Baca bagian ke-1
H. Qodri, memanggil kedua keponakannya – Aslan dan adiknya, bernama Ahyat yang mulai menginjak masa remaja. Ia bercerita kepada kedua keponakannya, ; “ Ayahmu adalah keturunan dari Mbah Rofi’i yang berasal dari Giri, Gresik, sedang Ibumu adalah keturunan dari Mbah Rowiyo, yang berasal dari Ampel, Surabaya.”1) Katanya, memulai paparan ceritanya. Mbah Rofi’i dan Mbah Rowiyo adalah Pahlawan Islam, karena beliau itu adalah anggota pasukan Tumenggung Kertosono, yang merupakan salah satu Panglima Perang Pangeran Diponegoro, dari Mataram, Jawa Tengah. Mbah Rofi’i dan Mbah Rowiyo dibawah pimpinan Tumenggung Kertosono, berangkat ke Jawa Tengah, berperang melawan Kompeni Belanda, bersama Pangeran Diponegoro.
Karena kelicikan dan tipu muslihat Kompeni Belanda, P. Diponegoro akhirnya ditangkap kompeni Belanda. Pasukan Diponegoro kocar-kacir. Mbah Rowiyo dan Mbah Rofi’i berniat kembali pulang ke Giri dan Ampel. Karena sulitnya menempuh perjalanan pulang, keduanya nekad mengikuti aliran sungai Brantas. Mulai dari Kertosono, kedua beliau terapung-apung beberapa hari, keduanya akhirnya bertekad, dimanapun keduanya terdampar, maka disitulah mereka akan bertempat tinggal. Berkat pertolongan Alloh SWT. Keduanya terdampar di Kecamatan Gedeg, Mojokerto. Akhirnya kedua beliau menetap di Gedeg, tepatnya di desa Gedek. Sekarang, selain makam Mbah Rowiyo, beberapa keturunannya masih bertempat tinggal di Desa Gedeg.
K.H. Ahyat Halimy, dilahirkan pada tahun 1918, dari pasangan suami istri Hj. Marfu’ah binti Ali dan H. Abd. Halim dari Gedeg. Ayahanda K.H. Ahyat Halimy, meninggal dunia ketika usia kandungan Ibunya baru memasuki bulan ketiga, sedang kakak-kandungnya, K.H. Aslan, lahir pada tahun 1914. Kedua anak yatim ini kemudian di asuh oleh Ibundanya bersama Pakde-nya yang bernama H. Thohir. Ibunda K.H. Ahyat Halimy akhirnya wafat pada tahun 1938, ketika K.H. Ahyat memasuki usia 17 tahun. Pakde H. Thohir ini pula yang membawa dua Yatim bersama Ibunya, untuk bertempat tinggal di Desa Miji (Sekarang lokasi makam Alm. K.H. Ahyat Halimy).
Masa kecil K.H. Ahyat Halimy beserta kakak kandung-nya, dijalani di Kota Mojokerto. Keduanya sekolah di Sekolah Rakyat Miji (Sekarang SD Miji I), setelah lulus, mereka melan-jutkan sekolahnya ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Mereka juga sempat diajar secara langsung oleh Hadrotussyaih K.H. Hasyim Asy’ari, dan putra beliau K.H. Wahid Hasyim, bahkan karena usianya yang hampir sebaya, K.H. Wahid Hasyim selain sebagai guru berperan pula sebagai sahabat dalam melakukan berbagai diskusi, serta dalam satu barisan perjuangan di masa Proklamasi kemerdekaan.
Selama belajar di Tebuireng, K.H. Ahyat kecil dikenal sebagai santri yang disiplin. Postur tubuh dan wajahnya menyerupai keturunan Arab, gagah dan tampan. Tetapi perilakunya sangat sopan. Ia juga dikenal sebagai anak yang suka menolong teman santri yang lain. Menanak nasi dan menghidangkannya untuk disantap bersama teman-temannya, merupakan pekerjaan yang setiap hari dilakukan dengan sukarela. K.H. Munasir dari Pekukuhan, Mojosari, sebagai teman seka-mar di Pondok Pesantren Tebuireng, pernah memberi kesaksian pada beberapa orang dari pengurus Cabang GP. Ansor di rumahnya dengan mengatakan ; “ Pak Yat, sejak kecil sudah kelihatan kalau akan jadi Kiyai. Dia tidak pernah meninggalkan sholat jama’ah, tidak pernah mau menggunjingkan teman-temannya, bahkan selalu menempatkan diri sebagai pelayan dari teman-temannya. Saya termasuk orang yang paling beruntung ketika mondok di Tebuireng, karena nggak pernah ngliwet atau bahkan nyuci pakaian. Karena semua sudah dikerjakan oleh Pak Yat.”
Pengakuan dan kesaksian serupa, juga diberikan oleh teman-teman satu angkatan, antara lain ; K.H. Abdullah Siddiq, dari Jember. K.H. Mansur Burhan dari Surabaya, dan K.H. Zainuri dari Qudus.
Tahun 1938, K.H. Ahyat Halimy beserta kakak kandungnya, K.H. Aslan, kembali ke Mojokerto dan melakukan berbagai aktifitas. Sebagai pemuda, bersama dengan beberapa temannya, antara lain Sdr. M. Thoyib, M. Thohir, Sholeh Rus-man, Aslan, Mansur Solihi, dan Munasir, mendirikan Ansoru Nahdlatul Ulama (ANO) yang sekarang dikenal sebagai Gerakan Pemuda Ansor. Pada tahun yang sama K.H. Ahyat Halimy, juga diangkat sebagai Sekretaris Tanfidziyah NU Mojokerto, periode kepengurusan yang kedua (1938 s/d 1940).
Seluruh aktivitas itu dikerjakan dengan tanpa meninggalkan aktivitas “ta’lim”, atau belajar, baik ke Tebuireng mau-pun ke K.H. Romly di Rejoso, Peterongan, Jombang. Akhirnya pada tahun 1940, K.H. Ahyat Halimy mempersunting Badriyah, seorang janda dari desa Gayam, Kecamatan Mojowarno, putri dari K.H. Moh Hisyam yang juga memangku Pondok Pesantren. Suami pertama Nyai Badriyah bernama Fauzan, beliau adalah kakak kelas K.H. Ahyat Halimy, waktu belajar di Tebuireng. Perceraian antara Nyai Badriyah dengan P. Fauzan ini berlangsung baik-baik, semata-mata karena sudah bukan jodohnya lagi. Buktinya, ketika Nyai Badriyah ini dipersunting oleh K.H. Ahyat Halimy, P. Fauzan sempat menitipkan Nyai Badriyah kepada K.H. Ahyat Halimy secara langsung. P. Fauzan berpesan agar Nyai Badriyah dijaga dengan baik.
Aktivitas K.H. Ahyat yang luar biasa banyak ini, tentu saja mengurangi waktu untuk urusan rumah tangga. Kehidupan rumah tangganya dari segi finansial sangat buruk. Untung istrinya masih sangat setia menemani. “ Setelah pulang dari pengungsian pada Tahun 1946 – 1949, yaitu mulai permulaan tahun 1950, merupakan tahun paling berat bagi rumah tangga saya” tulis K.H. Ahyat Halimy, dalam artikel Sejarah Pondok Sabilul Muttaqin. “Saya bersama keluarga menempati rumah tua, dindingnya sudah lapuk. Kalau malam sulit untuk tidur lelap, karena angin dingin menerobos celah-celah dinding yang sudah lapuk”.
Pada masa sulit ini, K.H. Ahyat Halimy sempat terpilih menjadi anggota Konstituante (Semacam MPR) di Jakarta, yaitu pada masa berlakunya UUDS RI Tahun 1950, tetapi tugas ini hanya dijalani sekitar dua tahun. K.H. Ahyat Halimy mengajukan pengunduran diri dari anggota Konstituante, karena merasa ini bukan makom atau bidang keahliannya. Keputusan yang bagi kebanyakan orang terasa sangat aneh. Betapa tidak, ketika belum mendapatkan pekerjaan yang bisa menjamin kelancaran kehidupan rumah tangganya, K.H. Ahyat Halimy memilih mengundurkan diri dari anggota Konstituante hanya karena merasa bukan bidang keahliannya, pada hal menjadi anggota Konstituante (MPR) berarti “pekerjaan” yang lumayan juga ?.
Keadaan sulit ini, mengingatkan K.H. Ahyat Halimy pada “dawuh” K.H. Ahmad Basyari Sukonegoro dari Cianjur ;” Sopo wonge ziarah wali songo sarono urut-urut, Insya Alloh oleh barokahe Walisongo” (Barang siapa yang mau berziarah ke makam Walisongo secara berurutan, Insya Alloh akan men-dapat barokah dari Walisongo). K.H. Ahyat Halimy pun akhirnya berangkat ziarah ke Walisongo, menggunakan kendaraan apa saja, dengan bekal uang hasil penjualan gelang milik istrinya. “Lelono” ini membutuhkan waktu satu bulan lebih.
Ketika sampai di makam Sinuhun Syarif Hidayatullah (Sunan Giri), K.H. Ahyat Halimy mendapat isyarah, bahwa makom-nya ada di dalam Mihrab (tempat Imam Sholat). Isyarah yang sama juga di dapat oleh K.H. Ahyat Halimy, ketika berholwat di makam Batuampar, Madura. K.H. Ahyat Halimy bermimpi ketemu Rosulloh SAW, yang juga menyatakan bahwa makom-nya ada di dalam Mihrab. Isarah-isarah itu kemudian digabungkan oleh beliau, dengan berpedoman pada perilaku Hadratus syaih K.H. Hasyim Asy’ari, yang pernah bercerita, setelah berbagai macam pekerjaan ditempuh dan dijalani, oleh Hadrotussyaih bahkan sampai menjadi “blantik jaran”, akhirnya Hadrotus syaih berkata “ Bareng aku hidmatul ilmu, maka opo wae hasil kabeh”. ( Bersama saya, mengabdi kepada Ilmu, maka apapun akan terpenuhi ).
Berdasarkan pengalaman-pengalaman diatas, maka sejak tanggal 25 Januari 1956, K.H. Ahyat Halimy mulai bertekad untuk mengabdi pada ilmu, dan mengadakan kuliah subuh, di surau kecil peninggalan datuknya + 150 tahun yang lalu. Kitab yang dibaca adalah kitab Kasyifat al Sajaa’, sesuai dengan saran K.H. Romly, Rejoso Jombang dengan mengatakan “ Kang Ahyat, kitab niku manfaat kangge tiyang Jawi !”. Sejak itu sampai dengan sekarang, kuliah subuh itu terus diselenggarakan secara istiqomah, kecuali hari raya Idul Fitri, di tempat yang sama, yaitu surau kecil yang sekarang telah berubah menjadi Masjid dan Komplek Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin.
1). Beberapa Ulama sepuh, terutama ulama dari Pasuruan dan Jember, mengatakan bahwa Mbah Rofi’i dan Mbah Rowiyo, bukan saja dari Ampel dan Giri, tetapi kedua beliau adalah juga kerabat dari Sunan Giri dan Sunan Ampel. Namun K.H. Ahyat Halimy, setiap kali bercerita hanya mengatakan Mbah Rowiyo dari Giri, dan Mbah Rofi’i dari Ampel.