Tangan dingin Kyai Achyat Chalimy
Kyai Achyat Chalimy, biasa dikenal dengan panggilan Abah Yat. Beliau adalah sosok yang selalu ada dalam denyut organisasi NU di Mojokerto. Sebagai santri Tebu Ireng, Achyat Chalimy langsung terlibat dalam kepengurusan Jam’iyah yang didirikan oleh gurunya, Mbah Hasyim Asy’ari. Abah Yat sangat disegani karena rendah hati.
Lahir di Mojokerto pada tanggal 23 Maret 1918, Achyat sudah ditinggalkan ayahnya sejak dalam kandungan. H. Chalimy meninggalkan janin dalam kandungan Hj Marfuah ketika usia 6 bulan. Karena sudah tidak miliki ayah maka Achyat berdua dengan kakaknya, Aslan diasuh oleh ibunya.
Pendidikan formal diterima di Volkschool Miji atau Sekolah Rakyat. Sekolah yang hanya diperuntukkan bagi orang pribumi itu dilaluinya hingga lulus tahun 1926. Meskipun berasal dari keluarga yang cukup mampu, seorang anak seperti Achyat tidak bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Beliau tidak memiliki darah priyayi sebagai syarat meneruskan sekolahnya. Selanjutnya pendidikan pesantren menjadi pilihannya dengan mondok di Tebu Ireng Jombang. Tahun 1933, tujuh tahun kemudian pemuda Achyat meninggalkan pesantren Tebu Ireng.
Jiwa sosial sudah tampak ketika ada di Tebu Ireng. Meskipun dikenal sebagai anak Yatim, Achyat senang memberi sedekah. Tidak jarang beliau mengundang kawan-kawannya untuk makan nasi liwet yang dimasaknya sendiri. Sikap semacam itu yang terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Kyai Achyat tidak pernah menonjolkan diri untuk tampil di depan. Peran sebagai “tukang masak” itu yang terus diperankan hingga akhir hayatnya.
Jenjang organisasi pertama yang ditapaki Achyat adalah sebagai ketua Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO) Mojokerto. Pada tahun 1934 secara resmi ANO berdiri atas prakarsa Achyat bersama beberapa pemuda sekitar Mojokerto. Dengan memanfaatkan jaringan santri ANO Mojokerto cepat menyebar ke daerah lainnya di wilayah Mojokerto.
Pada saat itu, daerah Mojokerto secara administratif terdiri dari empat wilayah kawedanan. ANO juga mengikuti pola tersebut saat membentuk kepengurusannya. Para pimpinan ANO kawedanan tercatat nama Moenasir, Munadi dan Mustaqim dari kawedanan Mojosari. Wilayah kawedanan Jabung dipimpin oleh Sofwan dan Abdul Halim. Mansyur Solikhi bersama Imam Mahdi memimpin ANO Mojokasri. Sementara dari Kawedanan Mojokerto dibawah kendali Achyat Chalimy, Ahmad Rifai dan Samsumadyan.
Pada suatu hari para pemuda itu berkumpul di langgar panggung Kradenan. Mereka datang atas undangan Mahfudz sebagai tuan rumahnya. Pertemuan yang diawali dengan rujakan itu pada akhirnya menunjuk Achyat Chalimy selaku nahkoda organisasi pemuda yang baru berdiri tersebut.
Perkembangan ANO Mojokerto dalam waktu relatif singkat dapat diterima kalangan pemuda. Kemampuan manajerial Achyat Chalimy mulai tampak dan diperhitungkan orang. Selain sikap kepemimpinan, beliau juga memiliki ketrampilan mengetik dengan menggunakan sepuluh jari. Kemampuan yang langka saat itu, karena kecepatannya menggunakan perangkat tulis itu Achyat sempat ditunjuk sebagai sekretaris Majelis Diskusi Pesantren Tebu Ireng yang dipimpin oleh Wahid Hasyim.
Berawal dari keberhasilan membangun ANO tersebut, Achyat selanjutnya diminta menjadi sekretris di NU Mojokerto. Tahun 1938 terbentuk kepengurusan NU yang dipimpin oleh Kyai Zainal Alim dan Kyai Nawawi sebagai Rois dan wakil Rois Syuriah. Pada jajaran Tandfidziyah, Ketua :Kyai Achmad Dimyati, Sekretaris : Achyat Chalimy dan Kamad sebagai Bendahara.
Sebelumnya, jajaran pimpinan NU Mojokerto yang terbentuk tahun 1928 dipimpin oleh Kyai Zainal Alim dan Kyai Nawawi selaku Syuriah. Tandfidziyah diketuai oleh Maslam, Sekretaris : Den Hafi, Bendahara : Kamad.
Dengan ditunjuk sebagai sekretris NU maka praktis Achyat memimpin dua organisasi di NU tersebut. Posisi yang dipegang hingga Jepang datang.
Sumber: Serpihan Catatan Ayuhanafiq