Kemandirian organisasi kaum sarungan
Selalu ada sisi menarik dari perjalanan organisasi NU. Ketika Muktamar NU ke-13 dilaksanakan di Menes, Banten tahun 1938, diputuskan bahwa Muktamar selanjutnya akan digelar di Magelang pada tahun berikutnya. Muktamar NU pada zaman itu memang dilaksanakan setiap tahun.
Yang menarik, pengambilan tempat di Magelang menjadi aneh karena saat diputuskan, di Magelang belum terbentuk kepengurusan NU. Terlebih lagi, Magelang dikenal pusat konsentrasi penyebaran Kristen di tanah Jawa. Setelah penangkapan Pangeran Diponegoro di Magelang yang menandai berakhirnya Java Oorlog (perang Jawa), diketahui banyak ulama yang pindah dari wilayah Bagelen itu. Pindahnya para ulama dan kyai dari Magelang tentu membuat api Islam meredup. Sebaliknya penyebaran agama Nasrani semakin pesat.
Dalam buku Berangkat Dari Pesantren, KH. Saifudin Zuhri menyebutkan, usulan Magelang sebagai lokasi pertemuan akbar NU se-Hindia Belanda dilakukan oleh RH Muhtar, Konsul NU Banyumas. Saat menyampaikan usulan, beliau tidak menyebutkan bahwa di Magelang belum ada pengurus NU. Seandainya kondisi itu disampaikan, tentu ditolak muktamirin.
Sebagai konsekwensi usulannya, Konsul NU Banyumas atau Jawa Tengah bagian Selatan, segera turun meratakan jalan menuju muktamar Magelang. Satu persatu para Ulama didatangi dengan dibantu ketua NU Cabang Purworejo dan Temanggung. Dengan mendekati para tokoh yang ternyata masih keturunan orang-orang yang pernah berjuang bersama Diponegoro, usaha itu membuahkan hasil.
Hasilnya, organisasi NU Magelang dibentuk pada bulan Mei 1939, atau 3 bulan sebelum pelaksanaan Muktamar. Tulang punggung berdirinya NU disana adalah Kyai R Hadi Alwi dan KH Fathoni dari pesantren Tonoboyo. Ada juga nama H Kodri yang menjabat lurah Kauman Magelang dan anaknya, Abdulwahab, seorang pengusaha. Di samping itu terdapat KH Baidlowi, imam Masjid Jami’ Magelang dan Kyai Moh Siraj, guru ngaji di Wates. Mereka mendapat dukungan dari Mbah Dalhar dari pesantren Watucongol.
Berkat perjuangan mereka, gairah umat Islam bisa dibangkitkan. Beberapa hari sebelum pelaksanaan, sumbangan berupa barang dan bahan makanan berdatangan. Rakyat memikul beras, sayuran, kayu bakar, menuntun kambing atau membawa beberapa ekor ayam mendatangi panitia muktamar di Hotel Semarang yang lokasinya ada di kampung Pacinan Magelang. Seluruh sumbangan itu kemudian dibacakan dalam pembukaan muktamar.
Muktamar itu sendiri dilaksanakan pada tanggal 1-7 Juli dengan peserta sebanyak 358 utusan syuriah, 123 tanfidziyah, dan 33 perwakilan barisan ansor NU. Pembukaan dilakukan dengan dihadiri oleh 2000 orang dari peserta, tamu undangan dan panitia. Undangan yang datang antara lain dari perwakilan Muhammadiyah, Jong Islaminten Bond (JIB), GIA, PII, Wal Fajri Jogja dan lain-lain.
Keputusan penting yang dihasilkan adalah rekomendasi yang mendesak agar aturan guru (guru ordonansi) 1925 dicabut dan juga menghapus subsidi pemerintah Hindia Belanda kepada semua agama. Kebijakan ordonansi guru, semacam sertifikasi oleh pemerintah kolonial memang merugikan lembaga pendidikan milik NU. Karena kebanyakan gurunya lukisan pesantren yang tidak memiliki ijazah formal. Mereka yang tidak memiliki ijazah formal yang disertifikasi tidak boleh melakukan kegiatan mengajar. Sementara subsidi pendidikan juga senada, dimana yang banyak dibantu adalah lembaga pendidikan non-muslim. Keputusan bidang organisasi adalah mengesahkan Pandu NU, Muslimat, dan departeman Ma’arif yang dipimpin oleh KH Wahid Hasyim.
Hasil keputusan lain yang ditetapkan adalah mengenai kedudukan penghulu, masalah pembacaan qunut Nazilah, soal sembahyang dalam perjalanan kereta api serta masalah hukum agama lainnya. Ikut dibahas pula persoalan pemisahan tanah makam bagi orang muslim dan non muslim.
Masalah luar negeri juga ikut dibicarakan, yaitu soal bantuan dan penggalangan dana bagi perjuangan Palestina. Termasuk menjadi topik diskusi adalah soal import barang dari Jepang yang saat itu sedang melakukan ekspansi dagang dengan sistem dumping.
Muktamar kemudian ditutup dalam sebuah rapat umum di Lapangan Tidar Magelang. Tercatat lebih dari 50 ribu orang hadir pada kegiatan yang dipimpin oleh Zainul Arifin, Konsul NU Jawa Barat. Beberapa orang kyai menyampaikan pidato di hadapan warga yang hadir, antara lain, KH. Wahab Hasbullah, KH. Abdul Karim Pasuruan, KH. R. Asnawi Kudus, KH. Mustaqim, KH. Abdul Manap Surabaya, S. Abdullah Gathmyr, dan KH. Hasjim Asy’ari. Sementara pembacaan do’a dipimpin oleh KH. Kholil Lasem.
Sekarang dapat kita bayangkan sebuah kepanitiaan baru dibentuk 3 bulan menjelang kegiatan. Panitia itu harus bertanggung jawab atas seluruh akomodasi selama seminggu penuh. Kemampuan panitia untuk mengorganisir semua potensi yang dimiliki merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan Muktamar. Dan itu mampu dilakukan oleh sebuah organisasi bernama NU Magelang.
Dari kisah penyelenggaraan Muktamar tersebut dapat ditarik pelajaran tentang kemandirian organisasi NU. Warga NU dengan ikhlas memberikan bantuan harta bendanya demi suksesnya Muktamar tersebut.
Sumber : Serpihan Catatan Ayuhanafiq