SORBAN SANTRI – Para ulama Ahlussunnah sepakat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah adalah tawqifiyyah.
Artinya bahwa nama-nama dan sifat-sifat Allah hanya ditetapkan oleh Syara’.
Yaitu ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Hadits-Hadits yang sahih. Tidak ditetapkan dengan jalan Ijtihad. Pendapat ini banyak diungkapkan oleh para ulama kita.
Diantaranya oleh Syekh Ibrahim al-Laqqani dalam Jawharah at-Tawhid;
واختير أن اسماه توقيفية
كذا الصفات فاحفظ السمعية
“Dan pendapat yang dipilih adalah bahwa Nama-Nama Allah adalah Tauqifiyyah.
Demikian pula Sifat-Sifat-Nya. Maka hafalkan olehmu apa yang datang secara sam’i (datang dalam ketetapan Syara’)”.
Para ulama kita mengatakan bahwa dalam menetapkan sifat-sifat bagi Allah adalah hanya dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan oleh Rasulullah dalam Hadits-Hadits yang sahih.
Ini artinya; lafazh-lafazh yang disandarkan kepada Allah yang berlaku dalam makna idhafat (penyandaran) saja maka itu semua tidak boleh ditetapkan sebagai Sifat-Sifat bagi-Nya. Al-Hafizh Ibnul Jawzi dalam bantahan terhadap kaum Musyabbihah Mujassimah berkata:
أنهم سموا الأخبار أخبار صفات، وإنما هي إضافات، وليس كل مضاف صفة، فإنه قال سبحانه وتعالى: ونفخت فيه من روحي (سورة الحجر: 29) وليس لله صفة تسمى روحا، فقد ابتدع من سمى المضاف صفة. اهـ (1)
”Mereka selalu menamakan setiap teks yang memberitakan tentang Allah sebagai sifat-sifat-Nya. Padahal tujuan teks-teks tersebut hanya untuk mengungkapkan penyandaran saja (al-Idlafah).
[Artinya penyandaran sesuatu kepada nama Allah untuk menunjukan bahwa Allah memuliakan perkara tersebut].
Padahal tidak setiap bentuk Idlafah itu dalam pengertian sifat. Contoh, firman Allah tentang Nabi Isa:
وَنَفَخْتُ فيْه مِنْ رُوْحِي (سورة الحجر: 29)
Kata “من روحي” dalam ayat ini tidak boleh dipahami bahwa Allah memiliki sifat yang disebut dengan “ruh” [lalu sebagian ruh tersebut adalah bagian dari Nabi Isa yang ditiupkan kepadanya].
(Tetapi yang dimaksud adalah bahwa ruh tersebut adalah ruh yang dimuliakan oleh Allah). Barangsiapa memahami bahwa setiap Idlafah itu sebagai sifat maka dia seorang yang telah sesat dan ahli bid’ah”.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa tidak setiap segala yang disandarkan kepada Allah, baik dalam teks-teks Al-Qur’an atau Hadits-Hadits Nabi dapat disebut sebagai sifat Bagi-Nya.
Kesimpulan ini harus dipahami dengan benar.
Karena jika tidak maka seseorang akan menetapkan segala apapun bagi Allah dengan dalih ada penyebutannya dalam Al-Qur’an dan Hadits, walaupun itu sifat-sifat benda, seperti gerak, turun, naik, bentuk, ukuran, tempat, arah, anggota-anggota badan, dan lainnya. Na’udzu Billah.(abi SORBAN)