InfokomBanserNU- Dibanding dengan jaringan ulama dan pesantren Jawa, pengetahuan kita mengenai jaringan ulama dan pesantren Sunda amat sangat sedikit. Hanya para peneliti tertentu saja yang mengetahuinya. Masyarakat umum, apalagi di luar Sunda, hampir tidak mengenalnya secara baik dan benar.
Beberapa hari kemarin saya dan sejumlah dosen UNUSIA Jakarta berkesempatan mengunjungi makam para ulama Sunda dan pesantrennya. Kami memulai perjalanan dari Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasik, dan berakhir di Ciamis. Banyak hal yang kami dapatkan, bahkan sebagiannya terdengar mengejutkan.
Misalnya soal peranan KH Abdullah bin Nuh yang seringkali diklaim oleh HTI sebagai ulama yang mendukung khilafah. Setelah membaca tulisan beliau sendiri yang kami dapatkan di pesantren Al-Ghozali, Bogor, klaim tersebut ternyata menipu. Secara jelas dan tegas beliau menyatakan Pancasila adalah “jalan tengah” bagi Indonesia.
Sementar itu, di Cianjur kami menziarahi makam KH Ahmad Syathibi yang lebih dikenal sebagai Mama Gentur. Meskipun setiap haulnya diziarahi ribuan orang, banyak orang, apalagi generasi milenial, tidak lagi mengenalnya. Padalah beliau adalah salah satu simpul utama ulama Sunda pada awal abad ke-20. Pandangan keagamaannya yang khas masih tercermin dalam aturan di sekitar pemakamannya hingga sekarang. Para peziarah tidak boleh membawa hape melewati gerbang yang gambarnya bisa dilihat di bawah.
Memahami konstelasi keagamaan di Jawa Barat, khususnya Priangan, hari ini tidak bisa dilakukan tanpa memahami jaringan ulama dan pesantrennya. Sayang banyak hal belum tergali. Keberadaan pesantren Fauzan di Garut, misalnya, jarang diekspos oleh media. Kajian-kajian akademis juga melupakannya. Padahal kita tidak akan mengerti mengapa terjadi ketegangan di Garut ketika terjadi pembakaran bendera HTI dua tahun lalu jika tidak tahu bagaimana peranan penting pesantren Fauzan di sana. Dalam amatan saya, tidak ada pesantren yang lebih gagah berani membela NU di Priangan melebihi pesantren Fauzan.
Masih banyak hal lain yang sesungguhnya ingin saya ceritakan. Di Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya, kami juga mendengarkan informasi menarik. Dalam pengakuan pengasuhnya, karena dulu almarhum KH Choer Affandi sebagai pendiri pernah bergabung dengan DI (Darul Islam), maka sekarang terdapat stigma terhadap mereka. Seolah-olah Miftahul Huda anti-NU, padahal, menurut KH Abdul Aziz Affandi, pengasuhnya sekarang, “kami ini Nahdliyyin!”
Insya Allah saya dan teman-teman UNUSIA akan menuliskan cerita perjalanan yang sebenarnya terlalu singkat itu. Termasuk dalam hal ini temuan-temuan mengenai kesalahpahaman terhadap “Islam Nusantara” di sebagian masyarakat, khususnya di Jawa Barat. Semoga ini bisa menambah pengetahuan, meski sedikit, tentang jaringan ulama dan pesantren Sunda yang terlupakan.
Amin Mudzakkir