sorbansantri.com – Ketika terjadi sakralisasi jilbab secara berlebihan sehingga dimasukkan ke wilayah formalisasi dalam aturan baku sebuah institusi umum, maka yang terjadi adalah pelanggaran hak berbusana.
Padahal, sebaiknya menutup aurat dan batas-batasnya merupakan kesepakatan sosial tanpa paksaan dan setiap individu memiliki kebebasan menentukan sampai di mana batas auratnya harus ditutup.
Pengalaman yang cukup unik ketika penulis hendak membeli kerudung, maka memilih sesuai keperluan. Tiba-tiba ada seorang ibu yang menasehati supaya pakai jilbab syar’i. Tentu dengan gaya khas penghakiman.
Kemudian penulis tanya: Bu, mana dalil yang menyebut kata jilbab syar’i? Beliau gelagapan karena memang tidak ada. Istilah itu baru muncul belakangan. Tidak pernah dijumpai di literatur salaf manapun sebelumnya.
Penulis memberi kuliah kilat kepada beliau. Bahwa pada jaman dulu, perempuan diminta untuk menutup seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, bahkan sampai ada yang wajahnya juga ditutup karena memiliki beberapa fungsi.
Pertama, membedakan perempuan merdeka dan perempuan hamba sahaya.
Kedua, supaya tidak diganggu orang. Artinya, jilbab itu pakaian kehormatan.
Bahkan, jika ditilik pada budaya yang ada sebelum Islam, tradisi menutup seluruh tubuh sudah dikenal jauh sebelumnya.
Jika melanggar ketentuan itu, maka yang dilanggar adalah norma susila dan norma sosial yang berlaku di masyarakatnya. Sedangkan saat ini, sudah tidak ada perbedaan mana perempuan merdeka, mana perempuan hamba sahaya.
Dalam kenyataannya, juga tidak ada kaitan lagi secara signifikan bahwa memakai jilbab akan terhindar dari godaan pria hidung belang. Maka, dikembalikan lagi ke asalnya bahwa jilbab adalah busana kehormatan. Sebagai bagian dari ikhtiyar menutup aurat. Tidak perlu berlebihan memaknai.
Karena nanti kembalinya keseluruhan pada tataran sosial kultural itu ada di akhlaqul karimah. Bukan pada rukun Islam atau rukun Iman. Jilbab tempo dulu dalam ramah sosial bisa dikaitkan dengan akhlaqul karimah. Artinya, jaman dulu, perempuan berjilbab bisa cenderung dididentikkan dengan derajat kesalehan, derajat kealiman, dan derajat akhlak yang patut diteladani.
Namun ketika terjadi jilbabisasi apalagi dengan tambahan predikat syar’i maka justru semakin tidak ada korelasi dengan akhlaqul karimah. Sebab, selalu saja yang diusung ialah wajibnya jilbab. Namun, tidak dibarengi dengan penjelasan bahwa akhlaqul karimah lebih wajib daripada jilbab.
Sehingga tidak perlu heran jika ada sebagian jilbaber yang tega meninggalkan akhlaqul karimah dengan memaki sesama perempuan Muslimah yang memilih tidak berjilbab. Bahkan definisi jilbab diperumit pula sedemikian rupa sehingga yang berkerudung juga tetap dihakimi dengan tidak kalah sadisnya, ditelisik kekurangan demi kekurangannya tanpa ampun, hingga asesoris dan pendukungnya juga dibahas dan ditabrakkan dengan nash suci.
Lucunya, sebagian lagi garang sekali menghakimi perempuan Muslimah yang tidak berjilbab sebagai serupa dengan perempuan kafir. Namun, lebih lucu lagi, belakangan ini diantara mereka yang memiliki jabatan malah ada yang membuat aturan kewajiban agar siswi nonMuslimah memakai jilbab juga disamping yang siswi Muslimah. Dan baru mengaku khilaf setelah dikeroyok orang se Indonesia Raya.
Selamat datang di negara serba syar’i nan lucu ini. Belakang juga muncul sandal syar’i kan? Siap-siap saja berantem lagi sembari obral dalil. Ntar kalau terpojok tinggal kabur atau ngaku khilaf saja selesai perkara. (Shuniyya Ruhama)