SORBAN SANTRI- Saya tidak ingat betul, Tapi kira-kira seperti itulah, kalimat terahir ketika mengikuti lomba pidato di sekolah saya beberapa puluh tahun yang lalu. Itupun kalimat tersebut saya kutip dari da’i kondang Zainuddin MZ.
Jadilah ketika saya mengatakan, ” ” Hidupkan agama, jangan malah cari hidup dari agama,” Itu persis mencontohkan gayanya Zainuddin MZ yang sedang memberikan tausiyah kepada jamaah.
Ceritanya waktu itu, sehari sebelum mengikuti lomba pidato saya masih kelabakan mencari judul yang pas. Akhirnya atas usulan teman, saya diberikan kaset bajakan yang isinya ceramah Zainudin MZ. Setelah dengan susah payah mendengarkan seluruh isi ceramah dai kondang tersebut, saya kemudian lantas dengan seketika jatuh cinta dengan gaya penyampaian yang iya bawakan.
Jika hari ini misalnya kembali akan diadakan lomba pidato antar alumni SD, tentu saya akan menolak untuk berpartisipasi lagi. Ya bukan apa-apa takutnya nanti model ceramah saya tidak sesuai dengan selera keinginan masyarakat. Itu bisa dimaklumi karena memang hari model ceramah-ceramah agama bukan main banyaknya. Ada yang sambil membentak-bentak, kemudian setelah itu, meneriakan kalimat takbir. Ada yang dengan santun. Ya, pokoknya macam-macam.
Selain itu juga, isi pesan dari penceramah kita hari ini kan juga beragam. Ada yang mengajak untuk poligami saja, ada banyak. Bahkan pernah berseliweran digrup-grup WhatsApp cara cepat memperoleh istri empat. Ada yang senangnya membahas soal kafir, itu juga banyak. Bahkan masih ada para penceramah yang sering mengaitkan isi ceramah dengan kebangkitan PKI.
Inilah problem kita hari ini. Da’i atau penceramah sering kali menyampaikan hal-hal yang membuat masyarakat kebingungan. Bisa jadi dikarenakan ketidaktahuannya akan suatu persoalan atau memang sebuah setingan untuk menaikkan pamor dari da’i tersebut. Jangan dikira setingan itu hanya kehidupan artis saja.
Pernah dalam satu tayangan live di salah satu stasiun televisi swasta, seorang da’i menyampaikan kalimat yang penuh kontroversial. Bahkan menurut saya ini keterlaluan tak pantas diucapkan seorang penceramah apalagi ini live disaksikan oleh jutaan orang di seluruh Indonesia.
” Salah satu kenikmatan yang ada di dalam surga adalah pesta seks. Minta maaf, karena inilah yang kita tahan-tahan di dunia. Dan kenikmatan terbesar yang diberikan oleh Allah SWT di surga adalah pesta seks.”
Meski akhirnya sang dai meminta maaf atas kekeliruannya tapi video kontroversi tersebut telah beredar dan terus saja menjadi konsumsi publik. Begitu juga dengan para pemirsa yang terlanjur telah mendengar kalimat tersebut. Akan terus tertanam dibenaknya tentang pembenaran si da’i tersebut.
Ada banyak lagi contoh kasus di mana sang dai lewat isi ceramah-ceramahnya menuai kontroversi di masyarakat luas. Salah satu yang cukup menyedot perhatian dan energi ialah kontroversi ialah ucapan ustadz Evi Afandi yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah sesat. Dan anda pasti bisa menebak dengan benar apa yang dilakukan ustadz tersebut. “Minta maaf.”
Jika mau diulas satu demi satu maka tulisan ini akan penuh dengan berbagai macam kontroversi yang ditimbulkan oleh para dai. Hal semestinya tidak harus sampai terjadi jika memang para dai itu punya standar yang jelas, kompetensi ia miliki sudah tidak diragukan lagi. Dan tidak perlu lagi membuat klarifikasi permintaan maaf atas kekeliruannya dalam menyampaikan tauziah. Saya sudah sangat muak dengan pengulangan-pengulangan itu.
Itulah kenapa ketika Kemenag ingin mensertifikasi para da’i, saya pun dengan seketika menyatakan setuju. Layaknya seperti mas Anang Hermansyah dalam program pencarian bakat ketika ditanya oleh pembawa acara dengan spontan ia menjawab. “ Aku sih yes”
Setidaknya dengan adanya sertifikasi da’i akan mengurangi potensi-potensi ceramah agama yang dapat menimbulkan kontroversi ditengah masyarakat. Karena dengan sertifikasi akan ketahuan mana yang benar-benar ulama mana yang mengaku-ngaku sebagai ulama.
Selama ini batasan itu belum jelas, siapa saja yang berhak memberi tausiyah. Apa kompetisinya, bagaimana penguasanya terhadap suatu persoalan dan masih banyak lagi syarat harus dimiliki. Barulah kemudian ia diberi mikrofon.
Bayangkan saja hampir setiap hari kita itu selalu bersinggungan dengan para da’i atau mendengarkan ceramah. Mulai dari tayangan di televisi, ribuan konten ceramah di berbagai platform media sosial yang begitu mudah di share. Belum lagi kegiatan-kegiatan seremonial kita selalu menghadirkan para da’i. Mulai dari perkawinan sampai peresmian kantor bahkan sekarang ditempat kerja pun ada semacam kajian yang harus diikuti oleh setiap karyawan.
Sertifikasi da’i sebenarnya juga menguntungkan para da’i itu sendiri. Minimal sang da’i tersebut akan bebas berceramah di mana saja selama masih di wilayah Indonesia, tanpa takut akan terjadinya persekusi.
Kekhawatiran dengan adanya sertifikasi da’i akan menjadi kontrol bagi penguasa sebenarnya adalah hal yang tak perlu terlalu dirisaukan. Layaknya seperti jargon yang sering kita dengar, “Kalo bersih kenapa harus risih”.
Dokter saja ketika ingin membuka praktek harus mengantongi surat izin dari pemerintah, begitu juga dengan pelatih sepakbola jika ingin melatih klub sepakbola haruslah mempunyai lisensi atau sertifikat baru kemudian bisa melatih. Itu Artinya menandakan bahwa pentingnya sebuah keahlian, nah untuk membuktikan kita ahli dalam bidang tertentu ya mestilah diuji dahulu.
begitu pula profesi da’i memang benar-benar harus diisi oleh orang yang mumpuni, yang mengerti dengan agama. Hingga yang keluar dari tenggorokannya ajakan untuk selalu menebar kebaikan, berdakwah dengan carxa merangkul bukan memukul. Mengajak bukan membentak. (m.arfah ansor batam)