matanya berbinar. Setelah mengucap salam, Mansur segera berkata ; “ Saya baru saja mendengar Radio, tadi pagi Bung Karno dan Bung Hatta, memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia. Sekarang kita sudah punya Negara sendiri. Negara yang dipimpin dan dijalankan oleh bangsa kita sendiri. Allohu akbar ! Allohu Akbar ! .“ katanya berapi-api.
“Benarkah itu ?.” tanya Ahyat.
“Saya mendengarkan dua kali, yaitu siaran setelah maghrib, dan siaran setelah Isya’ “ kata Mansur Solikhi meyakinkan teman-temannya. Tanpa dikomando mere-ka berempat serentak mengumandangkan takbir, sam-bil berjingkrak-jingkrak. Kemudian Ahyat mengajak teman-temannya untuk sujud syukur di surau. Berita ini segera disebarkan ke masyarakat, khususnya teman-teman Ansor di Kota Mojokerto.
Keesokan harinya, entah atas perintah siapa, masyara-kat berbondong-bondong ke alun-alun kota. Beberapa diantara mereka ada yang mengumandangkan Takbir dengan semangat. Tak lama kemudian sudah berkum-pul sekitar seribu orang, mereka rata-rata hanya berbisik-bisik memastikan kabar Proklamasi. Maklum, mereka sebenarnya agak takut, karena di sebelah utara dan selatan alun-alun adalah Markas Kompetai, yang dijaga oleh tentara Jepang dengan senjata laras pan-jang. Tidak seperti biasanya, meski ada kerumunan banyak orang, tentara Jepang itu hanya berdiri me-matung.
Tak lama kemudian tampak ada seorang pemuda me-lambaikan tangan dari Markas Kompetai, sambil menenteng senjata. Beberapa orang pemuda berlarian masuk markas, kemudian keluar sambil membawa senjata. Rupanya mereka sedang melucuti senjata tentara Jepang.
Diantara para pemuda tersebut tampak Mansur Solikhi dari Hisbullah yang juga sudah membawa senjata laras panjang. Mansur kemudian menyuruh teman-teman Hisbullah untuk mengambil senjata, terutama karena tentara Jepang sama sekali tidak memberikan perla-wanan apapun, mereka hanya menolak kalau senjata yang mereka bawa diambil.
Malam harinya, pengurus Hizbullah Mojokerto rapat di surau Jl. Miji 36 dan K.H. Ahyat Halimy mengusulkan agar semua senjata yang diambil oleh anggota Hisbul-lah, dikumpulkan di suatu tempat, dan hanya akan diambil dan dipergunakan pada situasi yang tepat, atas perintah Ketua Hisbullah. Usul ini disepakati, demi keselamatan para anggota Hizbullah sendiri serta menjaga kemungkinan penyalahgunaan senjata.
Hari-hari berikutnya merupakan “hari pesta” bagi rakyat Indonesia, termasuk masyarakat Mojokerto, setiap berpapasan dengan teman, dimanapun mereka berada selalu meneriakkan salam “Merdeka !”. Tapi kegembiraan ini juga diusik oleh adanya berita bahwa tentara Sekutu akan masuk dan menyerang Indonesia, sehingga masyarakatpun mulai bersiap-siap melaku-kan perlawanan pada Sekutu.
Menyikapi situasi ini K.H. Ahyat Halimy meminta kepada teman-teman Hizbullah untuk melakukan koor-dinasi dengan Bapak Husaini Tiway Ketua GP Ansor Surabaya, yang juga sudah membentuk dan menata Laskar Hizbullah di Surabaya. Mereka bahkan sudah membagi wilayah dan tugas untuk wilayah Surabaya dan sekitarnya, termasuk Mojokerto, Gresik, Sidoarjo dan Pasuruan.
Benar saja, akhir bulan September, beberapa orang yang mengaku sebagai perwakilan tentara sekutu, mulai masuk Surabaya. Mereka kebanyakan adalah tentara Comenwealt Inggris yang berada di Australia, dan beberapa orang Belanda yang berhasil melarikan diri ke Australia ketika Jepang masuk ke Indonesia. Di Surabaya, mereka menempati Hotel Orange di Jl. Tun-jungan. Tiba-tiba saja pada tanggal 19 September 1945, mereka mengibarkan bendera Merah Putih Biru di puncak menara hotel. Keruan saja hal ini menimbulkan reaksi keras dari arek-arek Suroboyo. Mereka secara spontan berduyun-duyun ke Hotel Orange, dan dianta-ra mereka kemudian ada yang mulai memanjat menara Hotel, kemudian merobek warna biru pada bendera yang berkibar, sehingga yang tersisa adalah warna bendera merah putih.
Tanggal 25 september 1945, tentara Sekutu benar-benar sudah mendarat di Jakarta, mereka terdiri dari tentara Inggris, Gurgha (orang India yang menjadi ten-tara Inggris), dan ikut pula tentara Belanda. Missi mereka yang sebenarnya adalah untuk melucuti senjata tentara Jepang dan menjadikan mereka sebagai tawanan perang, serta membebaskan tawanan Jepang, khususnya orang-orang Belanda, atau para Pegawai Pemerintah Kolonial Belanda yang ditawan Jepang.
Tetapi dibalik missi resmi itu, rupanya ada agenda khusus dari tentara Belanda, yaitu mengembalikan kekuasan Hindia Belanda. Agenda ini ternyata memang di dukung oleh Inggris, sehingga setiap tentara sekutu datang, kemudian melakukan perundingan dengan “Tentara Indonesia”, selalu berakhir dengan perang. Karena rupanya sekutu enggan mengakui kemerde-kaan Indonesia.
Setelah Insiden 19 September, Tentara BKR (Badan Keamanan Rakyat), terutama Hizbullah, mulai mem-persiapkan diri. Tanggal 20 Oktober tentara sekutu mulai memerapat di pelabuhan Tanjung Perak, Sura-baya, dan dipimpin oleh Jendral AWS Mallaby, awalnya Arek Suroboyo menolak masuknya tentara Sekutu ini, tetapi setelah dilakukan perundingan, mereka mene-rima dengan beberapa syarat. Tanggal 26 Oktober tentara sekutu mulai mendarat secara besar-besaran, dengan dilengkapi senjata berat. Tentara Belanda dan Gurgha, masuk terlalu jauh ke daratan Surabaya, sehingga menyalahi perjanjian yang sudah disepakti dengan Jendral AWS Malaby. Untuk menyelesaikan masalah ini diadakan perundingan kembali di Hotel Internatio, tetapi entah apa yang terjadi, tiba-tiba mun-cul kegaduhan, dan seorang tentara sekutu melepaskan tembakan ke arah keruman massa di depan Hotel Internatio. Kegaduhan itu dicoba untuk dilerai, ketika keadaan sudah mulai mereda tiba-tiba muncul suara tembakan, entah dari mana, maka baku tembak-pun mulai terjadi. Entah yang benar mana, insiden Hotel Internatio, menurut sebgaian sumber telah menewas-kan Jendral AWS Mallaby. Sebagian menceritakan bahwa Jendral Malaby tidak tewas, tetapi diculik arek-arek Suroboyo. Yang jelas sejak insiden tersebut Jendral AWS Malaby tak diketahui keberadaannya.
Pertempuran besar sudah diambang pintu, karena perundingan mengalami jalan buntu. Laskar Rakyat sudah mulai bersiap menghadang pendaratan sekutu, perlawanan sudah mulai diteriakkan. Dari Mojokerto sendiri sudah ada satu kompi laskar rakyat yang berangkat ke Surabaya. Dari Tebuireng, K.H. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Fatwa yang berisi tentang revolusi jihad berupa :
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945, wajib dipertahankan ;
Republik Indonesia adalah satu-satunya pemerin-tahan yang syah diseluruh bekas wilayah Hindia Belanda, wajib dibela dan dipertahankan, meski-pun meminta pengorbanan harta dan nyawa ;
Musuh Indonesia terutama adalah Belanda yang membonceng tugas-tugas sekutu yang diwakili Inggris ;
Ummat Islam, terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawan yang hendak kembali menjajah Indonesia. Melawan Penjajah adalah Jihad fi Sabi-lillah, membela agama Alloh, karena itu bersifat perseorangan atau fardlu ‘ain.
Tanggal 10 Nopember 1945, sekutu memaksa untuk mendaratkan pasukannya, maka pertempuran pun tak terhindarkan. Seluruh Pasukan Hisbullah, dan laskar-laskar rakyat yang ada di Mojokerto berangkat ke Surabaya, menghadang masuknya kembali penjajah Belanda. Dengan berbekal senjata seadanya, dan kendaraan seadanya mereka berbondong-bondong ke Surabaya, memasuki kancah peperangan dengan modal tekat Jihad fi Sabilillah.
Sementara itu penduduk Surabaya yang sudah manula, atau masih balita dan kaum Ibu, diungsikan keluar dari Surabaya, menuju daerah sekitar di Mojokerto, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Lamongan dan Jombang,
Surabaya telah menjadi medan pertempuran. Meskipun laskar rakyat kalah dalam persenjataan, namun tidak mudah bagi Sekutu untuk menguasai Surabaya, karena selain memberikan perlawanan langsung dengan senjata seadanya, arek-arek Suroboyo juga melaksana-kan “gerilya” kota. Laskar Rakyat yang tidak memiliki senjata api, mulai keluar kota, mereka bertahan di Sepanjang, Waru, Porong dan Gresik.
Karena Sekutu sudah mulai menguasai wilayah perko-taan, maka daerah-daerah pinggiran mulai dihujani mortir, dan serangan udara. Mojokerto-pun mulai digunakan sebagai Pos Komando Laskar Hisbulloh. Markas Kompetai di selatan alun-alun, dijadikan Markas Hisbulloh, sedang Pos Kompetai yang berada di Timur Alun-alun digunakan sebagai Markas Sabilillah.
Dalam sebuah serangan di Sepanjang, tepatnya di desa Klopo Sepuluh, K.H. Nawawi dari Laskar Sabilillah gugur sebagai syuhada’. Jenazahnya di bawa ke Mojo-kerto, dan dimakamkan di Pemakaman Losari. Gugur-nya K.H. Nawawi ini bukan menyurutkan nyali para pejuang, melainkan menambah kebencian pada Belan-da, dan menyulut semangat jihad para pejuang kemer-dekaan.
Sebagai Komandan Kompi IV, yang mempunyai tugas khusus mengawal Laskar Sabilillah yang terdiri dari para Ulama’ dan Tokoh-tokoh NU, K.H. Ahyat Halimy lebih banyak melakukan tugas koordinasi, dan untuk itu tidak jarang K.H. Ahyat Halimy masuk ke daerah pertempuran untuk menyampaikan pesan dan perintah dari Markas besar Hisbullah dan Sabilillah. Bahkan ketika terjadi penyergapan atas tentara BKR oleh sekutu di Pacet Mojokerto, K.H. Ahyat Halimy terlibat dalam pertempuran yang sengit. Dalam pertempuran yang menelan banyak korban ini, salah satu dian-taranya adalah Achmat Yatim, beliau tertembak dalam pertempuran di Pacet, tetapi berhasil diselamat-kan oleh rekan-rekannya, ketika sampai di Kutorejo, nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi.
Pertempuran di Pacet ini merupakan pertempuran terbesar selama perang gerilya. Ketika tentara sekutu sudah menguasai Sepanjang dan Porong, hampir semua batalyon BKR, berkumpul di Pacet, Mereka merencana-kan menggiring pasukan Sekutu ke Mojosari dan Kutorejo. Di Kutorejo Sekutu akan diserang secara bersamaan oleh BKR, dari arah Pacet, Dlanggu bangsal dan trawas. Tetapi rupanya konsentrasi pasukan BKR di Pacet ini tercium terlebih dahulu oleh pasukan Sekutu, dan mereka mulai menyerbu pasukan BKR, bukan dari arah Mojosari, tapi dari arah Trawas. Serangan mendadak ini membuat pasukan BKR tidak bisa memberikan perlawanan maksimal. Mereka bah-kan tercerai berai, dan mundur ke Wonosalam, melalui Jatirejo. Korban di pihak BKR mencapai ratusan orang.
Pasukan Hisbullah dan Sabilillah, yang tercerai bera sepakat untuk melakukan konsolidasi di Perak Jom-bang. Nah, untuk konsolidasi inilah, peran K.H. Ahyat Halimy sangat dirasakan, satu bulan lebih beliau malang melintang ke Jombang, Somobito, Peterongan, Wonosalam dan Mojokerto, untuk menggalang kembali kekuatan Hisbullah dan Sabilillah.
Setiap kota yang sudah diduki oleh Sekutu, selalu di-ikuti oleh pembentukan pemerintahan, dengan meng-angkat Bupati dari mantan pejabat atau Pegawai Peme-rintah Hindia Belanda, maka semakin jelaslah bahwa Belanda memang berkeinginan untuk merebut kembali kekuasaannya di Indonesia. Mereka juga segera meng-gunakan politik Devait At Impera, atau politik meme-cah belah bangsa Indonesia, dengan mendirikan negara-negara kecil.
Setelah hampir semua Kota di Jawa Timur berhasil dikuasai, Belanda mendirikan NDT (Negara Jawa Timur). Dengan demikian maka Jawa Timur dikuasai oleh dua Pemerintahan, yaitu Propinsi Jawa Timur yang dipimpin oleh Gubernur RI di Surabaya, dan Negara Jawa Timur yang dipimpin oleh Wali Negara Djawa Timoer. Menyikapi hal ini, sekali lagi K.H. Ahyat Halimy mendapat tugas khusus untuk menghubungi dan mengundang para Ulama untuk berkumpul di Trowulan bersama tokoh-tokoh Republiken.
Pertemuan di Trowulan ini diselenggarakan pada bulan Desember 1949, selain dihadiri oleh Wakil-wakil Badan Sosial, Masyumi, GPII, Alim Ulama, juga dihadiri oleh lurah-lurah se kecamatan Trowulan dan lurah dari desa-desa sekitar Trowulan. Hasil pertemuan pada intinya Menolak serta tidak mengakui berdirinya Nega-ra Djawa Timoer (NDT), karena mereka hanya mengu-asai sebagian wilayah Kota saja, dan sama sekali tidak menguasai wilayah pedalaman.
Membentuk STII. 1951.
Untuk mengakhiri perang gerilya yang berkepanjang-an, akhirnya dicapai kompromi di tingkat Nasional melalui konferensi Meja Bundar, untuk membentuk Negara Republik Indonesia Serikat pada tahun 1950, dimana RI termasuk dalam bagian Negara Republik Indonesia Serikat yang dipimpina oleh Ir. Soekarno dan Bung Hatta. Kompromi ini terpaksa harus diterima, agar penderitaan Rakyat tidak berlarut-larut.
Salah satu langkah awal dari pemerintahan Republik Indonesia Serikat ini adalah pengamanan persedian kebutuhan bahan pokok, antara lain berupa beras, dan pemerintah melakukan pembelian padi kepada rakyat secara besar-besaran. Dalam praktiknya, ternyata yang paling diuntungkan adalah para tengkulak, karena mereka memang memiliki modal yang cukup besar. Di Mojokerto, para tengkulak ini digerakkan oleh dua pabrik penggilingan padi yang cukup besar dan di-kuasai oleh Cina, yaitu Pabrik Penggilingan Padi “Bin-tang”, yang ada di Jl. Mojopahit dan di Sooko.
K.H. Ahyat Halimy, melihat dengan nyata bahwa tata-niaga pengadaan bahan pokok ini masih belum ber-pihak kepada petani kecil, oleh karenanya K.H. Ahyat Halimy dan H. Husain Abd. Ghani, kemudian mem-prakarsai didirikannya Sarikat Tani Islam Indonesia (STII) pada tahun 1951, yang secara nasional meru-pakan Organisasi yang berinduk pada Masyumi. Dalam menjalankan STII ini, H. Husain Abd. Gani diserahi sebagai Ketua, dan dibantu oleh kalangan pemuda dan pengusaha antara lain ; H. Mahfudz Barnawi, Thoyib Rusman, H. Karomain, Abd. Hamid, H. Abdullah Sumadi, dan H. Said Bangsal.
Setelah STII terbentuk K.H. Ahyat Halimy berusaha melakukan pendekatan kepada Bupati Mojokerto, dan alhamdulillah berhasil mendapatkan Izin untuk me-lakukan pembelian Padi kepada petani secara lang-sung. Setelah Izin ini keluar, maka dengan memanfaat-kan jaringan GP Ansor dan NU, STII melakukan pem-belian Padi secara langsung kepada petani, dengan modal pertama dari H. Husain Abd. Ghani serta urunan para pengusaha. Hasilnya selain petani mendapatkan harga yang lebih tinggi dibanding harga dari tengkulak, STII juga mendapatkan premi dari pemerintah. Setelah premi ini terkumpul, selain dipergunakan untuk biaya operasional, K.H. Ahyat Halimy mengarahkan penggu-naan dana itu pembelian gedung, di Jl. Poerwotengah (Sekarang Jalan Taman Siswa). Tanah dan bangunan tersebut digunakan untuk keperluan ummat Islam, dan berstatus wakaf, serta diberi nama “Balai Muslimin”.
Dalam perkembangannya, Balai Muslimin ini pernah digunakan sebagai tempat SMI (Sekolah Menengah Islam), SD Muhammadiyah, Pusat Latihan Pencak Silat “Tapak Suci”, Basic Training GP Ansor, IPNU, IPPNU, PMII, Pertemuan-pertemuan NU dan Muhammadiyah. Perkembangan berikutnya, karena ada program ummat Islam yang di Prakarsai oleh Bupati Mojokerto, Bpk. D. Fatchoerrahman, untuk mendirikan Rumah Sakit Islam, dengan menggalang dana langsung dari masyarakat Islam, belum dapat direalisir, kegiatan untuk mendi-rikan Rumah Sakit Islam ini berhenti hanya sampai dengan pengadaan tanah di Desa Japan Kecmatan Sooko.
Dengan demikian di Mojokerto ada dua asset ummat Islam, yaitu Balai Muslimin dan Tanah yang diper-siapkan untuk membangu Rumah Sakit Islam. Kedua asset tersebut sama tidak dapat difungsikan secara maksimal, karena dua ormas islam terbesar di Mojo-kerto yaitu NU dan Muhammadiyah, belum seia-sekata dalam memanfaatkan kedua asset tersebut.
Kemudian atas inisiatif dan permintaan Bapak D. Fat-hurrohman, pada tahun 1993 diadakanlah pertemuan antara tokoh NU dan Muhammadiyah, di Aula Condro-mowo, Desa Pekukuhan, Mojosari. Perte-muan tersebut antara lain dihadiri oleh Bpk. Hamzah, P. Suyono, P. Fathurrohman, H. Siroj, H. Mahfudz Barnawi dan Masud Yunus, serta menghasilkan kesepakatan : “Balai Muslimin” ditetapkan sebagai Badan Waqfiyah dan pengelolannya diserahkan kepada Muhammdiyah, sedang tanah di Desa Japan, Kecamatan Sooko diserah-kan pada RSI Sakinah, dan dikelola oleh NU, dengan harapan dapat dimanfaatkan bagi pengembangan RSI Sakinah.
Karena lokasi tanah terpisah dengan RSI Sakinah, maka dilakukan ruilslag (pertukaran), dengan tanah milik NU yang berada disebelah selatan RSI Sakinah dengan luas yang sama agar dapat dipergunakan untuk pengem-bangan RSI Sakinah, dan diatas tanah Eks RSI, sekarang sudah dibangun Kantor NU.
Melawan G.30.S PKI.
Pemberontakan G.30.S PKI yang dimulai dengan pembunuhan secara biadab pada Jendral A. Yani dan 6 orang petinggi ABRI lainnya, menimbulkan kemarahan yang luar biasa dari kebanyakan bangsa Indonesia. Tuntutan untuk membubarkan PKI oleh gerakan Mahasiswa di Jakarta belum menunjukkan hasilnya. Tuntutan itu kemudian menggema ke bawah, banyak Daerah mulai bereaksi dengan mengadakan demo untuk menuntut dibubarkannya PKI dan organisasi pendukungnya.
Di Mojokerto juga mulai ada inisiatif untuk mengada-kan gerakan. Ormas-ormas Islam berkumpul di Masjid Al Fatah, berencana untuk menutup Kantor CC PKI dan ormas-ormasnya. Berita ini rupanya cepat menyebar, sehingga yang datang di Masjid Jami’ bukan hanya pimpinan ormas, tetapi juga kebanyakan anggotanya. Hingga menjelang tengah malam, seribu orang lebih telah berkumpul di Masjid. Mereka sudah berniat untuk langsung bergerak, menutup Kantor CC PKI, tetapi tidak ada satupun tokoh yang hadir berani memberi komando, karena mereka belum tahu persis posisi Batalyon 516, yang bermarkas di utara alun-alun Mojokerto ( Sekarang Markas Korem ). Didepan Markas Batalyon 16, tidak seperti biasanya, dijaga oleh sekitar 20 orang, dan bersenjata lengkap.
Rupanya ada beberapa pengurus NU Cabang Mojokerto yang menghubungi K.H. Ahyat Halimy, dan memberi laporan tentang keadaan di Masjid Jami’. Beliau-pun langsung berangkat ke Masjid, dengan mengendarai sepeda motor BSA butut. Begitu memasuki Masjid, K.H. Ahyat Halimy berpidato sebentar untuk member pengarahan. “ Jangan ada pengerusakan. Ambil saja dokumen-dokumen penting, kemudian tutup dan segel Kantornya !, jangan juga ada yang mengambil barang untuk kepentingan pribadi, itu maling namanya. Mari kita berjuang iklhlas karena Alloh Ta’ala. Allohu Akbar !, Allohu Akbar !, Allohu Akbar !”
K.H. Ahyat Halimy-pun segera melangkah keluar dari Masjid, diikuti semua orang yang ada. Diluar mereka langsung belok kanan, lewat Jl. Mojopahit, kemudian masuk Jl. Kartini, menuju perempatan Prapanca ke Kantor CC PKI, sambil meneriakkan Takbir, banyak diantara mereka yang membawa golok. Sesampainya di Kantor CC PKI, tanpa ada satu perlawanan pun, mereka mendobrak pintu Kantor, memeriksa dan mengambil beberapa dokumen penting, Setelah itu mereka keluar, menutup kembali pintu kantor, dan menyegelnya dengan kayu yang dipasang melintang dan di paku. Kita sekarang menuju ke Jl. Pemuda, yaitu pusat kegiatan PKI di SMP Udaya. Takbirpun bergema kembali !, dan entah siapa yang memulai, beberapa orang mulai melempari Kantor CC PKI, sebagian lagi merangsek masuk, mendobrak pintu yang baru disegel, kemudian mengeluarkan peralatan kantor, Lemari, Mesin Ketik, Telepon dan beberapa berkas yang masih tersisa, menumpuknya di Jl. Brawijaya kemudian membakar-nya. Massa rupanya sudah mulai tidak terkendali. K.H. Ahyat Halimy sendiri, setelah memberi komando untuk berangkat, keluar dari Masjid, mengambil motor, dan kembali ke PP Sabilul Muttaqin. Tidak mengikuti rombongan demontrasi tengah mala ini.
Massa mulai bergerak ke Jl. Pemuda dengan memekik-kan takbir. Tidak ada satupun penduduk yang berani keluar, bahkan untuk sekedar membuka jendela mere-ka tidak ada yang berani. Malam semakin mencekam, Sesampai di jl. Pemuda dan memasuki halaman SMP Udayana, aksi serupa perempatan Prapanca terulang kagi, setelah beberapa dokumen diamankan, semua perabot didalam kantor dikeluarkan dan dibakar. Kemudian massa bergerak ke Panggreman, menuju ke sebuah rumah didekat lapangan sepakbola. Rumah ini biasa digunakan untuk latihan “Genjer-genjer”. Genjer-genjer ini sebenarnya adalah sebuah judul lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang PKI, tetapi kemu-dian berkembang menjadi sebutan untuk sebuah pentas sejenis Ludruk, yang biasa dipergunakan oleh PKI media komunikasi dan provokasi.
Di Panggreman ini sempat terjadi ketegangan sebentar, karena rumah rupanya sudah dijaga oleh belasan orang, bersenjatakan clurit dan pedang, Tetapi begitu melihat rombongan massa yang sangat besar, mereka lari kearah barat. Beberapa orang mengejar, tetapi kehilangan jejak setelah sampai di Kali Cemporat, Karena massa sudah mulai panas, dan ada sedikit perlawanan, massapun menjadi semakin tidak terken-dali. Mereka menyerbu masuk rumah, mengobrak abrik Gamelan, kemudian rumahnya dibakar, Sampai matahari terbit, masih ada sisa-sisa api yang membakar rumah itu, Massa sudah kembali ke rumahnya masing-masing, sekitar seratus orang pemuda tidak pulang, tetapi langsung ke Surau Jl. Miji 36. Usai solat subuh, K.H. Ahyat Halimy mendapat laporan, beliau langsung marah-marah, sudah saya peringatkan jangan ada pengrusakan, malah membakar rumah. Mana pimpinan Ansor ? bisa ndak mengendalikan anggotanya ?.
Semuanya terdiam. Untung Kiyai Muhaimin datang, beliau masuk ke surau, dan memulai kuliah subuh. K.H. Ahyat Halimy-pun segera masuk ke surau dan ikut memberikan kuliah subuh.
Dokumen-dokumen yang berhasil diambil dari Kantor CC PKI itu setelah diteliti lebih lanjut, selain berisi daftar anggota dan pengurus PKI dan organisasi pen-dukungnya, juga ditemukan daftar nama tokoh-tokoh agama yang dianggap musuh PKI dan harus dilenyap-kan. Dokumen yang terakhir ini sangat mengejutkan banyak pihak, dan menjadi bahan pembicaraan yang paling diminati, sekaligus meningkatkan kebencian pada orang-orang PKI.
Beberapa hari setelah pengerusakan kantor CC PKI, Kota Mojokerto dikejutkan oleh ditemukannya sesosok mayat di Jl. Mojopahit, tepatnya di sebelah utara jalan menuju pekuburan Kelurahan Suratan. Mayat itu ter-geletak ditengah rel kereta api, dengan luka menganga di lehernya. Mayat itu dipastikan dibunuh ditempat lain, kemudian dibuang disana. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya bekas pergerakan kaki atau tangan dari si mayat, dan darah yang tergenang di bawah luka leher. Mayat tersebut ditemukan oleh warga sekitar jam 8 malam, dan baru tengah malam diangkut oleh pihak kepolisian pada tengah malam. Ini jelas propo-kasi, sebab setelah itu beredar kabar bahwa yang me-ninggal itu adalah tokoh PKI keturunan Cina asal Jombang.
Setelah kejadian penemuan mayat ini, Kota Mojokerto setiap malam menjadi sangat mencekam. Berita akan adanya pembalasan dari pihak PKI terus berkembang dari mulut ke mulut. Surau di Jl. Miji 36 kembali men-jadi tempat berkumpulnya para pemuda, khususnya Pengurus GP Ansor. Selain untuk menjaga keamanan K.H. Ahyat Halimy, mereka juga saling tukar informasi, menganalisis keadaan, juga merencanakan macam-macam kegiatan pengamanan dan perlawanan ter-hadap PKI. K.H. Ahyat Halimy dalam setiap kesem-patan, selalu menekankan kepada pemuda-pemuda yang berkumpul di Surau Jl. Miji 36 untuk selalu waspada dan siaga, dan melarang untuk bertindak sendiri-sendiri.
Surau Jl. Miji 36 ini, sekarang sudah menjadi semacam Pos Komando untuk kegiatan penumpasan G.30.S PKI. Selain para pemuda, juga ada 3 atau 4 orang dari pihak berwajib, baik itu TNI AD, maupun Kepolisian. Gerakan untuk menangkap gembong-gembong PKI, selalu di-mulai dari “Pos Komando” ini. Mereka yang tertangkap kemudian dimasukkan ke penjara di Jl. Taman Siswa. Sudah puluhan orang yang ditahan disana.
Beberapa hari setelah gerakan penangkapan gembong-gembong PKI ini, muncul provokasi kedua, yaitu adanya mayat yang terapung di sungai Berantas, awalnya cuma dua atau tiga mayat yang terapung, dan tidak ada seorangpun yang berani atau berkeinginan untuk mengangkat dan memakamkan mayat-mayat itu. Masarakat sudah yakin bahwa mayat-mayat itu adalah tokoh PKI yang dieksekusi secara sefihak, tidak melalui proses peradilan. Beberapa minggu kemudian, jumlah mayat yang terapung di sungai Brantas semakin banyak, biasanya mulai muncul di sungai Berantas pada sekitar jam tiga atau empat sore, kondisi mayat-nya juga masih belum rusak.
K.H. Ahyat Halimy, tak henti-hentinya mengingatkan kepada pemuda-pemuda Ansor, untuk mengendalikan emosinya, tidak grusa-grusu, dan selalu bekerja sama dengan pihak ABRI dalam melakukan gerakan penum-pasan G. 30. S PKI.
K.H. Ahyat Halimy juga menangkap sinyal yang “kurang baik” melihat jumlah mayat yang terus muncul di sungai Berantas. K.H. Ahyat Halimy sangat khawatir terjadi salah sasaran, atau dimanfaatkan orang untuk melampiaskan dendam pribadi. Berkali-kali beliau mengingatkan dosa yang akan dipikul apabila hal itu terjadi. Berita yang tersiar dari mulut ke mulut, ter-nyata adalah adanya “kiriman” gembong PKI dari Sura-baya, Sidoarjo dan Gresik untuk dieksekusi di Mojo-kerto. K.H. Ahyat Halimy, adalah tokoh yang dikenal sangat tegas dalam menerapkan hukum Islam sekaligus ulama’ yang selalu dapat menerima kenyataan. Artinya apabila terjadi sesuatu yang kurang atau tidak sesuai dengan syari’at, kemudian sudah diusahakan sedapat mungkin untuk dihindari dan dicegah, tetapi tidak bisa, maka K.H. Ahyat Halimy seringkali dapat menerima kenyataan itu, dengan senantiasa mengajak dan mem-perbanyak istighfar. Begitu pula halnya yang dilakukan dalam melihat kenyataan kegiatan penumpasan G.30.S PKI ini, beliau sangat setuju gerakan penumpasan G.30.S PKI, tetapi jelas nampak kurang berkenan dengan cara-cara yang dipakai dalam melakukan gerakan itu.
Membangun Pesantren.
Kuliah subuh yabg diselenggarakan oleh K.H. Ahyat Halimy sejak tanggal 25 Januari 1956, di surau kecil peninggalan datuknya + 150 tahun yang lalu, dengan membaca kitab Kasyifat al Sajaa’, sesuai dengan saran K.H. Romly, Rejoso Jombang, merupakan langkah awal dari K.H. Ahyat Halimy untuk mengabdikan hidupnya bagi Ilmu, sesuai dengan saran K.H. Hasyim Asy’ari. Mengabdikan diri dan hidupnya untuk ilmu agama, berarti seluruh aktifitas hidupnya adalah untuk meng-ajarkan dan mengamalkan ilmu agama. Beliau sepan-jang hidupnya sangat konsisten / istiqomah dalam melaksanakan tekatnya ini.
Pada awalnya kuliah subuh ini hanya diikuti oleh satu orang saja, yaitu Sdr. Ruhan Zahidi, dari Kranggan. Ia sangat istiqomah dalam mengikuti kuliah subuh ini, meskipun hanya sendirian. Ia menjadi enggan untuk tidak mengikuti kuliah subuh, karena awalnya pernah beberapa kali, dia bangun kesiangan, ketika masuk ke Surau Miji 36, ternyata K.H. Ahyat Halimy tetap mem-baca kitab dengan suara keras, padahal beliau sen-dirian, ngaji tanpa santri sekalipun. Sejak itu ia ber-tekat terus akan mengikuti kuliah subuh ini sampai akhir hayatnya, dan janji ini ditepati oleh Sdr. Ruhan Zahidi, ia hanya absen sekitar satu minggu karena sakit dan ajalnya tiba. Melihat kegiatan kuliah subuh ini, beberapa jama’ah subuh seperti K.H. Aslan, P. H. Thohir, P. Zaini dll. Mulai mengikuti.
Tahun 1960, mulai mendapatkan “santri” yang mene-tap di Surau. Ada empat orang yang mulai menetap di surau ini, yaitu : Sdr. Rubakhin dari Jatirejo, Sdr. Abd. Munif dari Porong, Sdr. Ali Tamam dari Diwek, Jom-bang, dan Sdr. Marwah Efendi dari Nganjuk. Dengan bermodalkan kegiatan Kulliah Subuh dan empat orang santri inilah akhirnya K.H. Ahyat Halimy bertekad untuk membangun Pondok Pesantren. Ia mulai tekad-nya dengan berziarah ke makam aulia’, serta bermuna-jat kepada Alloh SWT. Tanggal 29 April 1964, K.H. Ahyat Halimy mulai membangun surau itu menjadi Pondok Pesantren. Beliau sangat yakin bahwa “do’a” dari Almukarrom Kanjeng Sunan Giri, dalam mimpinya akan sangat membantu. “Kowe tak dungakno iso mba-ngun bangunan”, kata Kanjeng Sunan. Dan benar saja ketika batu pertama diletakkan, datang orang tak di-kenal memberikan bantuan berupa 23.000 batu bata merah.
Selanjutnya dalam proses pembangunan Pondok Pesantren, ada dua orang yang sangat tekun dan giat dalam mengurusi pembangunan, Yaitu Bpk. Iskan Dimyati dan H. Aslan. Rencana awal pembangunan Pondok ini adalah membangun 7 buah kamar. Semen-tara itu empat orang santri pertama K.H. Ahyat Halimy ditempatkan di Jl. Brawijaya 99, atau mentikan Gg. IV Nomor 43. Akhirnya hanya dalam waktu kurang dari setahun pembangunan Pondok Pesantren itupun selesai.
“ Dengan rasa syukur kepada Alloh SWT, maka setelah selesai pondok tersebut, saya terus ke makam Sunan Giri, langsung naik sepeda motor melalui Surabaya, tanpa mengindahkan lampu merah atau sempritannya polisi, atas pelanggaran lalu lintas. Terus jalan, tidak saya hiraukan, dan hingga sampai di makam Sunan Giri dengan selamat. Ini karena syauqi al jaziil kepada Kanjeng Sunan. Didalam makam Sunan Giri saya me-nangis kepada Alloh, bagaimana balasan hambanya yang dzo’if dan yang sangat durhaka ini di hadapan Malikul Jabbar dan atas do’anya Kanjeng Sunan dikabulkan oleh Alloh. Dan pada waktui itu terciumlah bau-bauan yang harum sekali, keluar dari Turbah makam Kanjeng Sunan.” Tulis K.H. Ahyat Halimy dalam catatan “Sejarah Pondok Sabilul Muttaqin”.
Setelah Pondok selesai dibangun, pada tahun itu juga mulai datang 15 orang santri, kebanyakan dari Perak Jombang, dan terus berkembang. Setelah G.30 S. PKI, Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin semakin dikenal banyak orang. Tahun 1969 jumlah santrinya sudah mencapai 214 orang santri, dan Sdr. Abd. Manaf di-angkat sebagai lurah pondok, dibantu oleh Sdr. Yahya Amari.
Tahun 1970, Presiden Suharto mengucurkan bantuan ke beberapa Pondok Pesantren di Jawa Timur, antara lain PP Darul Ulum, Peterongan Jombang, PP Bahrul Ulum, Tambak Beras, dan Pondok Tebuireng. Di Mojo-kerto, PP Sabilul Muttaqin yang diasuh oleh K.H. Ahyat Halimy, juga mendapat bantuan sebesar Rp 5 juta. (sebagai perbandingan, waktu itu harga semen adalah Rp 300,- per sag). Oleh K.H. Ahyat Halimy bantuan ini dipergunakan untuk membangun Masjid. Sebagai pelaksana fisik bangunan, di tunjuk H. Amin Hamdani dari Kalimati, sedang urusan administrasi dan pembu-kuan diserahkan kepada H. Siroj, termasuk penyusunan laporan pertanggungjawabannya. Melalui proyek ini, surau kecil yang bersejarah itu sekarang berubah masjid yang cukup megah, berlantai II, dengan kons-truksi bangunan yang masih cukup aman untuk di-bangun menjadi 5 lantai.
Tahun 1982, masjid ini sudah tidak lagi mampu menampung jama’ah, sehingga K.H. Ahyat Halimy bermaksud untuk melakukan perluasan. Beliau kemu-dian memanggil H. Siroj untuk dimintai keterangan kemungkinan biaya yang dibutuhkan, dan upaya penggalian dananya. Setelah di hitung-hitung, ternyata biayanya lebih murah membangun lagi dari bawah dari pad meneruskan bangunan masjid itu ke atas.
Seketika itu juga H. Siroj disuruh K.H. Ahyat Halimy untuk memanggil H. Aslan (Kakak kandungnya) untuk diajak berembug. H. Aslan ternyata menyetujui tanah di halaman depan rumahnya (yang juga halaman masjid) untuk digunakan perluasan masjid. Perluasan ini mene-lan biaya Rp 80 juta, yang dananya merupakan swa-daya masyarakat murni. H. Siroj ditunjuk sebagai pelaksana bangunan dan penggalian dananya.
*****
Dalam mengelola Pondok Pesantren, K.H. Ahyat Halimy berpegang pada tiga prisip ; Pangabdian pada Alloh SWT, Pengabdian pada Ilmu, dan bertumpu pada kekuatan dan kemampuan sendiri. Sedang tujuannya adalah untuk membentuk kader-kader Islam ahlussun-nah wal jamaah, yang taqwa kepada Alloh lahiriyah dan batiniyah, dengan melanjutkan perilaku dan pola pikir para salafu al sholihin. Dalam mewujudkan tujuan dan prinsip-prinsip tersebut, K.H. Ahyat Halimy senantiasa menekankan kepada setiap santri untuk :
Melaksanaan sholat jamaah 5 waktu, baik didalam maupun di luar pondok ;
Senantiasa percaya diri, dengan tawakkal kepada Alloh SWT. “Jangan menggantungkan nasibmu kecuali kepada Alloh SWT”.
Belajar dan atau mengajar dengan kitab-kitab yang shoheh, selama hidupnya, senantiasa mengajak orang lain ke jalan Alloh kapanpun dan dimanapun dia berada ;
Senantiasa berusaha menjadi manusia yang ber-manfaat bagi orang lain ;
Mendidik, melatih dan meyakinkan kepada santri-nya untuk menguasai “life skill”, khususnya perta-nian dan teknik/pertukangan.
Kesemuanya itu harus dilakukan dengan dasar Iman kepada Alloh dan Rosulnya, Tasdiq, ihlas, yaqin, sabar dan syukur serta tawakkal kepada Alloh.
Dalam hal menekankan keinginan K.H. Ahyat Halimy agar pondok dan santrinya dapat bersikap mandiri, beliau selalu mengajar santrinya untuk membuat atau memperbaiki sarana pondok oleh santri-santri itu sendiri. Salah satu “hoby” K.H. Ahyat Halimy antara lain adalah “belanja” peralatan macam-macam di pasar Loak Jl. Niaga Mojokerto. Sehingga beliau mempunyai “koleksi” hampir semua peralatan pertukangan. Hoby ini biasa dilakukan pada sekitar jam 08.00 pagi setiap ada kesempatan. Bahkan sekitar tahun 1970-an, beliau mengajak santrinya untuk membuat sumur pompa di musholla-musholla yang airnya kurang baik. Tidak kurang dari 16 musholla yang berhasil dibangunkan pompa air oleh KH Ahyat dan santrinya. Bahkan untuk keperluan pondok sendiri, beliau ingin membuat sumur bor, untuk mengambil air bawah tanah, sehing-ga tidak perlukan pompa air, dan kebutuhan air di pondok tercukupi. Sayang usaha ini tidak berhasil.
Peduli Pada Yatim Piatu dan Dzu’afa’
Tahun 1958, bersamaan dengan berakhirnya proses pencarian jatidirinya, K.H. Ahyat Halimy mengulurkan tangan dan memberikan perhatian kepada anak yatim dan kaum dzu’afa. Bersama dengan P. Mustakim dari Sinoman, beliau mengadakan khitanan massal, khusus bagi anak-anak yatim dan keluarga fakir miskin. Kegiatan khitanan massal yang pertama diselenggara-kan di Sinoman, dan diikuti oleh 14 anak. Kegiatan ini terus berlanjut, sampai sekarang, dan selalu diikuti oleh sekitar 100 anak setiap tahun. Mereka yang di-khitan, selain gratis juga mendapat sepotobaju, sarung, songkok, sandal dan uang saku serta pengobatan gratis sampai yang dikhitan betul-betul sembuh.
Setelah K.H. Ahyat Halkimy wafat, pada tahun 1991, peserta khitan ternyata bukan saja keluarga miskin atau yatim piatu, tetapi beberapa anak juga berasal dari keluarga yang mampu. Mereka mengikut sertakan putranya pada khitanan massal di PP Sabilul Muttaqin, dengan harapan akan mendapat “berkah” dari keich-lasan almaghfurlah K.H. Ahyat Halimy . Oleh Panitia Khitan, mereka diperlakukan sama seperti anak yatim dan keluarga miskin lainnya, baik dalam pelayanan maupun pemberian fasilitas lainnya. Hanya saja ke-banyakan keluarga mampu ini juga memberikan bantuan kepada panitia khitanan.
Berangkat dari kegiatan khitanan massal ini pula, akhirnya K.H. Ahyat Halimy, dibantu secara penuh oleh P. Supaji Effendi, H. A. Marzuki dan Abd. Halim Hasyim akhirnya mendirikan Yayasan Panti Asuhan Yatim Piatu dan Dzu’afa “ al Ikhlas”. Meskipun K.H. Ahyat Halimy, mempunyai hubungan yang cukup baik dengan Pemerintah, hususnya Bupati dan walikota, namun karena prinsip hidupnya yang selalu menekankan kemandirian, beliau lebih memilih untuk menggerak-kan Muslimat NU, berupa gerakan “jumputan beras”. Sikap hidup mandiri, bertumpu pada kekuatan sendiri ini, tidak menutup bantuan dari manapun, termasuk dari Pemerintah, selama bantuan itu diberikan secara ihlas dan sukarela, tidak diikuti dengan macam-macam ikatan dan persyaratan. Akhirnya berhasil didirikan Asrama atau Panti Asuhan Yatim Piatu dan Dzu’afa, dengan daya tampung maksimal 60 anak. Panti ini berada di Jl. Brawijaya 76 Mojokerto.
Disamping panti asuhan, yayasan ini juga menangani sekitar 200 anak yatim dan keluarga miskin, dalam bentuk “home care”. Anak-anak itu masih menetap dengan keluarganya yang masih ada, tetapi untuk seluruh kebutuhan sekolah di tanggung oleh Yayasan al Ikhlas. Khitanan massal yang diselenggarakan setiap tahun penyelenggaranya adalah Yayasan al Ikhlas ini.
Mendirikan Lembaga Pendidikan.
Kepedulian K.H. Ahyat Halimy terhadap pentingnya kader penerus sangat tinggi. Beliau senantiasa melihat ke depan, memprediksi perkembangan dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Oleh karenanya, meskipun K.H. Ahyat Halimy sudah mendirikan pondok pesantren untuk mencetak kader-kader yang paham akan ilmu agama, beliau juga mempunyai keinginan yang kuat untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan di bidang keahlian dan disiplin ilmu yang lain.
Tanggal 15 Januari 1952, beliau memprakarsai didirikannya Sekolah Menengah Islam (SMI), dengan mengajak kader-kader muda NU yang memiliki latar belakang pendidikan umum, antara lain Busyri al Aly, Asy’ary Sibly, Abdullah Iqna’ dan lain-lainnya. SMI ini menempati gedung “Balai Muslimin” Jl. Taman Siswa 27 Mojokerto. Sayangnya SMI ini hanya bertahan 4 tahun saja, setelah itu bubar.
Ketika perjalanan SMI mulai tertatih-tatih, baik karena kesadaran masyarakat untuk pendidikan masih rendah, maupun karena keterbatasan dana, muncul tantangan lain. Seorang warga mentikan bernama P. Ghofur datang ke K.H. Ahyat Halimy, dia berkeluh kesah tentang berdirinya TK Kristen yang menyewa rumah di Mentikan Gg.II Nomor 54. P. Ghofur khawatir kalau TK itu terus berdiri, nanti banyak anak Mentikan yang masuk agama Kristen. Seperti biasanya kalau menerima tamu, K.H. Ahyat Halimy selalu menjadi pendengar yang baik, beliau menanggapi dengan antusias. Setelah itu, hampir setiap bertemu K.H. Ahyat Halimy, P. Ghofur selalu menanyakan perekembangan TK Kristen dan penyikapan K.H. Ahyat Halimy, sampai akhirnya datang informasi yang menyatakan bahwa tanah dan gedung yang ditempati TK Kristen tersebut mau dijual.
Kabar ini ditindak lanjuti oleh K.H. Ahyat Halimy, dengan mendatangi Sdr. Arfan (Pamong Desa Menti-kan) dan meminta untuk menelusuri kabar tersebut, terutama mengenai harga yang diminta. Sdr. Arfan dan beberapa pemuka desa seperti P. Ilham, Abdul Rouf dam Moh. Said, menghubungi pemilik tanah, dan men-dapat kepastian bahwa tanah dan bangunan seluas + 800 m2 tersebut memang benar-benar akan dijual, dengan harga Rp 65.000,- . Meskipun ketika itu tidak ada dana sama sekali, K.H. Ahyat Halimy memutuskan untuk membeli tanah dan bangunan tersebut. Sebagai tanda jadi, K.H. Ahyat Halimy menjual separangkat Loudspeker milik NU Cabang Mojokerto seharga Rp 10.000,- kemudian sisanya akan dibayar paling lambat 6 bulan ke depan, untung saja pemiliknya mau.
Setelah tanah terbayar, muncul masalah baru, dua penghuni yang menyewa rumah tersebut bersedia pin-dah dengan suka rela, tetapi untuk TK Kristen mereka tetap bersikukuh untuk menempati rumah tersebut. Padahal kebanyakan tokoh masyarakat di Mentikan menghendaki agar TK Kristen tersebut segera di-pindah. Sementara TK Kristen belum mau pindah, K.H. Ahyat menempatkan 4 orang santrinya yaitu Sdr. Munif, Ali Tamam, Rubakhin dan Marwan Efendy untuk menempati rumah yang baru dibeli tersebut, sambil dilakukan pendekatan-pendekatan.
P. Kodrat, pengurus TK Kristen, ketika didatangi P. Aslan dan diminta untuk mau pindah, justru menjawab bahwa TK Kristen mau pindah asal dipindah ke rumah P. Aslan, yaitu rumah didepan Surau Miji 36. Tentu saja ini merupakan solusi yang mustahil, dan ada nada menantang, maka keteganganpun tidak bisa dihindari. K K.H. Ahyat Halimy segera menemui P. Kodrat, dan beliau mengatakan ; “Demi Alloh, andai saja ada lemba-ga pendidikan Islam yang tidak memiliki tempat, maka sebagai seorang muslim yang baik saya akan mena-warkan rumah saya untuk ditempati lembaga pendi-dikan tersebut. Saya Yakin P. Kodrat adalah seorang Kristen yang baik, tapi mengapa tidak menawarkan rumah P. Kodrat untuk ditempati TK tersebut ?”. Rumah P. Kodrat terletak kurang lebih 50 m arah selatan dari TK Kristen tersebut. Alhamdulillah berkat pendekatan K.H. Ahyat Halimy ini, akhirnya P.Kodrat bersedia memindahkan TK tersebut ke rumahnya, dan tanah di Jl. Brawijaya 99 sepenuhnya sudah menjadi milik NU.
Keinginan masyarakat Mentikan untuk membubarkan TK Kristen tidak pernah di tolak atau ditindak lanjuti oleh K.H. Ahyat Halimy. Ketika TK Kristen itu itu keluar dari Jl. Brawijaya 99, masyarakat berharap TK itu akan bubar, tetapi ternyata masih terus berjalan. Untuk menjawab keinginan masyarakat ini, meskipun tanah dan bangunan di Jl. Brawijaya 99 ini semula dibeli untuk mendirikan Kantor NU Cabang Mojokerto, dan Rumah Sakit NU, K.H. Ahyat Halimy akhirnya meman-faatkan tanah dan bangunan tersebut untuk lembaga pendidikan, sebagaimana yang dicita-citakannya. Akhirnya pada tanggal 4 Agustus 1961, didirikanlah “Madrasah Muallimin Muallimat Nahdlatul Ulama (MMNU). Lembaga ini berafiliasi ke Departemen Aga-ma, khususnya pada lembaga PGAP 4 Tahun. Karena waktu itu Pemerintah sangat membutuhkan Tenaga Guru, sehingga lembaga Pendidikan Keguruan seperti PGAP 4 Tahun, PGA 6 Tahun, SPG C2, PGSLP dan lain-lain banyak didirikan.
Dalam perkembangannya MMNU ini pada tahun 1968 berubah bentuk dan fungsinya menjadi SMP Islam Brawijaya sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Tahun 1967, ketika keributan G.30.S PKI sudah mulai mereda, K.H. Ahyat Halimy menemui RA Basyuni, Bupati Mojokerto, dan mengusulkan agar Pemerintah Kabupaten mendirikan lembaga pendidikan yang mencetak kader di bidang pertanian, mengingat 80 % penduduk Mojokerto pekerjaannya adalah sebagai Petani. Usul ini disetujui oleh Bpk. RA Basyuni, dan didirikanlah Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di desa Sooko. Lulusan SPMA ini kemudian diangkat sebagai Pegawai Penyuluh Pertanian yang berfungsi sebagai penyuluh dan innovator bidang pertanian, guna meningkatkan produktivitas pertanian di Kabupaten Mojokerto.
Tahun 1985 animo masyarakat terhadap SPMA semakin menurun, hingga akhirnya SPMA dibubarkan. K.H. Ahyat Halimy sebenarnya mempunyai keinginan yang kuat untuk mendirikan SPMA sendiri, khusus untuk mencetak kader-kader NU di bidang Pertanian. Lebih-lebih setelah SPMA milik Daerah ini bubar. Namun sampai dengan akhir hayat beliau keinginan ini tidak tercapai.
Tahun 1966, Bapak Tomo Adi yang bertempat tinggal di Sumolepen, setelah lulus D3 Teknik Sipil, berkeingi-nan untuk mendirikan Sekolah Teknik Menengah (STM), beliau datang ke rumah Ust. Busyri Al Aly selaku ketua LP Ma’arif NU, dan menyampaikan keinginannya. Oleh Ust. Busyri al Aly, beliau dipertemukan dengan Bpk. Sumiadi pegawai Dinas Perindustrian Kota Mojo-kerto, dan Bpk. Fathoni Aly yang yang juga lulusan Fakultas Teknik ITS Surabaya. Setelah bermusyawarah, belau berempat menghadap K.H. Ahyat Halimy, dan menyampaikan gagasannya. K.H. Ahyat Halimy sangat mendukung gagasan ini, oleh karenanya maka segera didirikan STM yang diberi nama STM Raden Patah. K.H. Ahyat Halimy kemudian menunjuka Sdr. Ahmad Mar-zuki selaku sekretaris NU untuk membantu sepenuh-nya proses berdirinya STM Raden Patah tersebut.
Awalnya STM Raden Patah ini bertempat di rumah H. Madchury (Kradenan) yang terletak di Jl. Mojopahit 184 (sekarang Toko Tengah), dan menunjuk Ir. Soecipto sebagai Kepala Sekolah. Baru satu tahun kemudian, rumah tersebut akan dibangun Toko Oleh H. Madchuri, sehingga STM di pindahkan ke Jl. Brawijaya 99, bergabung dengn SMP Islam Brawijaya dan masuk siang hari. Inipun tidak terlalu lama, hanya dua tahun bertahan karena ada persoalan gangguan pada siswi-siswi SMP Islam Brawijaya, karena saat pulang siswa SMP Islam Brawijaya, bersamaan dengan waktu masuk siswa STM Raden Patah. Akhirnya STM Raden Patah menempati Ex gedung SMP Udayana di Gedongan atas jasa P. Suja’i. Tetapi rupanya ada sengketa tanah antara P. Suja’I dengan pemilik tanah. Karena P. Sujai kalah dalam Pengadilan, STM Raden Patah-pun terpaksa pindah lagi ke SD Kranggan, di SD Kranggan-pun hanya bertahan satu tahun, pindah lagi ke SMA Gatoel ( sekarang SMA Negeri Puri). Akhirnya atas bantuan Pemda Kotamadya Mojokerto, STM Raden Patah men-dapatkan Hibah sebidang tanah di Desa Wates, dan STM Raden Patahpun mulai menetap dan berkembang di desa Wates (Lokasi Gedung STM Raden Patah sekarang).
Antara tahun 1967 – 1977, SMP Islam Brawijaya masih bersifat “ambivalen” artinya lembaga itu masih ber-orientasi pada Departemen Agama dalam bentuk Madrasah Stanawiyah / Muallimin-Muallimat 4 tahun, tetapi juga terdaftar pada Dinas Pendidikan Nasional sebagai SMP Islam. Siswanya setelah kelas III mengi-kuti ujian SMP, setelah itu bisa melanjutkan ke SMA atau SMK, tetapi bisa juga melanjutkan kelas IV untuk mendapatkan Ijazah PGAP 4 tahun. Hal ini tentu saja menyulitkan pengelolaannya. Oleh karenanya tahun 1977 atas restu K.H. Ahyat Halimy, Orientasinya di perbaiki. Tsanawiyahnya di pindah ke Kedundung, dan ditangani langsung oleh Abd. Kholiq, sedang di Jl. Brawijaya hanya ada SMP Islam Brawijaya. Siswa kelas IV ditiadakan. Sebagai gantinya didirikan SMA Islam Brawijaya, yang baru mendapatkan ijin operasi dari Depdikbud Propinsi Jawa Timur pada tanggal 4 Nopember 1978.
Alhamdulillah, SMA Islam ini cukup berkembang pesat dan dirasa mulai kurang efektif untuk terus tinggal di Jl. Brawijaya 99 Mojokerto. Oleh karenanya maka pada tahun 1994, mulai dibangun gedung baru SMA Islam Brawijaya di Jl. Raya Surodinawan, dan mulai ditempati secara penuh pada tahun 1996.
Mendirikan Rumah Sakit.
Tahun 1978, seorang anggota jama’ah kuliah subuh di PP Sabilul Muttaqin jatuh sakit dan harus opname di opname di Rumah Sakit Rekso Waluyo. K.H. Ahyat Halimy bezook ke rumah sakit. Melihat kondisi “jama-ah”nya, beliau sangat prihatin sekaligus galau, karena bantal, sprei dan dinding kamar rumah sakit dipenuhi dengan tanda salib, maklum rumah sakit Kristen. K.H. Ahyat Halimy pun minta kepada salah seorang anggota keluarganya, untuk minta izin pada petugas rumah sakit, mengganti urung bantal dan sprei yang tidak ada tanda salib-nya, juga menurunkan patung Yesus yang di salib dan menempel di dinding. Setelah mendapat-kan izin, semuanya diturunkan dan diganti. Kemudian K.H. Ahyat Halimy berdo’a, kemudian meminta salah seorang anggota keluarga untuk senantiasa membisik kalimah “Laa ilaaha illah”, kemudian beliau pulang. Beberapa saat setelah itu, K.H. Ahyat Halimy mendapat berita bahwa “jama’ah”nya yang sakit itu meninggal dunia.
Peristiwa itu kemudian lebih menggerakkan kemabli keinginan K.H. Ahyat Halimy untuk suatu saat mem-bangun Rumah Sakit Islam, sebuah cita-cita yang sudah dilontarkan oleh K.H. Ahyat Halimy, ketika membeli tanah di Jl. Brawijaya 99 Mojokerto. Tanah tersebut oleh K.H. Ahyat Halimy sudah direncanakan sejak awal untuk membangun Kantor NU dan Rumah Sakit Islam. Gagasan yang muncul kembali ini lalu disampaikan kepada pengurus Cabang NU yang kemudian mema-sukkannya dalam program jangka panjang Nahdlotul Ulama Cabang Mojokerto. Sepuluh tahun kemudian, ketika K.H. Ahyat Halimy mulai terserang penyakit diabet, dan keluar masuk Rumah Sakit, gagasan untuk mendirikan Rumah Sakit Islam ini tak terbendung lagi. Beliau menyampaikan kembali gagasan ini kepada Muslimat NU, GP Ansor Cabang Mojokerto dan Pengu-rus Cabang NU untuk segera melangkah. GP Ansor menindak lanjuti gagasan ini dengan mengadakan Halaqoh dengan nara sumber Dr. Zainul Muhtarom dan bertempat diaula YPAY Al Ikhlas serta mengundang seluruh pengurus Jam’iyah NU dan neven-nevennya. Hasilnya disepakati untuk segera mendirikan Balai Pengobatan, dan akan dibantu sepenuhnya oleh Dr. Zainul Muhtarom.
Sebenarnya H. Siroji Ahmad yang terpilih sebai Ketua GP Ansor tahun 1988, pernah dimintai secara husus oleh K.H. Ahyat Halimy untuk mulai merintis didirikan-nya Rumah Sakit Islam ini, Yaitu setelah H. Siroj meng-galang dan menyerahkan bantuan GP Ansor pada Korban Bencana Letusan Gunung Kelud.
Muslimat NU juga mulai melangkah secara konkrit, yaitu dengan membeli tanah dan bangunan di Desa Banjaragung, tetapi beberapa orang dari pengurus NU, hususnya hususnya pengurus GP Ansor yang dipimpin oleh H. Siroj, berpikir lebih jauh kedepan. Yaitu men-coba untuk mencari tanah yang lebih luas sehingga memungkinkan untuk dikembangkan menjadi Rumah Sakit.
Akhirnya, dengan dimotori oleh Pengurus GP Ansor yang baru terbentuk, yaitu H. Siroji Ahmad, Mas’ud Yunus dan H. Juwaini mulai mencoba untuk mencari lahan baru untuk rencana pembangunan Balai Pengo-batan atau Rumah Sakit. Mereka berempat mengincar tanah dan bangunan milik H. Moh. Sholih, Brangkal yang berada d Jl. RA Basyuni, dan melakukan pende-katan untuk disewa. Tetapi H. Moh. Sholeh minta untuk langsung dibeli saja. Tentu saja tawaran ini diluar kemampuan NU. Salah seorang pengurus cabang GP Ansor yang lain, yaitu H. Dawi menyampaikan infor-masi baru, yaitu tanah dan bangunan Rumah Makan mBok Berek di Desa Japan, Kecamatan Sooko, direnca-nakan pemiliknya untuk dijual dengan harga Rp 200 juta. Informasi ini kemudian dikomunikasikan dengan K.H. Ahyat Halimy, dan beberapa pengurus NU.
K.H. Ahyat Halimy kemudian mengajak untuk melihat langsung kondisi kedua lahan tersebut. Setelah melihat secara langsung kondisi lahan, baik milik H. Moh. Sholeh maupun milik mBok Berek, lima orang tersebut ( H. Siroj, H. Juwaini, H.Mas’ud Yunus, H. Dawi, dan K.H. Ahyat Halimy) meluncur ke kebun K.H. Ahyat Halimy di Trowulan. Sampai disana beliau langsung berwudlu’ dan sholat Istikhoroh. Selesai sholat kembali menemui pengurus GP Ansor dan menyampaikan hasil istikho-rohnya ; “ Insyaalloh tanah mBok Berek lebih baik. Asal kita rukun dan kerja keras, akan dikabulkan oleh Alloh.” Kemudian K.H. Ahyat Halimy menunjuk empat orang, yaitu H. Siroji Ahmad, H. Juwaini, H. Mas’ud Yunus, dan H. Dawi untuk bernegosiasi secara langsung ke Jogyakarta.
Sebenarnya harga tersebut sangat jauh diluar kemam-puan NU untuk membeli. Tetapi K.H. Ahyat Halimy kemudian membuat ungkapan yang cukup mengenai. “Iki koyok cecek nguntal klopo.” Kata beliau, “Tapi iki gak mustahil, carane klopone diparut, cecek mesti kontal”, lanjutnya. (Ini seperti Cicak menelan buah Kelapa. Tetpi ini bukan mustahil, caranya ? buah kelapa diparut, Cicak pasti mampu menelan buah kelapa parutan). Akhirnya tugas ini berhasil dilaksanakan dengan baik oleh keempat orang tersebut Kesepakatan dengan mBok Berek tercapai, harga tetap Rp 200 juta, uang muka Rp 20 juta dengan waktu pelunasan 2 bulan. Apabila dalam jangka waktu dua bulan tidak bias melunasi maka perjanjian batal, dan uang muka tidak bias diminta kembali.
Untuk pembayaran uang muka, ternyata NU baru memiliki uang cas sebsar Rp Rp 17.000.000,- yang ber-sumber dari bantuan LP Ma’arif sebesar Rp 5.000.000,- dari hasil penjualan tanah di Tamiajeng Trawas, dan menjual tanah milik NU di Surodinawan kepada Yaya-san Al Ikhlas, sebesar Rp 12.000.000,- Uang pribadi K.H. Ahyat Halimy sebesar Rp 3 juta.
Untuk menutup kekurangan dengan jarak waktu dua bulan, diundanglah para aghniya’ ke Rumah Makan mBok Berek, untuk diminta bantuannya. Sementara itu juga dilakukan pertemuan serupa ke daerah-daerah, inilah yang dimaksud “klopone di parut”. Pada saat mengundang aghniya’ se eks Kawedanan Mojokasri di Jetis, K.H. Ahyat Halimy sedang opname di Rumah Sakit Darmo, Surabaya. Tetapi beliau memaksa untuk ikut hadir dalam pertemuan tersebut, sehingga dengan infus masih di tangan, K.H. Ahyat Halimy datang dalam pertemuan tersebut. Setelah memberikan wejangan seperlunya, beliau kembali lagi ke Surabaya untuk opname. Seluruh proses untuk mendirikan rumah sakita Sakinah ini dilakukan oleh K.H. Ahyat Halimy dengan semangat yang luar biasa, padahal beliau dalm keadaan sakit-sakitan dan satu kakinya baru saja di amputasi.
Batas waktu pembayaran kepada mBok Berek tinggal dua minggu lagi, tetapi uang yang terkumpul baru Rp 145.000.000,- Untuk menutup kekurangan ini H. Siroj menghubungi H. Abdi Manaf, santri senior PP Sabilul Muttaqin, juga “mantu keponakan” K.H. Ahyat Halimy. Tidak ada jalan lain, H. Manaf dan H. Siroj hanya melihat kemungkinan itu melalui pinjaman pada Bank, tetapi persoalannya apakah K.H. Ahyat Halimy mau, apa agunannya. Mereka berdua kemudian langsung ke K.H. Ahyat Halimy, dan diluar dugaan mereka berdua ternyata K.H. Ahyat Halimy menyetujui, dengan alas an ini “dlorurot dan untuk kepentingan kemaslahatan ummat”. Beliau bahkan menyerahkan sertifikat tanah dan rumahnya untuk dijadikan agunan.
Kelihatannya masalah sudah teratasi, tetapi H. Siroj justru merasa “nggak enak” untuk menindak lanjuti, khususnya untuk agunan yang menggunakan asset K.H. Ahyat Halimy pribadi. Oleh karenanya H. Siroj me-nyampaikan kegalauan hatinya ini kepada P. H. Moh Sholeh (Camat Ngoro), dan sekali lagi diluar dugaan H. Siroj, P. H. Moh. Sholeh justru menawarkan uang pribadinya untuk dipinjam, dan silakan dibayar kapan-pun kalau sudah ada uangnya. Akhirnya uang dari H. Moh. Sholeh inilah yang dipakai untuk melunasi pem-belian rumah makan mBok Berek, dan sertifikat K.H. Ahyat Halimy dikembalikan lagi.
Sementara itu untuk tugas penyusunan struktur orga-nisasi RSI Sakinah, di tunjuk Sdr. H. Siroji Ahmad dan Sdr. Ahmad Marzuki, untuk mengkomunikasikan dengan beberapa pihak yang terkait, maka berdirilah RSI Sakinah hingga sekarang.
Sebenarnya sempat terjadi kesalah pahaman antara NU dengan Muslimat, karena Muslimat NU juga sudah mulai melangkah untuk menderikan Balai Pengobatan, bahkan juga sudah membeli tanah dan rumah di Ds. Banjaragung. Oleh K.H. Ahyat Halimy, akhirnya kedua-duanya terus dilaksanakan. Jadi Saat yang bersamaan, NU mendirikan dan membangun, Rumah Sakit, sedang Muslimat NU membangun dan mendirikan Balai Pengobatan, dan dua-duanya berhasil didirikan.
Kiprah K.H. Ahyat Halimy dalam bidang Politik sangat dipengaruhi oleh pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari yang mengajarkan bahwa “hubbu al wathon, min al iman”. Cinta kepada negara adalah bagian dari Iman, oleh karenanya menurut K.H. Ahyat Halimy, berkiprah dalam dunia politik bukanlah sebuah “karier”, tetapi adalah pengabdian dan perjuangan, dengan tujuan akhir “Li I’laai kalimatillah” atau keluhuran agama Alloh, dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Sementara itu pemahaman K.H. Ahyat Halimy terhadap Negara Republik Indonesia, sangat dipengaruhi oleh pemikiran K.H. Wahid Hasyim (putra K.H. Hasyim Asy’ari), yang menyatakan bahwa bentuk Negara Kesa-tuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, termasuk dalam kategori “Daru al salam” yang me-nurut syari’at Islam tidak boleh diperangi.
Kiprah politiknya diawali dengan keterlibatan K.H. Ahyat Halimy dalam perang kemerdekaan antara tahun 1945 s/d 1950, sebagai anggota Hisbullah. Keterlibatan K.H. Ahyat Halimy dalam perang Kemerdekaan ini semata-mata karena Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Guru beliau, K.H. Hasyim Asy’ari, yang menyata-kan bahwa membela Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, hukumnya adalah fardlu ‘ain. Hal ini terbukti ketika Belanda menyerahkan kedau-latan negara kepada RI, dan semua lasykar Rakyat yang tergabung dalam BKR, mulai keluar dari hutan dan daerah pedalaman untuk dilebur menjadi TNI, maka K.H. Ahyat Halimy beserta anggota Kompi IV, menya-takan mengundurkan diri, dan menyerahkan seluruh senjata serta anak buahnya kepada kepada Komandan Batalyon, yaitu P. Munasir. Serah terima ini dilakukan di Jombang.
Sikap K.H. Ahyat Halimy ini disayangkan oleh rekan-rekannya, mereka mengatakan ; “Eman Pak Yat, wis karek mangan nongkone sampeyan metu tekok TNI !” ( Sayang Pak. Yat, tinggal memakan nangkanya, kok keluar dari TNI) . Tetapi K.H. Ahyat Halimy tetap pada pendiriannya, dan mengatakan : “Kewajiban untuk memerangi Belanda sudah selesai, hukum Fardlu ‘ain sudah tidak ada, jadi biar saya berhenti dan nangkanya saya ambil di akhirat nanti !”. Setelah itu K.H. Ahyat Halimy mulai mengabdi pada Ilmu, mendirikan Pondok Pesantren.
Setelah itu perjuangan K.H. Ahyat Halimy di bidang politik tidak pernah berhenti, beliau memilih “lahan” lain. Keanggotaan Konstituante yang dijabat mulai tahun 1956, juga diakhir pada tahun 1958, hanya karena merasa bukan tempatnya, akhirnya beliau mengundurkan diri sebagai anggota Konstituante pada tahun 1958. Setelah itu beliau aktif di Partai NU, dan senantiasa mengingatkan agar kader NU yang berada di Pemerintahan, baik itu Legislatif maupun Eksekutif untuk selalu berpihak pada ikhtiar meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Secara pribadi, K.H. Ahyat Halimy tidk ingin melibatkan diri dalam politik praktis. Sikap itu sangat jelas ketika beliau memilih untuk mengundurkan diri sebagai ang-gota Konstituante. Tetapi karena sikap dan kepribadian beliau yang selalu ingin menjadi orang yang “berman-faat bagi orang lain”, maka beliau selalu “dilibatkan” dalam setiap keputusan-keputusan politik. K.H. Ahyat Halimy adalah rujukan dan solusi bagi politisi-politisi NU, hususnya di Mojokerto. Pandangan-pandangan beliau yang senantiasa tegas tetapi moderat selalu dapat diterima oleh banyak pihak.
Dalam hal melaksanakan “amar makruf nahi mungkar”, K.H. Ahyat Halimy melihatnya sebagai suatu kewajiban pribadi, oleh karenanya beliau merasa tidak cukup menyerahkan kewajiban “amar makruf nahi mungkar” tersebut pada Institusi yang ada, melainkan selalu bertindak langsung secara individu.
Hal ini nampak jelas ketika Mojokerto dilanda demam judi “Hwa-Hwe” yang direstui Pemerintah Jatim untuk menggalang dana bagi penyelenggaraan Pon ke VII di Surabaya, K.H. Ahyat Halimy secara pribadi datang menemui Bupati dan Walikota Mojokerto, serta meng-ingatkan secara langsung, bahwa perjudian “hwa-hwe” selain haram juga akan menyengsarakan rakyat, oleh karenanya Bupati dan Walikota harus tegas melarang perjudian tersebut.
Begitu pula ketika K.H. Ahyat Halimy melihat ada kebijakan Bupati atau Walikota yang dianggap akan merugikan rakyat, beliau senantiasa datang secara langsung ke Bupati atau Walikota untuk mengingat-kannya.
K.H. Ahyat Halimy juga merupakan sosok yang sangat menghargai perbedaan tanpa harus kehilangan prinsip kebenaran yang diyakini. Pada Pemilu 1987 ada gerakan “penggembosan” terhadap PPP yang dilakukan oleh tokoh-tokoh NU. dengan memanfaatkan issue Keputusan Muktamar NU di Situbondo; “NU kembali ke khittoh 1926”. Keputusan ini diartikan secara sempit “NU harus keluar dari PPP”. K.H. Ahyat Halimy meman-dang tidak seharusnya dipahami secara sempit seperti ini. Kemudian atas permintaan beberapa pengurus Cabang PPP, beliau membuat edaran yang intinya beliau berharap agar warga NU tetap berada di PPP. Selebaran ini langsung ditanggapi oleh beberapa Ulama NU secara terbuka dan verbal, sehingga memunculkan konflik terbuka pada warga NU di lapisan bawah. Pengurus Cabang PPP kembali meminta K.H. Ahyat Halimy untuk menanggapi, kali ini minta secara ter-buka, tetapi beliau tidak berkenan. Beliau hanya mengatakan “ Yang sabar saja, ini resiko perjuangan. Kalau saya menanggapi secara terbuka, maka akan terjadi konflik terbuka antar Kiyai, resiko ini terlalu berat untuk perjuangan kita ke depan.” Solusi beliau kemudian adalah mengajak dua orang pengurus PPP untuk secara diam-diam bersilaturrohim kepada hampir seluruh Kiyai dan tokoh NU di Kecamatan, dan menyampaikan sikap beliau yang tetap mendukung PPP.
(Bersambung)