SORBAN SANTRI– Isu gender bagi kalangan para santri terdiri dari 2 arus besar. Bagi para santri yang terus berkecimpung di pesantren dengan pegangan kitab kuning setiap harinya akan terlihat respon penolakannya, atau setidaknya kurang setuju. Sementara bagi arus kedua, para santri yang sudah aktif di lingkungan akademisi, pergerakan, bersentuhan dengan komunitas dan sosial yang beragam biasanya menerima isu gender ini.
Arus kedua ini -dalam amatan saya- ada yang langsung menggugat bentuk patriarki dan penempatan wanita dalam kelas dua di beberapa literatur kitab. Namun ada pula yang lebih soft, tidak mendekonstruksi ‘doktrin’ kitab kuning namun mereinterpretasi (menafsirkan ulang) beberapa kitab rujukan tersebut dengan membandingkan dari penjelasan para ulama lain. Biasanya menggunakan tafsir ulama yang berbeda dalam penekanan sisi makna bahasa, atau dengan menggunakan pendekatan Ilmu Ushul Fiqh. Kyai Imam Nakhai yang kemarin menjadi narasumber bersama dengan saya dalam seminar nasional online adalah tipe yang soft ini. Saya memaklumi karena pangkat beliau sudah selevel Al-Ghazali, yakni di depannya sudah pakai “Imam”.
Dalam penyampaian materi, kyai Imam Nakhai yang juga Dosen di Ma’had Ali Salafiyah Syafi’iyah Situbondo ini memaparkan beberapa dalil, menganalisa beberapa redaksi hadis, memposisikan mana dalil Am dan Khash, Mutlaq dan Muqayyad. Pada titik kesimpulan beliau katakan bahwa laki-laki dan perempuan pada sisi Insaniyah (kemanusiaan) dan Akromiyah (kemuliaan) adalah sama, sederajat. Namun pada sisi Afdlaliyah (keutamaan) terkadang laki-laki memiliki sifat keutamaan tersebut namun tidak menutup peluang bagi wanita untuk mencapai keutamaan tersebut.
Saya didapuk oleh panitia menyampaikan materi seputar ibadah puasa dan hari raya di masa wabah ini. Jadi, saya hanya fokus dengan materi saya.
Pada sesi tanya jawab hampir kebanyakan suara yang bertanya diwakili oleh kaum Adam dan bertanya tentang poligami. Beliau menjawab dengan jawaban yang sedikit mengejutkan awalnya, namun bisa dipahami di bagian akhir. Kata beliau poligami bukan ajaran Islam. Tapi ajaran umat terdahulu. Yang terdapat dalam Islam tentang poligami adalah mengatur dan memberi batasan.
Tanpa diduga moderator menanyakan kepada saya soal poligigi ee poligami. Tentu saya terkejut. Saya menjawab dengan penjelasan yang terdapat dalam sebagian kitab Madzhab Syafi’iyah:
ﻭﻧﺪﺏ ﺇﻟﻰ اﻻﻗﺘﺼﺎﺭ ﻋﻠﻰ ﻭاﺣﺪﺓ ﺧﻮﻓﺎ ﻣﻦ اﻟﺠﻮﺭ ﻭﺗﺮﻙ اﻟﻌﺪﻝ، ﻭﻫﺬا ﻣﺄﻣﻮﻥ ﻣﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Dianjurkan menikah hanya 1 wanita saja, khawatir ada penyelewengan dan tidak adil. Kedua alasan ini tidak terdapat dalam diri Nabi shalallahu alaihi wasallam (Al-Majmu’ wa Takmilah 16/144)
Di samping itu, redaksi dalam kitab-kitab Syafi’iyah biasanya ketika menjelaskan poligami menggunakan bahasa boleh (jawaz). Maka ada penuturan dalam sebagian kitab Madzhab Syafi’i lainnya dijelaskan:
ﺇﺫَا ﻗِﻴﻞَ ﻳَﺠُﻮﺯُ ﻛَﺬَا ﻳُﻔْﻬَﻢُ ﻣِﻨْﻪُ ﻋُﺮْﻓًﺎ ﺃَﻥَّ ﺗﺮﻛﻪ ﺃﻭﻟﻰ
“Jika ada redaksi ‘boleh melakukan ini’ maka dapat dipahami secara umum bahwa sebaiknya tidak dilakukan” (Bujairimi Khatib
2/174) (kh. ma’ruf khozin)