Perlawanan Budaya dan Ideologi para Kyai
Pada suatu hari, protokol Istana Negara datang ke kediaman Mbah Wahab Hasbullah. Dia menyampaikan jika akan ada kegiatan Presiden Soekarno yang juga mengundang Rois Syuriah Partai NU untuk hadir. Dan karena itu diharuskan para undangan mengenakan pakaian jas lengkap dengan dasinya.
Pada hari pelaksanaan, Mbah Wahab pun muncul di Istana. Kehadiran beliau ternyata membuat para undangan lainnya terkesima. Mereka heran sebab Mbah Wahab memakai jas dan sekaligus berdasi tetapi tidak memakai celana dan bersepatu. Mbah Wahab seperti biasa memakai sarung dan sendal saja untuk menggantikan celana panjang dan juga sepatu sebagai padanan jas yang dikenakannya. Maka jadilah Mbah Wahab satu-satunya peserta acara yang beda diantara yang lainnya.
Sarung memang tidak pernah lepas dari Mbah Wahab dalam kegiatan apapun, tidak peduli meski itu kegiatan resmi dengan aturan protokoler kenegaraan. Sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung maupun anggota DPR-RI beliau tetap setia dengan sarungannya. Karena itu beliau dikenal sebagai politisi sarungan. Istilah yang awalnya dibuat oleh golongan modernis untuk menunjuk kelompok islam tradisionalis. Istilah konotasi dengan tujuan merendahkan.
Perjalanan sarung sebagai sebuah identitas NU ternyata memiliki sejarah panjang. Sarung ditengarai datang ke Indonesia dibawa oleh para pedagang muslim asal Gujarat. Mereka berdagang di pelabuhan-pelabuhan dengan memakai kain sarung. Karena itu mereka disebut sebagai Orang Selam atau orang Islam dengan sarung sebagai identitasnya. Setelah Islam berkembang di Nusantara maka sarung pun ikut menjadi salah satu atributnya. Maka kain sarung itu bersanding dengan kain batik yang dililitkan seperti yang biasa dikenakan oleh orang Jawa.
Secara pemakaian, sarung tentu lebih praktis dibandingkan dengan lilitan kain batik. Sarung bisa cepat dikenakan maupun di lepas. Demikian pula dengan fungsinya yang dapat digunakan sebagai selimut tubuh bila malam datang. Bagi masyarakat pantai atau, kain sarung seolah menjadi barang wajib yang harus dibawa ketika bekerja hingga melahirkan istilah “cul dayung adol sarung”, jika berhenti melaut terpaksa jual sarung yang dimiliki.
Saat penjajahan Belanda semakin menguat maka sarung menjadi sebuah identitas perlawanan budaya. Belanda memang gencar mengenalkan gaya hidup barat dengan jas dan celana selaku atribut kemodernan. Para priyayi mulai banyak meninggalkan lilitan kain batik untuk bertukar dengan celana. Kampanye tersebut mendapatkan perlawanan dari para kyai dan ulama yang tidak ingin rakyat hanyut oleh arus ke-Belanda-belandaan.
Untuk melakukan perlawanan budaya maka dipakailah sarung sebagai ciri pembeda. Untuk menguatkan perlawanan itu dikaitkan dengan hadits “Mantasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum”. Barang siapa menyerupai suatu kaum maka ia akan digolongkan sebagai kaum tersebut.
Meskipun penerapan dalil tersebut mendapat perlawanan dari kelompok Islam yang tidak sepakat, para kyai terus menerapkannya. Maka dijadikanlah sarung sebagai pakaian “wajib” bagi para santri yang belajar di pesantren. Pesantren itu sendiri juga merupakan simbol perlawanan terhadap pola pendidikan sekolah kolonial. Klop sudah identitas perlawanan yang digagas.
Dalam sebuah artikel di Koran Jawa Pos yang terbit pada 1 September 1989 menulis jika di Jawa pernah terjadi gerakan swadesi pada tahun 1932. Gerakan yang bertujuan melawan atau menolak membeli produk asing itu menjadikan sarung sebagai pakaian rakyat. Sarung buatan Pekalongan pun menjadi naik produksinya.
Setelah Indonesia merdeka, dibentuklah sebuah organisasi politik yang mewadahi aspirasi umat Islam yang dinamakan Masyumi. Hampir semua organisasi Islam masuk dalam Masyumi tersebut, termasuk NU. Pada awalnya persoalan perbedaan pandangan politik tidak mengemuka di Masyumi saat Mbah Hasyim ditunjuk sebagai pucuk pimpinan Masyumi. Sikap merendahkan NU muncul setelah Mbah Hasyim wafat pada tahun 1947. Dalam Konggres Masyumi di Jogjakarta, Desember 1949, Walikota Jogjakarta, Muhammad Saleh, yang juga tokoh Muhammadiyah mulai menyerang secara verbal dengan kalimat, “Politik adalah luas, Politik ini, saudara-saudara, tidak bisa dibicarakan sambil memegang tasbih, jangan dikira scope-nya politik ini hanya di sekeliling pondok dan pesantren saja..”.
Peran politik NU di Masyumi kian dipinggirkan setelah kekuasaan Syuriah atau dewan syuro dipangkas dan Masyumi dikendalikan oleh kaum Islam Modernis. Dengan begitu peran kyai tidak lagi dijadikan rujukan penentuan sikap politik Masyumi lagi. Hubungan itu semakin meruncing saat posisi menteri agama yang biasa diberikan pada NU kemudian dialihkan pada Fakih Usman dari Muhammadiyah dalam kabinet Wilopo tahun 1952. Sebelum itu, kedudukan anggota parlemen NU hanya diberi jatah 7 kursi oleh Masyumi. Karena peristiwa politik yang menyakitkan itulah NU mengambil keputusan keluar dari Partai Masyumi.
Sebuah keputusan yang bukan hanya mengagetkan Masyumi bahkan kalangan NU pun sebagian menentanghnya. Meskipun banyak orang yang meragukan kemampuan NU untuk mengarungi dunia politik, namun Mbah Wahab yang menjadi Rois Syuriah Partai NU tidak bergeming. Dalam rapat partai NU, Mbah Wahab menegaskan, “Kalau tuan-tuan ragu kepada kebenaran sikap yang kita ambil, nah silahkan saja tuan-tuan tetap duduk dalam Masyumi. Biarlah saya sendiri pimpin NU sebagai partai politik yang memisahkan diri dari Masyumi. Saya cuma minta ditemani satu orang pemuda, cukup satu orang, sebagai sekretaris saya. Tuan-tuan boleh lihat nanti,”.
Tahun 1955, hanya dalam waktu 3 tahun setelah keluar dari Masyumi, NU harus bertarung dalam kerasnya pemilu yang pertama setelah merdeka. Dengan mengenakan kain sarung Mbah Wahab berkeliling menjadi juru kampanye. Pun demikian dengan para kyai yang berdiri dibelakangnya. Dan dunia menyaksikan kenaikan kursi yang luar biasa dari hasil kerja kaum sarungan tersebut. Partai NU menduduki posisi ketiga dalam jumlah suara yang berhasil dikumpulkannya. Meski masih kalah dengan partai Masyumi namun bergaining politik NU naik mengalahkan Masyumi.
Kini istilah kaum sarungan yang dulu dipakai untuk merendahkan dengan bangga dipakai sebagai identitas diri santri. Kaum sarungan tidak lagi dianggap kecil, apalagi setelah Partai Masyumi dibubarkan karena ikut dalam pemberontakan PRRI. NU sebagai partai memang sudah selesai namun perannya terus lestari.
Sumber : Serpihan Catatan Ayuhanafiq