InfokomBanserNU- Dalam pengajiannya gus Baha‘ ( KH. Ahmad Bahauddin bin K.H. Noer Salim) menerangkan tentang ciri Ahlussunnah Wal Jamaah di zaman akhir.
Ciri Ahli Sunnah di zaman akhir itu, dalam aqidah
– Menganut Abu Hasan Al-Asyaari dan
– Menganut Imam Abu Mansur Al Maturidi.
Dalam fiqih mengikuti salah satu mazhab 4 yaitu:
– Imam Abu Hanifah,
– Imam Malik,
– Imam Syafii atau
– Imam Ahmad bin Hambal.
Dan dalam tasawuf mengikuti salah satu mazhab antara
– Abbul Qosim Al-Juanidi atau
– Imam Ghozali.
.
.
Mengapa menjadi definisi begitu?
Karena, dulu firqoh di arab banyak yang menentang,
“Itu pengertian apa?”
Nabi tidak pernah menjelaskan begitu,
Kalian jangan terjebak dengan ucapan mereka, bahwa nabi tidak pernah mengeluarkan definisi tentang ciri Ahlussunnah Wal Jamaah seperti itu,
Ya tentu nabi tidak akan mengatakan seperti itu, karena di zaman nabi belum ada imam Ghozali, belum ada Abbul Qosim Al Junaidi.
Tapi kita percaya dengan definisi seperti itu. Mengapa?
Karena kita percaya bahwa Aswaja itu, orang yang seperti di katakan Nabi:
_“Maa ana alaihil yauma wa ashabi.”
“Yaitu orang yang mengikuti perilaku saya dan mengikuti para sahabat saya.”
Itu teks yang disampaikan Nabi,
Lalu kenapa kita harus menyebut nama imam-imam kita dan sanad kita?
Karena kalau kita tidak menyebut sanad,
akan muncul pertanyaan,
“Kamu ko bisa tahu sahabat melakukan itu kata siapa?”
Jawabnya “Kata guru saya.”
Kita kan tidak bisa langsung mengatakan “kata Nabi.”
Kata Nabi itu yang meriwayatkan siapa?
Contoh Imam Bukhori,
Imam Bukhori itu siapa?
Beliau itu muridnya Imam Syafii,
Karena Imam Bukhori itu periodenya setelah Imam Syafii,
Saya hafal sanadnya Imam Bukhori sampai ke Rasulullah.
Dan saya ( gus Baha ) punya sanad sampai Imam Bukhori.
Misalkan kalian ditanya, “kamu tahu Amerika?”
Terus kamu jawab “Tahu.”
“Ko bisa tahu Amerika?
Dan kamu jawab “lihat di TV.”
Televisi saja kamu jadikan sanad ko Imam Syafii tidak jadi sanad.
Misalkan lagi,
“Kamu ko tahu kalau ketua DPR tersangka?”
“Kata TV”.
Sanadmu dari mana?
“Kan dari TV.”
Dan misal kamu bilang “Tahu sendiri” itu tidak mungkin,
kan tidak mungkin kamu tahu sendiri ketika ada sidang di KPK.
Contoh lagi, misalkan kamu ditanya suatu hal, terus kamu jawab “Nabi itu berkata gini, jadi tak perlu ulama, harus ke Nabi saja langsung”
Lha kamu ko tahu kalau nabi bilang seperti itu kata siapa?.
Apa kamu mau jawab lewat mimpi?
Akhirnya mau tidak mau kamu harus menyebutkan guru.
Makanya ada tradisi menyebut sanad, atau disebut juga menyebut ulama,
Tapi orang-orang sekarang juga kadang bodoh,
Ada orang yang bilang gak usah lewat ulama, yang penting langsung ke Nabi,
Ulama bisa salah, kalau Nabi kan tidak bisa salah,
Lha kamu itu ko bisa bilang kalau Nabi tidak bisa salah kata siapa?
Jawabmu pasti “kata ulama atau kata guru.”
Padahal katanya tidak percaya ulama?
Makanya kalau bodoh jangan kebangetan,
Apalagi sudah bodoh ngajak-ngajak lagi,
Dan saya juga heran dengan orang model seperti itu,
Bodoh kok bisa seperti itu sanadnya gimana?.
Itulah mengapa, masyhur di dalam ilmu thariqah dan ilmu hakikat pepatah yang bilang begini
“Laula Murobbi Lamaa arofnaa Robbi,
wa laulal ulama lamaa arofnal ambiya”
“Andaikan tidak ada yang mendidikku,sanad,
tentu aku tidak tahu Tuhanku itu siapa,
Dan andaikan tidak ada ulama,
tentu kita tidak tahu para Nabi”.
Kita mengetahui Tuhan karena ada yang mengajari,
Kamu tidak mungkin bisa mengetahui Tuhan secara langsung.!
Tapi diajari guru, bahwa Allah itu wujud, qidam baqa’ dst.
Anehnya kadang dikenalkan oleh gurunya, terus lama-lama sombong, malah mbantah gurunya,
Tapi itu sekedar sombong saja, hakikatnya tetap saja mengetahui Allah itu lewat guru.
Misalnya lagi kamu tahu Nabi lewat saya,
Saya ( gus Baha ) itu muridnya Kyai Maimoen,
Kyai Maimoen muridnya Kyai Zubair,
Kyai Zubair muridnya Kyai Faqih Maskumambang,
Kyai Faqih muridnya Kyai Mahfudh Tremas,
Kyai Mahfudh itu murid Sayyid Abu Bakar Satos yang mengarang kitab I’anatut Tholibin,
Beliau muridnya Sayyid Zaini Dahlan,
Muridnya Syekh Ustman Addimyati terus sampai
(red.abi)