SORBAN SANTRI- Melihat postingan ini, saya (kyai abdi Kurnia djohan) menduga bahwa penyampai informasi ini tidak membaca kitab Hadits Shahih al-Bukhari, walaupun sering mendaku sebagai pengamal sunnah. Apa pasal? Sebab, di dalam kitab shahih al-Bukhari dimuat hadits tentang tidak terburu-buru di dalam mempelajari ilmu agama atau belajar agama.
Di sini saya hanya menampilkan sekelumit saja dari Shahih al-Bukhari. Bahwa sejak menerima wahyu surat al-Mudatsir, Rasulullah tidak mendapatkan wahyu selama beberapa bulan. Syaikh Ahmad Khudhori Beik di dalam kitab Nurul Yaqin menulis kira-kira 2 bulan Rasulullah tidak menerima wahyu.
Rasulullah rindu dengan kedatangan malaikat Jibril alaihissalam. Beliau sangat mengharapkan datangnya wahyu. Di tengah tingginya semangat itu, Allah menegur beliau dengan ayat:
(لَا تُحَرِّكۡ بِهِۦ لِسَانَكَ لِتَعۡجَلَ بِهِۦۤ)
Jangan engkau (Muhammad) gerakkan lidahmu (untuk membaca Al-Qur’an) karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya.
[Surat Al-Qiyamah 16]
Peristiwa turunnya ayat ini diriwayatkan di dalam Shahih al-Bukhari. Sejak turunnya ayat tersebut, Rasulullah menerapkan pola belajar tidak menambah pelajaran kepada para sahabat, sebelum mereka paham 10 ayat. Kabar tentang penerapan pola ini disampaikan oleh Sayyidina Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu.
Dari situ, kita bisa menarik simpulan bahwa Rasulullah dan para sahabat tidak menerapkan cara cepat di dalam belajar agama. Rasulullah menerapkan sebuah pola yang mendorong umatnya untuk memahami muatan nilai yang terdapat di dalam al-Qur’an, termasuk juga sunnah beliau.
Pola yang tidak mengutamakan kecepatan di dalam belajar itu pula yang dipahami oleh al-Imam Abdullah bin al-Mubarak yang mengatakan bahwa mempelajari adab lebih didahulukan daripada ilmu. Para ulama salaf menjelaskan bagaimana mereka berjuang selama puluhan tahun untuk memahami adab dan mempelajari ilmu selama beberapa tahun.
Jadi, belajar agama tidak mengenal istilah cara cepat. Karena akhir dari rangkaian proses mempelajari ilmu agama bukan untuk mendapat sebutan syaikh, kiai, ustadz atau profesor. Tapi, akhir dari proses belajar agama adalah menjadi hamba Allah (abdullah). Dan sebutan itu, nanti Allah sendiri yang menyampaikan ketika semua berjumpa dengan Allah pada hari kiamat. Wallahu a’lam. (ALA_NU)