MENGENANG ABAH SULAIMAN Al-LOSARY

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

cyberaswaja.online- Sebagai adik kandung yg juga muridnya hingga kini saya masih terheran-heran dg ahir kehidupan seorang kakaku yg orang-orang memanggilnya “Abah” itu. Setahu saya beliau bukan orang yg banyak melakukan “sembayang sunah atau puasa sunah”. Kalau boleh saya berkata sembayang dan puasa beliau pas-pasan saja.

Namun di hari wafatnya saya dibuatnya kagum dan terheran, terlebih usia beliau yg cukup muda untuk dituakan dan dimusim pandemi yg mewajibkan PSBB. Sejak detik tersiar berita wafatnya ratusan orang berbondong-bondong untuk menyolati dan memberi penghormatan terahir pada beliau. Sekian ulama dan kyai sepuh menangisi kepergian almarhum. Seperti tidak lagi berlaku hukum PSBB di tempat wafatnya yg sempat dinyatakan sebagai zona merah ini. Bahkan dari kepolisian dan TNI menolak untuk diganti memikul jenazahnya hingga turut mengubur jenazahnya. Bahkan hingga tulisan ini saya buat rombongan-rombangan tamu masih berdatangan dirumah duka; dari dalam dan luar kota.

Beliau itu bukan orang yg punya harta; beliau hanya anak petani yang hidupnya hanya pas-pasan saja. Namun cerita di ahir hanyatnya sungguh membuatku ingin tahu dan mengikuti jejaknya. Ya, siapa orangnya yg tak ingin kepergiannya ditangisi oleh ulama dan kyai? Perlahan saya sedikit memahami bahwa beliau ini pribadi yg sholeh sosialnya. Beliau seseorang yg mampu duduk bersama dan menghormati bahkan pada “bajingan dan pemabuk” sekalipun.

Banyak dari santri-santrinya yg sebelumnya adalah bajingan, pemabuk dan jomblo putus asa. Selain itu, pengabdiannya pada NU yg totalitas yg mengalahkan segala kepentingan pribadinya bahkan kepentingan kesehatan dirinya sendiri. Ah.. Semoga saya bisa mengikuti jejak semangat juangnya yg tak kenal lelah itu. Amin..

(Disarikan dari cerita santri dan sekian orang-orang yg kerap berinteraksi dan menyaksikan hidupnya).

Tinggalkan Balasan