Infokom Banser NU – Muktamar NU, di Yogyakarta, 1989. Almaghfurlah KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, dengan penampilannya yang (sangat) sederhana mau memasuki gedung acara. Beliau, seperti orang biasa, berpakaian seadanya, datang tepat waktu bahkan sebelum acara dimulai.
Sebelumnya, Banser yang menjadi penjaga gedung telah diberi kabar bahwa Kiai Sahal bakal rawuh. Dalam bayangan Banser yang sama sekali belum pernah bertemu Maestro Fiqh Sosial itu, Kiai Sahal adalah sosok kiai yang gagah, dikawal para pendereknya, lengkap dengan asesoris Kiai dan memakai sorban melilit di kepala.
Begitu Kiai Sahal rawuh dengan penampilannya yang bersahaja dan ingin masuk, Banser curiga dan mencegat Kiai Sahal. “Bapak siapa gih?” tanya Seorang Banser. “Saya Sahal..” Si Banser menatap lekat-lekat pria di depannya, dari ujung kaki hingga pucuk kepala. Kesimpulannya, Seseorang di depannya ini bukanlah Kiai Sahal Mahfudz. “Wong kiai kok penampilannya nggak meyakinkan begitu.!” batinnya. “Maaf, tapi Mungkin Bapak bisa menunggu di luar gedung dulu ya Pak…” si Banser ini bermaksud mengusir Kiai Sahal dengan halus.
Di dalam gedung, panitia ketar-ketir menunggu Kiai Sahal yang tidak juga hadir. Salah seorang panitia akhirnya bertanya ke Banser, Kok Kiai Sahal belum rawuh? Apa tadi ndak ada seseorang bernama Kiai Sahal mau masuk. “Ya, Kang. Ada, tadi. Orangnya biasa saja. Kayaknya sih bukan Kiai. Lha wong penampilannya saja kaya gitu, juga ndak pakai sorban di kepalanya..” .
“Aduh, mati aku.! ” sahut panitia yang langsung melesat pergi mencari Kiai Sahal di sekitar gedung dan menemukannya duduk santai bersama penjual dawet! “Lha wong tadi nggak boleh masuk sama Banser dan diminta nunggu di sekitar gedung, ya wis. Saya manut sama Banser.” jawab Kiai Sahal sambil tersenyum.
Khususon ilaa Kiai Sahal Mahfudz, Lahu al-Faatihah