Tahun ini tentu giliran adik beliau berdua, KH Fuad Jazuli. Tulisan kali ini berbeda dengan tulisan-tulisan sebelumnya. Saat menulis pun mata saya penuh air mata, di leher terasa berat menahan tangis. Sebab hari ini bersamaan dengan 7 hari wafat beliau namun saya belum bisa ziarah dan takziah ke Pondok Ploso, Kediri.
Saya menjadi santri di Ploso sejak 1994. Saat itu saya menjumpai para kiai sedang tinggi-tingginya semangat mengaji disertai kesehatan yang prima. Jarang kami temukan Kiai Zainuddin Jazuli libur ngaji Taqrib sore hari. Bisa dihitung dalam setahun atau nyaris tidak ada liburnya Kiai Nurul Huda Jazuli dari ngaji Sahih Bukhari di sore hari dan Tafsir Jalalain setelah Maghrib.
Kecuali saat Yai Zainuddin melaksanakan ibadah haji maka lebih dalam 1 bulan pengajian beliau digantikan sementara oleh adik beliau, Yai Fuad Allahu yarhamhu. Di situlah pertama kali saya mengikuti pengajian beliau. Kalau sowan kepada beliau sudah diantar oleh Abah saya saat pertama kali mondok.
Bagi para santri pemula seperti saya terasa cocok ngaji kepada Yai Fuad, cara bacanya pelan, ada nada khas, memiliki retorika, kadang lafaz diulang lagi, setelah diberi penjelasan beliau bertanya: “Mpun tam (selesai), Gus?”, baru beliau melanjutkan bacaan berikutnya.
Pada sebuah kesempatan saat beliau ngaos, dengan bahasa Jawa beliau dawuh: “Ngaji Fathul Qarib niki luwih gampang timbangan maen skak. Menawi skak tasih mikir, Gus. Moco Fathul Qarib mpun boten perlu mikir”. Artinya: “Ngaji kitab Fathul Qarib ini lebih mudah dari pada catur. Kalau catur masih perlu mikir berat. Kalau baca kitab Fathul Qarib tidak perlu mikir”, tentu maksud beliau adalah motivasi agar kita rajin belajar dan membiasakan membaca kitab.
Sayangnya saya tidak bisa mengaji lebih banyak kepada beliau kecuali Ramadhan, karena saya keburu boyong pada 2002. Dan Yai Fuad ini menggantikan Yai Zainuddin mengaji Fathul Qarib setelah Yai Zainuddin mencapai usia uzur dalam membaca kitab, dan alhamdulilah hingga saat ini beliau dikaruniai panjang umur. (ABI SORBAN)