InfokomBanserNU- Semua orang pernah mengalami pubertas beragama, tapi biasanya itu gak lama, asal terus belajar dan tak berhenti membaca.
Di pesantren, santri kelas wushto yg lagi semangat belajar Nahwu pasti sensi banget saat lihat kosakata arab yang i‘robnya salah. Santri Ulya senyum-senyum saja. “Maklum belum hatam Alfiyah” katanya.
Waktu ngajinya masih Fathul Qorib, keluar dari kamar mandi jinjit-jinjit, sarung diangkat di atas betis karena takut najis. Waktu udah hatam Fathul Jawad, baru sadar kalau semua itu lebay dan melampau batas.
Pada ngaku gak, waktu ngaji Sulam Taufiq dikit-dikit bilang Murtad dan Syirik.
Tapi setelah mempelajari syarahnya, Isy’adur Rofiq jadi lebih arif dan gak asal kritik.
Mereka yang baru belajar baca Quran Terjemah, baca ayat jihad yang terbayang perang dan darah.
Coba selami tafsirnya, pasti paham bagaimana sulitnya menahan amarah demi tersebarnya islam yang rahmah. Semakin bertambah ilmu semakin ringan menyelesaikan persoalan.
Ibarat balon yang diisi Hellium bisa terbang melayang. Beda sama yang ditiup dengan mulut, melembung tapi nggelundung.
Ngaji itu tak kenal berhenti, dari bayi sampai mati.
Apakah biar menang debat? Bukan. Tapi biar tahu kalau kita ini gak tahu.
#NUgarislucu
wes ngunu ae