banner 728x250

Gus Baha Itu Aset NU Yang Patut Dibanggakan

  • Bagikan
banner 468x60

96372997_2936737383083581_2336329065037824_n

Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc., M.A

banner 336x280

cyberaswaja.online- Warga Nahdiyyin Indonesia sudah tidak asing dengan Gus Baha, yang bernama lengkap KH. Ahmad Bahauddin, putra KH. Noer Salim, pengasuh pondok pesantren Al-Qur’an, Narukan, Kragan, Rembang. Kiai Noer Salim sendiri adalah teman akrab Gus Miek atau KH. Hamim Jazuli, Ploso, Kediri. Mereka berdua pendiri Jantiko-Mantab atau Dzikrul Ghafilin.

Kedekatan Kiai Noer Salim dan Gus Miek karena nasab ayahanda Gus Baha itu memang jalur ulama besar tanah Jawa. Dari garis ibunya, Gus Baha adalah bagian dari keluarga besar ulama Lasem, Bani Mbah Abdurrahman Basyaiban atau Mbah Sambu. Sedangkan menurut penuturan Kiai Said Aqiel Siradj (Ketum PBNU), garis nasab Gus Baha bersambung pada raja tanah Jawa, Brawijaya V Raja terakhir Majapahit.

Selain keturunan raja dan ulama Jawa, Gus Baha juga terkenal sangat alim di bidang fikih, hadits, dan tafsir Al-Qur’an. Pria kelahiran 1970 ini sejak kecil sudah menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan langsung ayahandanya, yang memiliki sanad kepada Kiai Arwani Kudus dan Kiai Abdullah Salam Pati. Kefasihan dan makharijul huruf membaca Al-Qur’an menjadi titik tekan jalan sanad ini. Baru setelah menginjak remaja, Kiai Nur Salim menitipkan Gus Baha kepada Kiai Maimoen Zubair, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Sarang, Rembang.

Tahun 2000 atau ketika usia mencapai 33 tahun, Gus Baha mengembara ke Yogyakarta. Beberapa mushalla di Bantul memiliki jamaah yang setia menyelenggarakan pengajian. Kota pelajar itu mengagumi Gus Baha karena keluasan ilmunya yang dibawa dari Pondok Al-Anwar.

Kealiman Gus Baha di bidang Al-Qur’an mendapatkan apresiasi dari ulama-ulama besar di bidang Al-Qur’an seperti Professor Quraish Shihab, Professor Zaini Dahlan dan Professor Shohib. Bahkan, Professor Quraish Shihab menyebutkan, “Di Tim Dewan Tafsir Nasional, Gus Baha tidak saja dikenal sebagai mufassir tetapi juga mufassir-faqih, yang paham detail aspek hukum dalam setiap ayat Al-Qur’an.”

Pujian tidak saja datang dari ilmuan senior melainkan juga dari ustadz-ustadz muda milenial. Ustadz Abdul Somad (UAS), misalnya, mengatakan bahwa Gus Baha sebagai Hafidzul Qur’an, ahli tafsir, dan diberikan ilham oleh Allah, banyak gagasan-gagasan baru dari beliau. Selain UAS, Ustadz Adi Hidayat juga mengapresiasi kedalaman ilmu Gus Baha dengan menyebutnya sebagai “manusia Al-Qur’an”.

Baca Juga  HUKUM KB KELUARGA BERENCANA

Penulis sendiri lebih cenderung melihat Gus Baha sebagai aset Nahdlatul Ulama (NU) di masa depan. Beliau adalah penjaga turats Islam. Terminologi turats mengacu kepada seluruh khazanah intelektual Islam sejak awal abad Hijriyah hingga perkembangan mutakhir yang sudah berusia 14 abad lebih ini. Tidak banyak ulama muda NU yang berjuang di wilayah turats klasik ini.

Wacana kembali pada turats sempat dikumandangkan oleh Prof. Dr. Ahmad Thayeb, Universitas Al-Azhar, Mesir, sebagai kekuatan tunggal umat muslim. Karena mayoritas umat muslim sudah mengabaikan urgensi menjaga turats Islam ini, menurut Grand Syeikh Al-Azhar itu, banyak negara Islam dan kampus-kampus Islam di seluruh dunia tertinggal di belakang dibanding Barat. Selalu membebek buta dan terbelalak kagum pada segala pencapaian Barat.

Di Indonesia, Gus Baha tampil sebagaimana diharapkan oleh Dr. Ahmad Thayeb. Bisa dibilang, Gus Baha adalah representasi ulama Nusantara yang patut diandalkan.

Belakangan, satu video ceramah Gus Baha mengajak para santri untuk memberanikan diri menjelaskan kepakaran diri mereka, sebagaimana banyak para pekerja profesional, misal dokter gigi, bidan, dan lainnya terang-terangan menjelaskan profesi dan keahlian mereka. Sementara santri, menurut Gus Baha, tidak ada yang berani membuat pengakuan tegas ahli fikih, ahli kitab Fathul Wahhab, dan lainnya.

Candaan Gus Baha semacam itu adalah ide brilian yang serius, karena menyangkut soal mentalitas kaum santri yang harus percaya diri, bangkit, menyaingi kepercayaan diri kaum akademisi lulusan perguruan tinggi. Gagasan Gus Baha perlu direspon serius karena tidak saja menyangkut persaingan kepakaran dalam bidang ilmu, tetapi juga potensial untuk menyelamatkan publik dari belajar kepada ustadz yang tidak memiliki keahlian dalam bidang agama.

Agama yang jatuh pada tangan orang yang tidak ahli bukan saja berdampak buruk secara personal melainkan meluas pada urusan sosial dan politik. Sering kali atas nama agama, publik jatuh pada fanatisme, dan ujung-ujungnya proyek politik kekuasaan. Agama selalu dijual setiap 5 tahun sekali, lebih-lebih mendekati pesta demokrasi seperti Pileg dan Pilpres.

Hanya saja, segala pemikiran dan prestasi Gus Baha tersebut tidak serta merta dapat dinikmati publik yang lintas batas. Hal ini bisa dilihat dari daftar 15 Ustadz-ustadz/Gus-gus yang populer di generasi milenial; suatu generasi baru yang akrab dengan dunia digital, dan memiliki karakter yang jauh lebih sederhana, tidak mau rumit, dan mencari rujukan-rujukan agama yang jauh lebih menghibur. Salah satu buktinya, followers, subscribers, dan viewers Gus Baha kalah jauh dari ustadz-ustadz seperti Khalid Basalamah, Syafiq Riza Basalamah, Firanda Andirja, bahkan di bawah Gus Muwafiq, Gus Miftah, dan Ustadz Yusuf Mansur sebagai representasi NU.

Baca Juga  KYAI ABDUL HAQ, TOKOH ASWAJA IDOLA ZAMAN

pandangan penulis, setidaknya ada tiga persoalan utama: Pertama, Selain kedalaman berpikir dan keluasan pengetahuan, dominasi bahasa Jawa menjadi karakter khasnya, Bahasa lokal Jawa seakan menjadi “kerangkeng” dan sekaligus bahan material mendefinisikan komunitas atau jamaah Gus Baha. Audiens yang mendengarkan via media sosial terbatas pada mereka yang berkultur Jawa, setidaknya paham bahasa Jawa, sehingga mau tidak mau terbentuk identitas yang Jawa Sentris. Ini membuat kapasitas intelektual Gus Baha tidak bisa dinikmati komunitas/audiens lintas batas di Indonesia.

Kedua, tema-tema khazanah klasik yang berat bagi sebagian orang awam, tentu hanya cocok untuk kalangan santri yang sudah mengenyam pendidikan pesantren. Hal ini tidak perlu dipermasalahkan, karena selain jadi kekurangan tapi juga keunggulan. Perlu ada penjaga gawang wacana-wacana turats klasik sekalipun itu susah dicerna publik luas yang jauh dari tradisi pesantren.

Ketiga, manajemen media sosial yang lemah. Dari berbagai channel yang mendokumentasikan ceramah-ceramah Gus Baha, jumlah subscribers, followers, dan viewersnya kalah bila dibanding beberapa ustadz yang disebut di atas. Hal ini adalah persoalan manajemen media, dan tidak terkait sama sekali dengan profil dan konten ceramah Gus Baha.

Masalah dominasi Bahasa Jawa dan manajemen media sosial ini perlu segera dipecahkan. Sebagai langkah strategis untuk melebarkan sayap dakwah NU pada umumnya dan untuk meluaskan jangkauan ceramah Gus Baha pada khususnya. Wallahu a’lam bis shawab.

(Sumber: TRIBUNNEWS.COM dengan beberapa editan yang diperlukan)

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.

banner 336x280
banner 120x600
  • Bagikan

Tinggalkan Balasan