Pertempuran Pacet Pebruari 1949 Sedahsyat pertempuran Surabaya
Ketika berburu buku di Kios buku Velodrom Malang, sebuah sebuah buku yang lama aku cari. SAM KARYA BHIRAWA ANORAGA, buku yang menceritakan tentang perjuangan tentara dari Kodam Brawijaya. Terdapat satu paragraf menarik dalam buku tersebut, yaitu paragraf yang membenarkan keyakinanku tentang perang di Mojokerto. Keyakinan itu yang dulu mendorong lahirnya buku GARIS DEPAN PERTEMPURAN
Memang hanya satu paragraf tetapi itu sudah cukup untuk dijadikan sebagai dasar pengakuan bahwa Mojokerto benar-benar sebuah garis depan perjuangan kemerdekaan. Sebuah peristiwa besar yang tidak banyak ditulis dalam sejarah kita. Bagaimana mungkin, peristiwa yang menelan korban lebih kurang 1000 orang prajurit luput dari catatan ?
Pertempuran Pacet yang berlangsung dari Januari hingga pebruari 1949 telah memusnahkan 1/3 dari kekuatan pasukan Komando Hayam Wuruk. Sebuah pasukan komando yang dibentuk dari gabungan batalyon Mansyur, Batalyon Bambang Yuwono dan Batalyon Tjipto. Pasukan gabungan itu dikenal dengan nama pasukan MBT, sesuai dengan singkatan nama para komandan batalyonnya. Perintah buat pasukan komando itu adalah menyerang Surabaya dari arah selatan atau dari sidoarjo.
Pada awal pertempuran, mereka berhasil menguasai daerah Pacet, Mojosari, Ngoro dan Trawas. Dari sana mereka menjadikannya sebagai basis teretorial untuk masuk ke Surabaya. Upaya masuk lewat jembatan Ngoro, Tanjangrono dan Porong tidak berhasil karena dijaga ketat oleh musuh. Sementara. Menyeberang langsung lewat sungai porong nyaris tidak mungkin karena airnya sedang besar besarnya di musim hujan kala itu.
Kekuatan pasukan MBT kian bertambah ketika ada beberapa kesatuan pejuang masuk ke wilayah Mojosari selatan. Mayor Moenasir datang dengan separuh anggota batalyonnya setelah gagal merebut Brangkal. Sebagian anggota batalyon Moenasir yang dikenal dengan sebutan Batalyon Tjondromowo itu masuk ke utara sungai membantu Mayor Djarot yang berusaha masuk ke Surabaya juga. Ikut bergabung juga Kapten Soemadi dengan anggota kompinya yang dinamakan kompi Macan Putih. Kompi tempur atau Stot-trop iki masuk ke Pacet usai meloloskan diri dari kepungan musuh di Mendalan Kediri.
Pada pertengahan bulan pebruari, konsolidasi musuh sudah selesai. Kekuatan pasukan belanda disiapkan secara matang berikut senjata beratnya. Pertempuran besar kembali terjadi di Dlanggu dan para pejuang terjepit. Belanda juga membuat siasat perisai hidup dengan menggiring penduduk di depan pasukannya. Dari belakang muntahan peluru dari tank dan meriam terarah pada posisi tentara republik.
Pertarungan berlangsung sengit mulai pagi hingga malam. Dan kegelapan malam yang menyelamatkan pasukan komando hayam wuruk itu. Mereka mampu lolos dari kepungan, namun sebagian anggotanya tidak bisa kembali ke induk pasukannya, entah meninggal atau hilang. Sebagian dari yang meninggal adalah prajurit yang pernah dilatih dalam kamp pelatihan Hizbullah di Cibarusa. Kapten Mat Yatim, komandan kompi batalyon Mansyur Solikhi dan Madjid Asmara, kepala staf batalyon gugur pada pertempuran di Ngembeh Dlanggu. Batalyon Mansyur yang terkenal keberaniannya dalam pertempuran kehilangan hampir separuh anggotanya. Kesatuan yang merupakan peleburan dari resimen Hizbullah karesidenan Surabaya itu tetap berdiri hingga penyerahan kedaulatan pada akhir tahun 1949.
Sebagian pejuang berhasil lolos dari pertempuran itu namun jauh lebih banyak lagi yang gugur atau hilang tak kembali ke induk pasukannya. Kyai Achyat Chalimy menyebut besarnya korban di Batalyon Moenasir dengan julukan “Batalyon Ilang”, batalyon yang musnah. Ya, dalam konsolidasi di Cukir Jombang, Moenasir menghitung anggota pasukannya hanya sebagian kecil yang bisa dikumpulkan kembali, sebagian lainnya tidak hadir di tempat yang disepakati sebagai titik kumpul. Karena kehilangan anggota itulah Abah Yat menyebutnya Batalyon Ilang. Maka untuk mencukupi jumlah personil satu batalyon, Mayor Moenasir merekrut anggota baru dari pesantren di sekitar Cukir. Dengan memobilisasi santri itulah Batalyon Moenasir selamat dari likwidasi atau pembubaran. Batalyon ini baru membubarkan diri setelah kemerdekaan berhasil dicapai.
Bagaimana dengan korban dari pihak lawan?. Menurut penuturan Pak Yazid Qohar (alm) yang menerima cerita dari Abah Yat, pada hari selesainya pertempuran besar itu truk-truk Belanda datang mengevakuasi korban baik yang meninggal maupun terluka. Korban itu kemudian dibawa ke Surabaya. Tidak diketahui berapa jumlah korban tersebut. Sedangkan korban dari rakyat dan pejuang dibiarkan bergeletakan di tempat.
Sayangnya, pertempuran besar itu tidak ditandai dengan monumen yang layak. Monumen yang patut dijadikan pengingat bahwa ribuan nyawa telah melayang di sana demi mempertahankan kata KEMERDEKAAN.
Sudowangun, 24 Nopember 2014
Sumber : Serpihan Catatan Ayuhanafiq