KYAI ZAINAL ALIM SURONATAN
Tidak banyak kisah yang terungkap tentang sosok Kyai Zainal Alim. Ulama yang ditunjuk sebagai Rois Syuriah NU Mojokerto itu wafat tanpa meninggalkan keturunan. Makamnya di komplek pemakaman Losari tidak terawat dengan baik. Dari berbagai penelusuran hanya sedikit yang bisa didapatkan.
Kyai Zainal Alim berasal dari daerah Sidayu Gresik. Kota kecil di pesisir laut Jawa itu merupakan salah satu pusat perkembangan agama Islam. Beberapa keturunan Arab yang berprofesi sebagai saudagar menetap disana. Dari salah satu keturunan Arab itulah Kyai Zainal Alim dilahirkan.
Layaknya keturunan Arab, Kyai Zainal Alim berpostur tinggi besar dengan warna kulit kuning mendapatkan didikan ilmu agama yang mumpuni. Beliau kemudian pindah ke Mojokerto bersama istrinya untuk mengembangkan usahanya. Tempat yang dipilih adalah kampung Suronatan, sebuah kampung yang terletak di tepi kali Brantas.
Seperti umumnya orang Arab, Kyai Zainal Alim juga berprofesi sebagai pedagang. Setiap harinya berniaga di pasar Tanjung yang dibangun oleh Gemeente Mojokerto untuk menggantikan pasar Pahing. Barang yang dijual berupa pakaian, sarung dan kopyah. Profesi yang digelutinya memberi kehidupan yang layak bagi keluarga Kyai Zainal Alim.
Sebuah langgar kemudian didirikan dekat rumahnya yang dikenal sebagai Langgar Zainal Alim atau langgar Suronatan. Langgar yang bergaya Jawa itu digunakan tempat mengaji anak-anak di sekitarnya. Kegiatan ngaji yang semakin lama semakin berkembang dengan jumlah santri yang terus bertambah.
Sebagai pendidik, Kyai Zainal Alim ternyata berpikir jauh ke depan. Melihat banyaknya anak yang datang ke langgar Suronatan, beliau berkeinginan untuk memberi bekal ilmu yang lebih. Setidaknya ilmu berhitung ala sekolah model Belanda harus diberikan pada santri-santri disana. Keinginan itu untuk mengimbangi pendidikan sekolah sekuler yang didirikan penjajah Belanda.
Ide itu ternyata disambut baik oleh koleganya di NU Mojokerto. Pada akhirnya disepakati berdirinya Madrasah Ibtidaiyah NU yang bertempat di langgar Kyai Zainal Alim. Madrasah itu yang menjadi embrio MI Al Muhsinun yang hingga sekarang berdiri di komplek Masjid Agung Kauman.
Ketokohan Kyai Zainal Alim sangat dihormati oleh kalangan Kyai Mojokerto. Hal itu terbukti ketika dibentuk organisasi NU di Mojokerto pada tahun 1928. Para ulama sepakat menunjuk beliau sebagai figur sentral organisasi yang didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’ari tersebut. NU yang biasa dipimpin oleh pengasuh pesantren ternyata berbeda penerapannya di Mojokerto. Kyai Zainal Alim tidak memiliki pesantren, hanya mengajar ngaji di langgarnya saja. Pada saat itu sudah ada beberapa pesantren seperti Pesantren Besuk, Kemlagi dan Karangsari Sooko, yang sudah lama berdiri. Namun para kyai menyerahkan jabatan tertinggi organisasi pada Kyai Zainal Alim. Kemungkinan karena faktor ketokohan yang membuat beliau dipercaya memimpin NU Mojokerto.
Dalam menjalankan roda organisasi NU, Kyai Zainal Alim berpartner dengan Kyai Nawawi Jagalan. Duet itu mirip dengan kolaborasi Kyai Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah. Kyai Zainal Alim sosok yang tenang, sedangkan Kyai Nawawi figur yang dinamis dengan mobilitas tinggi.
Belum ada data pasti kapan Kyai Zainal Alim wafat. Nama beliau tidak lagi terdengar ketika Jepang datang. Saat pergantian kekuasaan itu kendali NU Mojokerto sudah beralih ke tangan Kyai Nawawi. Besar kemungkinan Rois Syuriah NU Mojokerto meninggal antara tahun 1942-1943.
Atas petunjuk H. Ghumson, mantan aktivis GP Ansor tahun 1960-an, makam Kyai Zainal Alim dapat diketemukan.
Saat ini makam Kyai Zainal terlihat tidak terawat. Sebuah nisan tua tanpa tulisan terpasang pada pusaranya. Karena tidak memiliki keturunan dan tidak ada tulisan penanda sehingga tidak banyak orang mengetahuinya. Sebagai tokoh pendiri NU Mojokerto, maka selayaknya para penerusnya memberi perhatian terhadap makam beliau tersebut.
Jika mau serius menelusuri masih ada kemungkinan kisah Kyai Zainal Alim bisa didapati. Selain menggali di sekitar Suronatan bisa juga melacaknya ke Sidayu, tempat kelahirannya.