Pada segmen akhir dari Kajian Ahlussunah wal Jamaah di TV9 ada pemirsa yang bertanya dari Kalimantan Barat bahwa ia sudah melakukan ibadah shalat namun mengapa masih mendapat ujian, baik ringan hingga berat?
Di pesantren dahulu kita sudah diingatkan oleh para kyai dan guru dengan sebuah ayat:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (Al-`Ankabūt: 2)
Mengapa kita yang sudah beribadah masih diuji? Imam Al-Qurthubi menyampaikan alasannya:
ليتبين الصادق منهم والكاذب
Agar menjadi jelas siapa yang benar-benar beribadah dan yang berpura-pura.
Sehingga dijelaskan dalam beberapa hadis bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺃﺷﺪ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﻼء اﻷﻧﺒﻴﺎء ﺛﻢ اﻷﻣﺜﻞ ﻓﺎﻷﻣﺜﻞ ﻳُﺒْﺘَﻠﻰ اﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻋﻠﻰ ﺣَﺴَﺐِ ﺩِﻳﻨِﻪِ ﻓﺈِﻥْ ﻛﺎﻥَ ﻓِﻲ ﺩِﻳﻨِﻪِ ﺻُﻠْﺒﺎً اﺷْﺘَﺪَّ ﺑَﻼﺅُﻩُ ﻭﺇﻥْ ﻛﺎﻥَ ﻓِﻲ ﺩِﻳﻨِﻪِ ﺭِﻗَّﺔٌ اﺑْﺘُﻠِﻲَ ﻋﻠﻰ ﻗَﺪْﺭِ ﺩِﻳﻨِﻪِ ﻓَﻤﺎ ﻳَﺒْﺮَﺡُ البلاء ﺑﺎﻟﻌَﺒْﺪِ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘْﺮُﻛَﻪُ ﻳَﻤْﺸِﻲ ﻋﻠﻰ اﻷَﺭْﺽِ ﻭَﻣَﺎ ﻋﻠﻴﻪِ ﺧَﻄِﻴﺌَﺔٌ (ﺣﻢ ﺧَ ﻧ ﻫـ) ﻋﻦ ﺳﻌﺪ.
“Manusia yang paling berat ujiannya adalah para Nabi, kemudian orang di bawahnya, kemudian di bawahnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai tingkat agamanya. Jika keyakinan agamanya kuat maka berat pula ujiannya. Jika keyakinannya lemah maka sesuai dengan keyakinan agamanya. Ia akan terus diberi ujian hingga ujian sudah meninggalkan dia berjalan di atas bumi dalam keadaan tidak memiliki kesalahan” (HR Ahmad, Bukhari, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Sa’ad)
Ibaratnya, tingkat kesulitan ujian hidup yang dialami kyai tidak sama dengan santri. Beban masalah yang dipikul konglomerat jauh lebih berat dari pada pekerja biasa. Dan seterusnya.
Saat kita beribadah dan menemukan ujian hidup, musibah, problematika apapun jangan menghalangi kita untuk beribadah kepada Allah.
Oleh Ma’ruf Khozin