Kisah pemakaman Syuhada Kemerdekaan
Selasa, 23 Agustus 1946, Mojokerto diliputi duka. Seorang syuhada telah tiada, pergi menghadap padanya. Keinginannya untuk gugur di medan perjuangan tercapai dan kepergiannya diiringi berjuta doa.
Kyai Nawawi adalah Rois Syuriah NU Mojokerto kedua setelah meninggalnya Kyai Zainal Alim. Kyai berpostur kecil itu dikenal memiliki keberanian yang besar. Meskipun menduduki berbagai jabatan tetapi dia tidak pernah tinggal diam di garis belakang. Beliau lebih senang ikut bertempur di garis depan untuk memberi tauladan pada anak buahnya, para anggota Lasykar Sabilillah Mojokerto yang dipimpinnya.
Kerap kali ulama asal Desa Kemantren Mojokerto itu berkata, “Kalau kalian kurang giat saya pimpin, kalian akan saya tinggal. Saya ingin bertemu bidadari di akhirat nanti..”. Kalimat yang beliau tunjukkan dengan menolak mundur ketika lawan mengepungnya di dusun Botokan Desa Plembungan Sukodono Kabupaten Sidoarjo pada tanggal 22 Agustus 1946.
Pada tubuhnya terdapat beberapa tusukan bayonet, salah satunya tepat di lehernya. Darah segar terus mengucur dari tubuhnya. Kyai pemberani itu memang menjadi incaran lawan. Dan hari itu, di belakang rumah H. Nur Hasan, jenazahnya diketemukan.
Jasad Kyai Nawawi berhasil diselamatkan setelah pasukan pejuang membunuh semua pasukan lawan yang mengeroyok sang kyai. Pada hari itu juga jenazahnya dibawa pulang ke Mojokerto.
Gugurnya Kyai Nawawi cepat menyebar di daerah asalnya. Ribuan orang sudah menyambut memenuhi halaman stasiun Mojokerto. Ketika diturunkan dari gerbong kereta api yang membawanya dari stasiun Tarik langsung disambut dengan Isak tangis kesedihan. Cucuran air mata yang berbaur dengan tetesan darah segar yang masih keluar saat Kyai Nawawi dibawa ke langgar Jagalan, rumahnya.
Esok pagi, pemakaman sudah ditetapkan. Keluarga beliau memilih komplek pemakaman umum Losari Gedeg sebagai tempat peristirahatan terakhirnya. Tawaran untuk dimakamkan di Taman Bahagia Mojokerto, sekarang disebut Taman Makam Pahlawan Gajah Mada, ditolak dengan alasan pesan Kyai Nawawi yang ingin dimakamkan bersama warga lainnya. Ya, beliau ingin tetap bersama warga lainnya sebagai orang biasa.
Proses pemakaman berlangsung haru. Ribuan pelayat berdatangan dari berbagai penjuru. Saat keranda diberangkatkan, pengiring berjejal di sepanjang jalanan dari rumah hingga komplek makam yang berjarak sekitar 2 kilo meter tersebut. Saking banyaknya orang, untuk masuk dan menyaksikan pemakaman pun sulit sekali.
Upacara pemakaman dipimpin oleh Kyai Abdul Ghani, penghulu Mojokerto. Para pejabat pemerintahan dan komandan militer ikut menyaksikan untuk memberi penghormatan terakhir pada Kyai yang berprofesi sebagai tukang jahit tersebut. Dan ribuan orang menjadi saksi bahwa beliau adalah syuhada yang gugur membela negeri. Kyai Nawawi menepati janji sekaligus menunjukkan bagaimana melaksanakan Fatwa Jihad gurunya, Mbah Hasyim Asy’ari.
Besarnya perhatian rakyat Mojokerto saat pemakaman berlangsung menunjukkan betapa beliau sangat dihormati. Sebagai tokoh penting kala itu, Kyai Nawawi tidak segan mendampingi langsung para pejuang republik bertempur di garis depan. Wafatnya beliau sedemikian heroik dengan tidak menyerah meski telah dikepung musuh. Pada akhirnya, seperti yang dinadzarkannya, Kyai Nawawi memenuhi takdirnya sebagai syuhada, syahid di medan laga
Untuk mengenang jasa Kyai Nawawi dibuatlah monumen sederhana di lokasi gugurnya sang Syuhada. Monumen itu dibuat atas prakarsa Kyai Achyat Chalimy, Ketua NU Mojokerto yang sekaligus meresmikannya dengan menandatangani prasasti.
Sumber: Serpihan Catatan Ayuhanafiq