cyberaswaja.online- Serangan Gerilya di Malam Pergantian Tahun bagi orang Eropa, perayaan pergantian tahun adalah satu rangkian dengan perayaan Natal. Mereka melakukan persiapan dan rencana kegiatan yang disusun jauh hari sebelumnya.
Demikian pula dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Belanda di Mojokerto. Salah satu tempat yang menjadi destinasi adalah Pacet. Hawa dingin yang berhembus di kawasan lereng Gunung Welirang itu dianggap sebagai tempat yang cocok untuk menggelar pesta akhir tahun dengan acara dansa lengkap bersama minuman kerasnya.
Sejarawan Mojokerto, Ayu hanafiq menceritakan, pada akhir tahun 1948, orang Belanda di Mojokerto bersuka cita. Suasana tenang yang jauh dari aroma mesiu sudah dirasakan sejak pertengahan tahun 1947. Atau setelah perjanjian Renville ditetapkan.
Garis demarkasi seperti permintaan Van Mook disetujui oleh Perdana Menteri Amir Syarifudin dari Partai Sosialis. ”Dengan perjanjian itu, maka tentara republik dipaksa keluar dari Mojokerto,” jelasnya.
Menurutnya, saat itu, orang-orang Belanda semakin yakin akan terjaminnya keamanan daerahnya setelah kaum republik bertikai sendiri. Sebagaimana diketahui, kekuatan kiri yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifudin dan Partai Komunis Indonesia (PKI) Muso bergabung melakukan makar di Madiun.
Tidak lama kemudian, Belanda bergerak menyerbu Jogjakarta pada akhir September 1948. ”Maka, pantas kiranya bila tahun itu dirayakan sebagai tahun kemenangan,” ungkap pria yang akrab disapa Yuhan ini.
Ketua KPU Kabupaten Mojokerto ini mengatakan, pada saat itu, tentu Belanda tidak menyadari bila serangan ke ibu kota republik adalah awal dari perang gerilya.
Para pejuang tidak lagi terikat dengan wilayah kekuasaan karena boleh bergerak ke daerah manapun yang diinginkan. ”Tapi, banyak pejuang yang memilih kembali ke daerah asalnya,” ujarnya.
Seperti yang dilakukan oleh Batalyon Mansyur Sholikhi yang berasal dari Mojokerto dan memilih kembali ke Mojokerto. Bersama pasukan gabungan yang dinamakan Pasukan Hayam Wuruk, Batalyon Mansyur bergerak dari Wonosalam, Jombang menerobos hutan hingga ke Gondang, Mojokerto.
Mansyur meneruskan perjalanan ke Sajen, Pacet pada 30 Desember tahun tersebut. ”Rupanya para pejuang diam-diam telah mempersiapkan kejutan di akhir tahun,” urainya.
Jumat malam, ketika kalender menunjukkan tepat 31 Desember 1948, pasukan Mansyur segera berpencar. Mereka menunggu pada tempat yang sudah dituju, yaitu vila yang masih memancarkan cahaya ketika hari menjelang berganti.
Penerangan itu seolah memberikan sinyal bahwa tempat tersebut terdapat orang-orang Belanda sedang bersuka ria.
Namun, kemeriahan pesta di Pacet ternyata tidak berlangsung lama. Tepat setelah terompet dan lonceng dibunyikan sebagai tanda pergantian tahun, tiba-tiba disusul oleh suara tembakan.
Yuhan menyebutkan, peluru datang dari kegelapan malam menerobos ruang pesta. ”Vila tempat mereka berdansa jadi porak poranda oleh orang-orang yang ketakutan,” tuturnya.
Orang sipil sibuk menyelamatkan diri dari peluru dan para serdadu mencari senjata masing-masing. Perlawanan mereka dilakukan secara membabi-buta dengan menghamburkan peluru pada gelap malam tanpa membidik sasaran.
Pada malam itu, Batalyon Hizbullah yang dipimpin oleh Mayor Mansyur Solikhi mengepung wilayah Pacet. Sejak sore, pasukan berani mati itu telah mengintai dengan berpangkalan di Desa Kemiri.
”Titik serangan ditetapkan tersebar pada vila dan gedung tempat pesta orang-orang Belanda,” ujar Yuhan. Hujan peluru pun segera membubarkan kemeriahan pesta. Kegembiraan berdansa kemudian berubah jadi ketakutan.
”Malam itu seakan menjadi mimpi buruk bagi Belanda,” imbuhnya. Orang Belanda terkepung dalam bangunan kokoh dengan tembok tebal yang mereka dirikan. Bangunan itu seolah benteng pertahanan yang sulit ditembus peluru.
Tembakan balasan mereka berikan tertuju pada kegelapan di luar. Dia mengungkapkan, pasukan Hizbullah bagaikan hantu yang sulit diketahui tempat sembunyinya.
Sayangnya, Laskar Hizbullah tidak memiliki senajata berat sejenis meriam atau granat yang bisa membongkar tembok persembunyian musuh. Senjata peledak yang dimiliki hanya pelontar mortir buatan Mrican Kediri.
Pelontar mortir itu pun akurasi tembakannya rendah. Semalam pengepungan dilakukan dan menjelang pagi orang belanda sudah putus asa. Korban berjatuhan akibat tembakan yang tidak mereka ketahui dari mana datangnya.
Bantuan penyelamat dari Mojokerto pun tak kunjung datang. Maka tumpaslah mereka di malam pergantian tahun itu. ”Saat fajar menjelang, kota peristirahatan Pacet sudah dikuasai oleh Republik,” pungkas Yuhan.
(mj/ram/ris/JPR)