sorbansantri.com – Ada banyak cara kaum Nahdliyin dalam membela NU. Ada yang masuk dalam struktural atau kepengurusan tingkat pusat hingga ranting, Badan Otonom (Banom) hingga NU akar rumput atau NU kultural.
Usia kaum Nahdliyin yang beragam beserta kapasitas intelektualnya juga mempengaruhi ekpresi ke-NU-annya. Warga NU yang sudah sepuh, sudah lama berkiprah di NU atau intelektualitasnya teruji, membela NU dengan cara yang dewasa. Membuka ruang dialog, kajian-kajian Aswaja,diskusi hingga debat santun.
Berbeda dengan kaum muda NU yang mungkin warga baru atau pengetahuannya masih standar, membela NU sesuai dengan seleranya dan sesukanya. Yang penting menang. Hajar sana-sini tak peduli apakah sikapnya sudah sesuai dengan metode dakwah NU atau belum. Pokoknya yang penting hajar.
Tentu tidak semua kaum muda NU yang demikian. Kaum muda NU yang paham tentang metode dakwah NU, santri NU yang sudah belajar akhlak dan adab, matang dalam pemikiran tentu akan membawakan NU sesuai dengan ketinggian ilmunya. NU itu mulia maka berupaya menjunjung tinggi kemuliaan NU dan tidak akan merusak citra NU dengan sikap yang buruk.
Ketidaksinkronan antara semangat yang meletup-letup dengan pengetahuan inilah yang ternyata membawa dampak buruk bagi marwah dan kehormatan NU. NU yang selama ini dipandang sebagai ormas besar yang toleran, humoris, santuy bahkan dikenal sebagai rumah besar bagi kebhinnekaaan harus menanggung risiko dan stigma negatif.
Saya berprasangka baik bahwa apapun yang dilakukan oleh kaum Nahdliyin, baik kaum tua maupun kaum muda, pengurus struktural maupun kultural semuanya adalah cinta NU. Semuanya mengekspresikan kecintaan pada NU meskipun dengan cita rasa yang berbeda. Dengan style yang beraneka. Tidak berharap pamrih dan nama besar. Sebagai manusia biasa tentu punya batas dan kapasitas kemampuan yang berbeda-beda. Jika ada yang kurang dari warga Nahdliyin maka yang salah bukan NU-nya karena NU tidak ada masalah.
Dengan beragamnya karakter, pengetahuan dan latar belakang warganya, mau tidak mau NU harus siap menampung itu semua. Kaum sepuh maupun muda, alim maupun awam, ada didalam tubuh NU. NU sebagai ormas besar bahkan diusianya jelang satu abad, harus legowo menghimpun segala karakter manusia dengan tetap berpijak pada jati dirinya. Moderat, mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
NU itu kekal dalam arti ormas yang hidup disetiap zaman. Eksis dimasa Soekarno, Tertatih-tatih dimasa Soeharto dan kini beberapa kader NU ada dipemerintahan Jokowi. Setia mengawal pemerintahan tak pernah khianat pada NKRI. NU sudah ada sebelum kita ada, NU ada saat kita ada dan NU akan tetap ada saat kita nanti tiada. NU akan hidup sampai hari kiamat.
Dengan kenyataan itu, kita harus siap menerima berbagai macam watak orang NU. Kaum sepuh dan alim ulama harus tetap sabar membimbing umat, mengayomi umat dengan kesederhanaan dan welas asih. Jika kaum sepuh dan alim ulama meninggalkan umat lantas siapa yang akan membimbing umat kedepan.
Kaum sepuh, ulama dan pengurus struktural harus siap sabar dengan sikap kaum muda yang kadang agak keras, terlalu agresif dalam membela NU. (Sinkqy Cah Bali)