Infokom Ansor Banser NU– Mbah Dullah punya selera yang tinggi dalam berpakaian. Koleksi jam tangan Beliau didominasi merk Mido, waktu itu sekitar tahun 90-an, sudah ada yang berbandrol 9jt, ada yang 6jt.
Almari pakaian Beliau dipenuhi sarung merk BHS dan belbagai macam jas. Beliau memang penyuka jas, dan Beliau juga mahir bikin jas, karena di waktu muda dulu, di sela mengabdi di Pesantren, Beliau juga berprofesi sebagai seorang penjahit pakaian, bahkan jas. Sampai sepuh, Beliau masih suka menjahit baju yang bakal beliau kenakan.
Suatu hari, seorang santri diutus Mbah Dullah mencari kain wool untuk dibikin jas. Contoh kain tersebut dibawakan agar tidak keliru dalam membeli. Santri tersebut ngubek-ubek toko kain sekota Kudus, namun belum menemukan kain yang sesuai dengan contoh yang diberikan.
Esok harinya, Kota Semarang yang dituju. Si santri muter-muter hampir ke seluruh toko kain dan mall se-Semarang. Alhamdulilah, di salah satu mall yang megah, kain yang sesuai dengan contoh yang dibawa si santri didapatkan. Harganya? Hampir 3 juta permeter. Total pembelian untuk ukuran jas yang dikehendaki, 5 juta lebih. Lalu kain tersebut dibawa oleh si santri ke penjahit jas yang terkenal, “Eka Karya” di jalan Kyai Saleh, Semarang, sesuai arahan Sang Kiai.
Contoh jas sebagai ukuran dan kain wool-pun diserahkan pada sang penjahit. Sang penjahit berucap “Yo, Kang. Jas pesanan akan segera kami bikin, nanti kalau jas sudah jadi tidak usah diambil ke sini, akan kami antar sendiri ke Kajen sekalian sowan”.
Sang penjahit yang asli Wedung, Demak, memang kenal dengan Mbah Dullah. Lalu si santri-pun pulang. Lewat satu minggu, Sang Penjahit sudah datang di Kajen, mencari si santri minta diantar untuk sowan. Sang penjahit kemudian diantar si santri sowan, dalam pisowanan tersebut, sudah ada tamu lain yang menunggu, yang juga hendak bertamu pada Mbah Dullah. Setelah bertemu dengan Mbah Dullah, sang penjahit menyerahkan jas pesanan, Mbah Dullah-pun mencoba memakai jas baru tersebut. Pas! Enak dipakai dan bagus sekali..
Sang penjahit pun pamit permisi setelah makan, ongkos pembikinan jas digratiskan untuk tabarrukan. Lalu, tamu lain yang tadi bareng sowan nyeletuk, sekedar basa-basi, “Mbah, jas-e sae sanget”. Mbah Dullah menyahut, “Jenengan remen?”. “Nggih, sae sanget”. Mbah Dullah ngendikan, “nek Jenengan remen, monggo Jenengan betho mawon, kangge Jenengan”. Jas-pun kembali dimasukkan ke pembungkusnya, diserahkan pada Sang Tamu tadi.
Sang Tamu yang awalnya jengah menerima, akhirnya tetap membawa jas tersebut karena setengah dipaksa. Si santri melongo, memendam rasa dongkol yang tiba-tiba menggunung memenuhi hatinya, teringat perjuangannya mendapatkan kain bahan jas itu. “Kenapa tidak diberikan ke saya saja, mbah?”, jeritnya dalam hati. Begitulah, Mbah Dullah!
Makanya tidak heran jika waktu itu banyak Santri Ndalem yang bersarung BHS dan ber-arloji Mido, hadiah dari Sang Kiai. Teruntuk Mbah Dullah, alfatihah…
cerita ini disarikan dari tutur Sang Santri, Kang Sunhadi!
Oleh: Mujibur Rachman Ma’mun, Pengasuh Pesantren Al Hikmah Kajen, cucu Mbah Dullah Salam Kajen